Wahai Pemimpin

Oleh Lia Nathalia

Yang Terhormat Para Pemimpin Dunia,

Aku hanyalah satu dari milyaran warga dunia. Namun, pikiranku akhir-akhir ini terusik dengan kabar dari negeri jauh dari rumahku Indonesia, yaitu tentang perang antara Rusia dan Ukraina. Rasa kemanusiaanku terusik walau aku tak ada sangkut pautnya dengan kedua negara itu, tapi aku menyadari bahwa tak ada perang yang berdampak positif.

Akan ada praktik perdagangan manusia, terjadi pada kelompok perempuan dan anak pada kasus kebanyakan. Ada anak-anak yang jadi yatim piatu, ada orang-orang tua yang kehilangan anak-anaknya. Banyak orang akan kehilangan tempat tinggal, menjadi cacat fisik dan mental serta trauma yang ditinggalkan akan terbawa sepanjang hayat.

Aku teringat ketika membaca buku Mirah dari Banda karya Hanna Rambe, di sana digambarkan bagaimana perang mencerabut seseorang dari akar kehidupannya. Terbuang dan tak dikenal bahkan oleh keturunannya. Tercerabut dari adat istiadat, menjadi korban perdagangan manusia merupakan hal-hal yang tak bisa kubayangkan mungkin saja terjadi juga pada korban konflik Rusia dan Ukraina hari-hari ini.

Sudah memasuki bulan kedua invasi Rusia ke tanah Ukraina dan belum ada tanda-tanda pasukan Rusia akan menghentikan serangannya atau pun meninggalkan Ukraina. Perlawananpun tetap dilakukan rakyat Ukraina yang bersatu dengan tentaranya mempertahankan tanah air.

Hari-hari terakhir ini bahkan kita dipertontonkan dari berita-berita di media masa maupun di sosial media tentang pembantaian warga sipil di beberapa kota di Ukraina, yang paling baru adalah di Bucha. Entah siapa benar dan siapa yang salah. Entah siapa pelakunya, semuanya perlu penyelidikan lebih lanjut. Tapi apa pun alasannya, pembunuhan adalah hal yang tak dapat dibenarkan. Terlebih saat kita memasuki bulan-bulan suci yang diyakini banyak umat beragama di berbagai belahan dunia, bulan Ramadan yang dijalani umat Islam dengan berpuasa dan masa-masa sengsara Yesus yang juga dijalani umat Kristiani dengan berpuasa pula. 

Ketika sebagian besar penduduk di dunia ini sedang menjalankan ritual ibadahnya, rakyat Ukraina harus berpisah atau terpisah dengan orang-orang terkasihnya. 

Bisakah kalian para pemimpin dunia, setidaknya Putin dan Zalensky berusaha menahan diri, tidak saling memprovokasi? Terlebih untuk anda Tuan Putin, berhentilah memberi alasan untuk melakukan invasi tanah negeri lain. Alasan Anda untuk invasi ke Ukraina sampai hari ini belum masuk ke nalarku, yaitu untuk melindungi warga Ukraina yang juga saudara sebangsa Rusia yang dizolimi pemerintahnya. Apakah ini hanya cara anda Tuan Putin mencari pembenaran pada aksi paling barbar dalam sejarah umat manusia, perang?

Wahai para pemimpin dunia,

Berhentilah kalian saling memprovokasi. Berilah ruang untuk empati pada hati nurani kalian. Upayakan penyelesaian damai baik untuk invasi Rusia ke Ukraina.

Jangan kalian sibuk menjadikan invasi Rusia ini sebagai ajang promosi senjata pembunuh sesama manusia. Berhentilah kalian mencari untung dari penderitaan mereka yang tak berdaya dengan membiarkan perang di Ukraina berlarut-larut.

Bisakah kalian para pemimpin dunia sedikit lebih bijaksana dan punya empati untuk menciptakan dunia yang lebih damai. Punyalah empati melihat penderitaan rakyat kecil di Ukraina, Afganistan, Yerusalem, Korea Utara, Myanmar dan berbagai tempat yang pemimpinya menindas rakyat. Kalau memang kalian pemimpin, hentikan kekerasan. Kekerasan hanya dilakukan para pengecut untuk menindas yang lemah dengan alasan apapun.

Akhir kata, kuharap suratku ini yang mungkin pula mewakili hati warga dunia lainnya, bisa menyentuh hati nurani kalian para pemimpin dunia di manapun kalian berada.

Salam,

Lia Nathalia

(untuk para korban perang dan konflik di seluruh dunia)


Photo by Piotr Makowski on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *