Oleh Iecha
Depok, 15 April 2022
Kepada Poh
Selamat pagi, Poh.
Setiap lihat nama kamu, yang terbayang di benakku adalah sosok gempal warna merah cerah yang berpelukan dengan gempal lainnya warna ungu, hijau, dan kuning. Hahaha, kamu pasti tahu yang aku maksud.
Aku kenal kamu dari tulisan teman. Dia bercerita tentang bagaimana kamu setia menampung curhat seorang gadis kecil tentang apapun yang dia alami, juga tentang keresahannya pada kondisi sekitar. Hatiku iri dengki, ingin juga punya teman curhat seperti kamu.
Karena itu, izinkan aku ikutan bercerita meski hanya lewat surat.
Poh, akhir-akhir ini, udara terasa lebih panas. Entah karena sekarang Ramadan yang kami tidak bisa minum jadi panasnya lebih terasa, atau karena hal lain. Jika siang hari hujan, udara tetap saja terasa gerah. Padahal, tentu saja aku berharap hujan dapat mendatangkan kesejukan supaya puasa terasa lebih mudah, dan kami bisa tidur nyenyak hingga waktu berbuka, eh!
Apa karena satu persatu temanmu menghilang?
Sembilan tahun lalu aku pindah ke sini. Aku merasakan hawa yang berbeda dengan Jakarta, tempat tinggalku dulu. Kira-kira sebulan pertama, aku sulit melepaskan diri dari jaket. Melihat tetangga yang memasang AC di rumahnya, aku sering nyinyir. Aneh saja, di udara sesejuk ini masih memakai pendingin.
Sekarang sudah beda, Poh. Katakan saja aku menjilat ludah sendiri sebab berkal-kalii aku terpikir untuk mengikuti jejak tetangga yang dulu aku nyinyiri. Udara dingin mungkin hanya akan datang bersama hujan badai, atau saat bumi berada di posisi terjauh dari matahari. Selebihnya? Yah, aku tak perlu menceritakan lagi.
Dulu, saat lari pagi dan eksplorasi kawasan, aku sering melintasi kebon milik warga. Kebon, bukan kebun. Artinya, lahannya luas, pepohonannya banyak, dan yah sedikit tak terurus. Jumlahnya bukan satu atau dua, tapi benar-benar banyak. Mungkin itu yang membuat udara di sini sejuk.
Namun, kalau aku lari pagi saat ini, yang aku dapati adalah perumahan-perumahan kecil. Cluster, kalau orang bilang. Kalau kamu berpikir cluster hanya ada di pinggir jalan raya, kamu salah besar. Kawasan sini sedang diminati. Apalagi, sebentar lagi rencananya mau dibangun jalan tol dengan pintu keluar yang tak seberapa jauh. Cluster di dalam gang bukan lagi hal aneh di sini.
Itu baru dari cerita dari tempatku. Dalam lingkup lebih luas, pasti makin banyak pepohonan yang ditebang untuk kepentingan (dan mungkin keserakahan) manusia.
Aku tak heran jika saat musim hujan air sungai sering mengamuk. Akar-akar pohon yang menjadi pegangan mereka sudah berada entah di mana. Yang mereka jumpai hanya turap beton. Terkadang juga pinggiran bangunan. Rumah-rumah mereka lenyap. Namun, mereka juga yang menjadi tumpuan kesalahan manusia jika terjadi banjir.
Poh, apa kabar kamu ya, kalau tahu paru-paru dunia sulit bernapas? Udara memerah, pekat oleh asap. Teman-temanmu terbakar. Oh, sepertinya aku salah imbuhan. Yang benar adalah dibakar. Mustahil mereka membakar diri. Orang-orang pintar menyalahkan cuaca, menyalahkan matahari yang bersinar terlalu terik. Mereka lupa, bara dari semuanya adalah keegoisan.
Sebentar lagi akan ada kota baru di sana. Mungkin saja megah, entahlah. Yang aku tahu, teman-temanmu pasti bertumbangan. Mereka berdiri di posisi terbaik, hingga manusia ingin menggantinya dengan beton kaku. Ya, katanya lambang kemajuan.
Aku selalu kesal membayangkan teman-temanmu berubah menjadi sosok kaku, lalu orang berbangga karena katanya telah berhasil membangun. Huh, kebangaan apa yang didapat dari merusak? Bukankah selama ini teman-temanmu juga yang memasok udara segar untuk mereka?
Maaf sudah mengumbar emosi padamu. Aku juga minta maaf karena tak dapat melindungi teman-temanmu. Setelah ini, kamu masih mau membaca curhatku, kan?
Aku inigin seperti gadis kecil yang digambarkan temanku: bisa bercerita denganmu sambil menikmati keteduhan yang kamu berikan. Hanya, aku tahu itu tak mungkin. Kamu sudah pergi, dan di tempatmu kini berdiri si Kaku. Salam dan terima kasihku untuk kamu, dan semua teman-temanmu.
Lain kali, aku akan beercerita lagi. Semoga, saat itu, teman-temanmu telah berhasil mempertahankan diri mereka dari segala rencana berbalut egoisme, sehingga aku bisa menceritakannya dengan bangga padamu.
Salam hormat selalu,
Iecha
Photo by Ryan Hafey on Unsplash