Oleh: Meli
Jakarta, 10 April 2022
To : Pria Baik Hati
Di : Rumah
Assalamu’alaikum,
Dengan segala kerendahan hati saya kirimkan surat ini. Saya sudah tidak tahu bagaimana harus berkata-kata. Rasa di dada ini ingin meledak. Tapi, sudah coba tarik nafas panjang agar lebih tenang. Berharap dengan surat ini, apa yang kumaksud bisa tersampaikan dengan baik.
Apa kabar? Pasti baik-baik saja! Dan bahagia juga. Anda sedang bersama seorang Hani. Ibu saya yang cantik itu! Menikmati sore dengan teh manis hangat dan sepiring gorengan. Rasanya enak sekali buatanya. Pasti Anda juga diperlakukan yang sama seperti kami. Mungkin lebih baik dari kami. Bersama ibuku, suatu hal yang tidak bisa disesali. Membahagiakan! Anda bersama orang yang memiliki banyak cinta di hatinya. Dulu, kami juga sangat bahagia.
Sebelum anda semakin bingung dengan isi suratnya, ijinkan saya memperkenalkan diri. Saya adalah anak bungsu dari istri anda yang baru. Seorang anak yang pernah merasa sangat dekat dengan ibunya. Rindu akan kehadirannya di rumah. Rindu menikmati masakan buatannya. Rindu canda-tawanya saat hanya kami berdua di rumah. Rindu hal-hal yang bisa kami lakukan sebagai perempuan. Rindu belaiannya ketika mengantarkan tidur di malam hari. Rindu omelannya. Rindu nasihatnya.
Banyak yang ingin diceritakan padanya. Semua hal. Mulai dari kecerobohan hingga tentang cowok yang disuka. Saya yang terbiasa berbagi banyak hal hanya dengannya, sulit membaginya kepada orang lain. Selalu ada ruang di hati saya untuk ibu. Bagi saya dan sampai kapan pun, dia akan selalu jadi sosok yang hebat. Orang yang paling mengerti keadaan saya.
Mmm… Mungkin bukan hanya saya. Tapi seluruh manusia di rumah ini. Sejak ibu meninggalkan rumah, bapak dan kakakku berubah. Ibu pergi membawa arti senyum di hidup kami. Wajah kami selalu tegang. Bicara hanya seperlunya. Kami masih tinggal bersama. Bertiga, tapi kayak tidak saling mengenal. Rumah atau kuburan? Kalau menurut saya, masih lebih baik di kuburan. Ada saat di mana kuburan itu ramai pengunjung.
Mungkin kenakalan kami membuat ibu tidak bahagia. Atau bapak yang kurang peka terhadap ibu. Makanya ibu pergi ke pelukan Anda. Saya juga kurang paham yang terjadi. Biarlah ini menjadi misteri.
Egh, lupakan kisah tentang kami! Kami tidak meminta belas kasihan atau uang pada Anda. Kami bisa bertahan meski terseok-seok. Kami sadar betapa beharganya ibu di hidup kami.
Besar harapan saya, Anda juga kembali ke istri Anda. Mungkin yang mereka rasakan sama seperti apa yang kami rasakan. Rasa rindu yang membuncah hingga menutupi rasa amarah. Perlahan hilang. Mungkin permintaan “maaf” cukup untuk kami dan keluarga Anda.
Seandainya waktu bisa diputar maka saya minta kalian tidak pernah bertemu. Kisah kalian di masa lalu sudah tutup buku. Cukup menjadi kisah indah yang teukir di hati masing-masing. Kebersamaan ini telah merusak sifat baik kalian.
Maafkan saya yang telah lancang berkirim surat pada Anda. Saya hanya seorang anak yang rindu pada ibunya. Melaui surat ini, saya ingin meminta tolong pada Anda agar mau mengembalikan Ibu Hani kepada kami. Buat dia membenci Anda! Agar ibu Hani kembali kepada kami. Jika Anda tidak bisa mengembalikan, bolehkan kami bertemu seharian. Sekedar waktu untuk menyampaikan rasa di hati ini. Kalau itu pun masih tidak bisa, sampaikan salam kami padanya! Kami rindu padanya dan akan selalu menyayanginya! Maafkan kami yang kurang peka pada kebahagiaannya!
Demikian saya sampaikan kepada Anda. Mohon maaf yang sebesar-besarnya! Terima kasih, Anda sudah mau meluangkan waktu membaca surat ini.
Waalaikumsalam,
Eva
Photo by Rohit Tandon on Unsplash