Hujan dan Kenangan

Oleh Dwyne

Kepada  hujan yang menyapa bumi, 

Angin berembus membawa aroma khas, debu yang tersiram air. Pasti tidak jauh dari rumahku, hujan sudah turun. Sengaja aku tidak beranjak dari bawah pohon mangga, di halaman rumah, tempat aku dibesarkan ini, menikmati senja dengan segala keelokannya. 

Kututup kedua mataku dan kutengadahkan mukaku, menyambut titik-titik air yang akan menerpa. Kuhirup dalam-dalam aroma khasnya. Ada setitik rasa yang lama-lama membesar, bercampur dengan hawa dingin yang dibawa hujan. 

Titik hujan kian berkejaran, berlomba untuk jatuh ke bumi. Tidak jarang, angin mempermainkanya sehingga tercipta irama manis. Aku bergeming dari tempatku duduk. Kunikmati titik-titik yang semakin deras itu membasuh tubuhku.

Dalam hati, kupanjatkan doa. Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat, bukan hujan yang merusak. Meski sekarang tubuhku sudah basah kuyup, dinginnya hujan tidak menghentikanku merasakan hawa menenangkan dan menyenangkan ini. 

Saara…a…a hhh!” 

Ingatanku melayang pada tiga puluh tahun yang lalu. Di halaman ini, aku mendengar teriakan panjang ibuku. Raut wajah beliau yang terkejut bercampur heran melihat bajuku yang basah. Matanya melotot tidak percaya melihat aku yang tertawa-tawa bermain air hujan. Dasar anak yang baru berusia sepuluh tahun, tahunya senang saja. 

Dari kejauhan terlihat setengah berlari mengancam dan menahan amarah, membayangkan akibat yang dia terima atas kenakalan anaknya yang hujan-hujanan di halaman rumah. Pasti beliau harus mengepel lantai seluruh rumah karena jarak dari teras ke kamar mandi melewati ruang keluarga. 

Baju basahku akan membuat percikan-percikan yang akan menjadi pekerjaan tambahan kerja beliau. Belum lagi kalau putri kesayanganya sedang tidak fit bisa terserang flu. Air hujan zaman sekarang tidak terjamin kebersihanya. Banyak kotoran serta  polusi udara yang bercampur dengan air yang jatuh ke tanah.

Meski aku masih ingin berlama-lama main hujan, kekhawatiranku terhadap kemarahan ibu tidak bisa kuabaikan. Kuambil sandalku dan segera mengacir ke kamar mandi. Sambil geleng-geleng, ibu membereskan kekacauan yang aku tinggalkan saat aku menuju kamar mandi. 

Keluar dari kamar mandi, indera penciumanku menangkap aroma gurih dari telur ceplok kesukaanku. Digoreng dengan minyak kelapa buatan nenek, romanya benar-benar membuat perutku menjerit-jerit.

 Kulihat lantai sudah bersih dari air bekas aku jalan. Kini, ibu menungguku di depan meja makan dengan telur ceplok di depanya. Aku sudah terbiasa dengan sikap ibu yang terlalu khawatir dengan kesehatanku. Kata beliau, nasi dan lauk itu untuk membuat imun tubuhku selalu terjaga. Aku boleh jajan apa saja asal makan nasi dan lauk dulu. Akhirnya, sering kali perutku sudah kenyang dan aku sudah lupa untuk makan keripik atau permen. 

Sekarang ibuku sudah tua. Beliau sering berpindah-pindah kadang satu bulan di rumah kakak, beberapa minggu di rumah adik dan kadang bersamaku di rumahku. Beliau tinggal menikmati hari tua dengan mengunjungi cucu-cucunya. Kali ini aku yang giliran berkunjung ke rumah ibu. Beliau sedang menginap di rumah kakak sebelum aku memutuskan menginap dengan anak-anak di rumah ini. 

Cara mendidik ibu, sekarang aku tularkan ke anak-anakku juga. Ada undang-undang tak tertulis untuk menghindari radang tenggorokan mereka. Jadi mereka tidak sering-sering minta izin boleh makan ini dan itu. Asal makan cemilan kurang sehatnya setelah makan nasi pasti aman. 

Tak terasa, aku sudah satu jam duduk di halaman ini dengan baju basah. Senyum-senyum sendiri mengingat ibu yang penuh kasih kepada kami ketiga anak perempuanya. Hujan, kau alirkan kenangan itu dengan deras di setiap nafasku. Makin khusyuk doa dan rasa terima kasihku untuk ibu. Semoga selalu sehat sehingga kita terus bisa bahagia bersama.

Mama.a.a… 

Teriakan Sofia, anak perempuanku yang baru berusia delapan tahun memanggilku. Kubiarkan dia berlari menikmati hujan menuju ke arahku. 

Terima Kasih Hujan

Dwyne


Photo by Gabriel on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *