Oleh Ristanti Anistiya
Teruntuk Sahabatku,
Sudah terbilang lama juga ya kita tak berbincang apalagi bersua. Rutinitas yang menyibukan telah membuatku larut dan bahkan hanyut di dalamnya, tanpa terasa semakin menjauhkan jarak kita sampai akhirnya kita menjadi asing satu sama lain. Padahal, seringnya dulu kita bercakap tentang banyak hal. Seringnya kita menjalani, kadang mempertanyakan dan sering kali menyaksikan apa pun yang Tuhan hadirkan pada kita. Padahal, selalu dulu kita bersama menjalani riak-riak kecil mau pun gelombang-gelombang tinggi kehidupan dan berusaha untuk tetap tersenyum dan berusaha bangkit dan melangkah saat kita kandas terdampar di pulau tak bertuan.
Sahabatku,
Kali ini aku akan banyak cerita tentang diriku ya. Semoga engkau nda bosen dan aku yakin kamu nda pernah bosen menyimak semua tumpahan suara jiwaku.
Sahabatku, jika engkau bertanya bagaimana keadaanku sekarang, maka aku sangat baik-baik saja. Segala puji bagi Tuhan yang telah mengkaruniaku dengan kesehatan yang sempurna di setiap saat. Napas yang mengalun lancar tanpa hambatan, jantung yang selalu berdetak dengan ritme indahnya, panca indra yang berfungsi optimal menyaksikan setiap semua kebesaran-Nya yang termanifestasikan dalam keberadaan seluruh mahluk ciptaan-Nya. Maka tak akan pernah cukup rasa syukur yang kupanjatkan pada Tuhan kita Terkasih. Aku masih ingat seringnya engkau mengingatkan bahwa aku sebenarnya seorang CEO dari sebuah koloni perusahaan yang terdiri dari triliunan sel yang selalu bekerja sempurna dan konsisten di setiap inci tubuhku. Maka engkau ingatkan aku untuk menjadi pemimpin yang baik dengan sering-sering berkomunikasi mengecek anak buah dalam jasadku ini dan memperhatikan kondisi seluruh anggota dan organ tubuhku untuk memastikan semua baik-baik saja.
Lalu, jika engkau bertanya apakah aku masih sering terpedaya oleh beragam rasa hati dan pikir yang meresahkan, maka jawabnya adalah ya, aku masih belum dapat menjadi pemimpin yang baik bagi ego dan kesadaranku. Aku masih belum mampu menjadikan kesadaranku mengambil peran atas egoku. Mungkin engkau masih ingat, saat aku sering mempertanyakan tentang suasana hatiku yang sering berubah dari waktu ke waktu, meminta bantuanmu untuk menganalisis saat aku terperangkap dalam rasa sedih, gelisah, tak pasti, insecure, marah atau bahkan benci sebagai reaksi atas kejadian atau pada seseorang yang kuanggap tak menyenangkan dengan ucap dan sikap tak elok mereka. Aku tahu teramat sering engkau berusaha mengingatkanku untuk meredam semua rasa tersebut karena hanya akan membuatku semakin tak nyaman dan semakin terseok menjalani hari. Namun sesering itu pula aku mengabaikan suaramu dan tetap memelihara dengan penuh angkuh semua rasa tak elok itu dalam hatiku. Walau pada akhirnya aku harus mengakui kebenaran ucapanmu bahwa menyimpan semua rasa negatif hanya akan mengundang hal negatif lainnya yang akan semakin membuatku terperosok ke dalam jurang kegelisahan yang tak berujung.
Dan mungkin juga Engkau masih ingat betapa seringnya aku mengadu padamu tentang hubunganku dengan Tuhan yang seringkali kurasakan kurang harmonis. Bahkan pada saat-saat tertentu aku merasa Tuhan telah meninggalkanku karena perbuatan kurang elokku. Aku merasa Tuhan tidak lagi sudi mendengarkan doaku dan mengabaikan saat aku menemui-Nya dalam sholat dan doaku. Dan seperti biasa, engkau hanya tersenyum dan tetap tenang saat menerima pengaduanku tersebut. Seperti juru damai yang handal, engkau akan berusaha mendamaikan hatiku bahwa Tuhan tidak seperti yang kukira. Engkau bisikan padaku bahwa Tuhan adalah yang paling kasih sayang pada hamba-Nya dan akan selalu sayang walau seburuk apa pun perilaku hamba-Nya. Engkau tegaskan aku untuk membuang semua prasangka tak baikku tentang Tuhan dan mulai mengingat semua kebaikan-Nya yang tiada putus tercurah padaku. Dan setelah semua wejanganmu, hatiku akan sejuk kembali seperti disiram air es setelah pendekatan persuasifmu atas semua aduan dan rajukanku.
Dan betapa engkau selalu sigap memberiku afirmasi untuk setiap perbuatan baik yang kulakukan, saat aku tetap mampu menyapa tulus orang yang membicarakanmu di belakang, saat aku tetap ikhlas berdiri tegar saat Tuhan mengambil kembali miliknya yang dititipkan kepadaku, saat aku tetap melangkah yakin bahwa Tuhan akan menolongku, saat aku mampu menekan egoku saat berinteraksi dengan yang lain, saat aku semakin menyadari bahwa tujuan mulia dari hidup ini adalah untuk saling menolong sesama. Kau bisikan: Good job! Sambil mengacungkan jempolmu dan aku pun tersenyum gembira dengan pencapaian ini.
Sahabatku, akhir-akhir ini aku jarang menemuimu dan bercakap-cakap denganmu seperti sebelumnya dan ternyata aku tidak bisa jauh darimu.
Hidup akan selalu penuh dengan kejutan baik yang menyenangkan mau pun yang sebaliknya dan aku harus selalu siap menyikapinya. Maka kembali temani aku, sahabatku. Aku limbung melangkah sendiri, aku gamang menatap jalan ke depanku.
Izinkan aku untuk tetap meniti jalan ke dalam diri bersamamu, membersamaimu menuju Sang Keberadaan.
Photo by Marc Sendra Martorell on Unsplash