Pura-pura Bahagia

Oleh Ristanti Anistiya

Teruntuk dua mahluk Tuhan yang cantik,

Setiap kali aku melewati rumah besar bercat ungu di ujung jalan itu, kupastikan dan sempatkan sepasang mataku dari balik celah pagar rumah untuk melirik kalian, 2 burung cantik yang imut dalam 2 sangkar yang terlihat kokoh dan mewah. Awalnya aku tak tahu jenis burung apa kalian, namun setelah penasaran cari tahu, berdasarkan bentuk tubuh kalian yang mungil, kicauan jernih dan lantang serta ekor sekitar 20 cm panjangnya dengan warna bulu yang kontras, didominasi warna hitam pekat dan cokelat muda, kutebak kalian adalah sejenis burung Murai namun entah tergolong ras yang mana. 

Terkadang jika aku sedang ‘beruntung’, kalian akan mengeluarkan suara emas kalian, berkicau centil menyapaku yang rutin melewati kalian menuju halte bis yang akan membawaku ke tempat kerja. Lalu aku pun akan tersenyum lebar sebagai ganti tepuk tangan atas konser duo diva kalian yang tak pernah mengecewakan. Dan andai kalian tahu, selalu setelah langkahku berlalu, sepenggal hatiku seperti tertambat di sana bersama kalian, di benakku masih terbayang tatapan mata kecil lugu kalian seperti hendak menyampaikan yang sesungguhnya kalian rasakan. 

Walau kalian terlihat selalu ceria, melompat-lompat dalam sangkar kecil berbentuk tabung lonjong ke bawah dengan diameter sekitar 30 cm, namun tetap bagiku itu semua kamuflase dari apa yang kalian rasakan sebenarnya. Aku seperti bisa merasakan kehampaan hati kalian yang telah kehilangan kebebasan hidup di habitatnya, dirampas oleh ‘pemilik’ kalian, manusia yang katanya ‘pecinta’  burung itu. Kalian tak dapat lagi menikmati serunya terbang di antara ranting dahan pohon rindang dan hijau dedaunan, mengepakan sayap dalam lembutnya semilir angin, menukik di bebukitan yang menantang, menari dalam riuh hujan dan terik matahari. Kalian kehilangan itu semua. Kalian hanya dijadikan sebagai tontonan yang atraktif di setiap pagi saat pemilikmu asyik ngopi sembari membaca koran di teras rumah, menganggap bahwa riuhnya kicauan kalian adalah salah satu sumber kebahagiaan hidup, sebagai  sebuah keindahan, sarana untuk melepas penat dan kejenuhan, tanpa mau tahu apa yang sebenarnya kalian maui dan butuhkan. Tanpa menyadari bahwa yang mereka dengar sebagai kicauan burung yang merdu itu  sesungguhnya adalah isak tangis penderitaan kalian yang  dalam.

Aku menyadari bahwa banyak manusia menggantungkan mata pencaharian mereka dari burung dengan menjadi penangkar, pedagang dan pehobi burung. Aku telah banyak mendengar bagi para penggemar kalian, burung dengan kicauan bagus dan postur tubuh ideal dan menarik pasti dihargai mahal, ditawar dengan harga jutaan bahkan puluhan juta. Inilah yang membuat bisnis jual beli spesies kalian cukup menggiurkan untuk memperkaya pundi-pundi mereka. 

Padahal andai mereka mau menyadari bahwa sebagai sesama makhluk Tuhan, kalian juga berhak atas kebebasan dan memiliki habitat bebas di alam luas, leluasa terbang dari satu pohon ke pohon lain. Juga memiliki hak untuk berkembang biak, menyalurkan hasrat ketika masa dewasa dan siap kawin datang. Namun bagi kalian burung dalam sangkar, tertutup kesempatan untuk melakukan itu semua. Belum lagi perilaku mencari mangsa di alam, memberikan makanan kepada anak, membuat sarang di pohon, lari dari predator, dan lainnya tidak dapat dikerjakan lagi oleh kalian selama hidup di dalam sangkar. 

Yang dapat kalian lakukan hanyalah berkicau, makan dan minum, sedikit mengepakan sayap tanpa bisa terbang dalam keterbatasan ruang. Mungkin sesekali mandi bila pemilik kalian ingat untuk memandikan. Itu saja rutinitas yang terus berulang selama kalian terpenjara dalam sangkar.

Menjaga agar mata pencaharian manusia tetap berjalan memang penting namun tetap harus ada penyeimbangan sisi ekonomi dengan konservasi sehingga burung hias seperti kalian tak jadi langka di alam bebas atau bahkan menjadi spesies yang punah dari muka bumi.

Namun…. dalam helaan napas yang dalam, apa yang dapat kulakukan untuk dapat meghilangkan atau sekedar mengurangi penderitaan kalian. Hampir tak mungkin aku meminta atau menghiba pada si ‘pecinta’ burung itu untuk membebaskan kalian. Saat ini, aku baru dapat menulis surat ini sebagai tumpahan kegundahan hati terhadap direnggutnya kebebasan kalian dan entah sampai kapan. 

Masih ada secercah harapan dari para pegiat pecinta lingkungan yang mulai menaruh perhatian dengan menjalankan upaya pelepasliaran burung yang telah dilakukan dalam beberapa waktu ini. Semoga upaya mulia ini akan terus konsisten disuarakan agar kalian mendapat kesempatan untuk dapat kembali terbang bebas dan menjalankan fungsi di alam sebagai penjaga keseimbangan ekosistem lingkungan dan dengan begitu, kami pun akan tetap dapat menikmati keindahan dan kicau kalian yang riang.

Saat ini aku hanya mampu mengirimkan doa dan harapan semoga kalian dapat dengan ikhlas menjalani hidup saat ini dan tetap mensyukuri semua yang dapat kalian syukuri. Semoga akan datang masa di mana ‘pemilik’ kalian menyadari kehidupan alami yang seharusnya kalian miliki, menyadari pentingnya untuk hidup secara harmonis dan saling menghormati dengan alam dan mahluk Tuhan lainnya  dan semoga kalian masih diberi usia untuk dapat mencicipi indahnya kehidupan bebas yang menjadi hak kalian di luar sana.

Dari penggemar rahasia kalian.

“Setiap  burung, setiap pohon, setiap bunga mengingatkan saya betapa hebatnya berkah dan hak istimewa untuk hidup.” (Marty Rubin)


Photo by Somin Khanna on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *