Oleh: Tyasya
Teruntuk Indonesiaku Tercinta
Dear, Indonesia. Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Banyak oknum yang membuatmu begitu menderita. Jika kamu bisa bicara, mungkin sekarang teriakanmu menggelegar di seluruh bumi Indonesia.
Namun, kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Pasrah dengan segala yang terjadi di dunia.
Dear, Indonesia. Persoalan yang kamu hadapi begitu kompleks dan menggurita. Baik sebagai bangsa maupun sebagai negara.
Aku tahu, keadaan ini tidak hanya bisa menyalahkan satu pihak semata. Karena sejatinya semua mempunyai andil di dalamnya. Hanya besarannya saja yang berbeda.
Rakyatmu, yang terdiri dari ragam suku, agama, dan budaya. Mereka terkadang mudah diadu domba. Menjadikan perpecahan bangsa kian muncul ke permukaan. Mereka lupa, layaknya sapu lidi yang tercerai berai, tidak akan mampu menyapu kotoran. Batang lidi itu harus menyatu, baru bisa kuat untuk menghilangkan sampah yang berceceran.
Rakyatmu, termasuk aku, terkadang lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan daripada negara tercinta.
Dear, Indonesia. Apa kamu tahu? Ketika harga bahan pokok meroket, betapa menderita kaum menengah ke bawah. Mereka yang mempunyai banyak harta, mungkin tidak akan merasakannya. Sungguh, selama aku hidup kali ini benar-benar melihat kekacauan yang luar biasa.
Aku bukannya ingin membandingkan penguasamu dulu dengan sekarang. Karena apa yang dihadapi pada jamannya tentu berbeda. Hanya saja, sebagai rakyat biasa tentu aku ingin yang terbaik untukmu.
Aku merasa sedih, ketika tajamnya hukum hanya mengarah kepada kaum bawah. Padahal, aku yakin, hukum di negaramu itu awalnya diciptakan benar-benar untuk memerangi kejahatan. Bukan untuk kepentingan segelintir orang.
Dear, Indonesia. Aku ingat dulu kamu disebut Macan Asia pada jamannya. Keberadaanmu cukup disegani di dunia. Walau secara militer masih jauh dari kaum adidaya, tetapi semangat perjuangannya luar biasa.
Aku ingin sekali kamu bisa seperti dulu. Apakah masih bisa? Ketika dulu kamu berjaya dalam segala lini. Masih bisa swasembada pangan, tidak perlu impor beras. Harga bahan bakar minyak masih murah. Bahkan minyak goreng merek Barco pun masih bisa terbeli.
Apakah keinginanku ini terlalu muluk untukmu?
Dear, Indonesia. Apakah kamu juga merasakan kegelisahan yang sama? Gelisah yang mendera karena melihat negerimu tidak baik-baik saja.
Bagiku, kamu tetap menjadi tanah air tercinta. Bagaimana tidak? Aku dilahirkan di pangkuanmu. Aku besar dan mengais rejeki di bumimu, Indonesia.
Aku juga yakin, di hati banyak orang, kamu masih tertanam begitu dalam. Hanya saja, tidak banyak orang bisa menyampaikan rasa cintanya kepadamu dengan baik. Termasuk aku, mungkin. Hehehehe.
Ya, aku juga tahu. Berkeluh kesah semacam ini tidak akan mengubahmu menjadi lebih baik. Butuh lebih banyak usaha dari semua rakyatmu agar keadaanmu lebih sehat dan sejahtera.
Dear, Indonesia. Aku hanya ingin seluruh elemen rakyatmu bahu membahu membangun negeri ini. Mulai dari rakyat biasa hingga kaum elit politik. Ah, seandainya itu terjadi, betapa indahnya hidup di bumimu.
Ya, seandainya tidak ada yang berlindung di balik kepentingan sendiri, hidup akan tentram dan damai. Seperti lagunya Koes Plus yang berjudul kolam susu.
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Betapa indah lirik lagu itu. Perumpamaan kekayaanmu yang luar biasa. Tanah surga.
Dear, Indonesia. Kami rakyatmu terlalu terlena dengan kemudahan hingga lupa menggunakan akal dan pikiran untuk membangunmu. Walau tahu tidak enaknya dijajah negara lain, tetapi masih saja diam asalkan hidup sendiri tidak diusik.
Tidak kurang cendekiawan yang berkebangsaan Indonesia. Namun, keterbatasan menyebabkan mereka lebih memilih mengabdi di luar sana. Sekiranya mereka dihargai di negeri sendiri, aku yakin kontribusinya tidak main-main.
Indonesiaku, semoga kamu baik-baik saja. Semoga aku bisa membuat perubahan untukmu, walau hanya seujung kuku. Karena perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri. Betul tidak?
Doaku akan selalu ada untukmu, negeriku Indonesia.
Salam sayang dari salah satu rakyatmu,
Bu Ning
Photo by Joshua J. Cotten on Unsplash