Oleh Iecha
Depok, 8 April 2022
Untuk J
di sana
Delapan April lagi, J. Perulangan tanggal yang ke sekian sejak aku mengenalmu. Tak ada yang istimewa. Aku memilih merayakan ulang tahunmu dalam diam. Tentunya tanpa dirimu, seperti empat tahun belakangan ini.
Ulang tahunmu selalu mengingatkan pada janji yang pernah aku ucap di akhir Desember 2017. Aku mengucapkannya memang tanpa berpikir—bagaimana aku bisa berpikir saat tahu kamu memutuskan pamit dari kehidupan—tetapi janji itu terus terngiang, seakan kamu selalu memintaku untuk melaksanakannya.
Ingat janji, Cha. Kapan mau dilaksanain? Tolong, jangan sampai ada korban lagi.
Bagaimana bisa aku melakukan sesuatu saat pikiranku tertuju padamu, dan terus membayangkan apa yang terjadi pada hari itu?
Otakku tak pernah bisa berhenti memutar tentangmu yang terduduk sendiri, mengharapkan satu dua orang menghampiri atau mungkin sekadar menyapa. Sayang, realita sering tak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Jika saja orang-orang itu sedikit saja melihatmu, mungkin kamu masih di sini.
Kamu adalah aku beberapa bulan sebelumnya. Pikiran negatif tentang diri sendiri kerap menghantui seiring persoalan yang tak bisa aku elakkan. Aku berada di titik terendah saat itu, hingga hanya bisa bersembunyi, mengunci diri di sudut kamar, sambil menimbang-nimbang bisikan mana yang harus aku ikuti.
Sempat aku berharap orang-orang sekitar akan menghampiriku dan menanyakan kabar. Jika itu terlalu muluk, cukuplah mereka sekadar melempar senyum. Nyatanya, aku tetap sendiri, bergelung dalam riuhnya suara di kepala.
Mungkin, aku lebih beruntung darimu. Entah di hari ke berapa, sahabatku satu-satunya berkirim pesan. Memang bukan pesan penyemangat seperti yang aku butuhkan—hanya berisi hal-hal yang kami anggap seru—tetapi cukup untuk mengenyahkan bising yang membuat hariku gelap. Meski tanpa pelukan, aku tahu aku tak lagi sendiri.
Karena itu, saat mendengar tentangmu, aku jadi mempertanyakan. Ke mana teman-temanmu yang kamu anggap saudara? Ke mana sahabat yang kamu bersedia melakukan apapun untuknya? Ke mana orang-orang yang selama ini mengaku membutuhkanmu? Kamu sudah memberikan kode akan dirimu yang kesepian dan terjatuh begitu dalam. Apa mereka tidak menangkapnya?
Setelah kamu pergi, cukup lama aku berkutat dengan pemikiranku sendiri. Apa yang bisa aku lakukan agar tak ada lagi yang mengalami hal yang sama seperti yang kamu rasakan? Membuat tulisan di sosial media tentang kesehatan mental, aku tak yakin akan banyak berpengaruh.
Kita bukan hanya menghadapi orang yang sedang berada pada titik terendah, tetapi juga mereka yang mahabenar dengan segala penghakiman. Mereka bilang, orang-orang seperti kita kurang iman, kurang bersyukur, dan lemah. Mereka meminta kita bercerita, tapi di saat yang sama juga menghujani dengan kisah betapa kuatnya mereka saat diterpa badai.
Aku tahu, mustahil melakukan ini sendiri. Pijakanku tak cukup kuat. Berkali-kali aku terjatuh lagi, terlebih saat ada yang bercerita padaku dan aku tak tahu harus berbuat apa untuk mereka. Bahkan, sekadar memeluk pun aku takut, padahal aku tahu itu yang mereka butuhkan.
Nanti, kamu harus bilang terima kasih ke teman-temanku karena sekonyong-konyong punya ide untuk buat project menulis Writing for Healing. Dari situ, aku banyak bertemu teman-teman seperti kita. Bukan satu dua orang yang tengah berada di titik terendah mereka, mungkin lebih dari setengah.
Satu hal yang membuatku kagum, mereka memutuskan untuk mencari pertolongan di luar, bukan seperti kita yang hanya bersembunyi. Mereka bercerita pada psikolog yang kami hadirkan di workshop, menulis, dan sesekali berbagi pengalaman di grup-grup kecil. Memiliki teman senasib, meski sebelumnya tidak saling kenal tentu akan membuat lebih kuat.
Butuh waktu lebih dari dua tahun untuk tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sekarang fokus menulis dan mengajak orang untuk membukukan tulisan mereka. Bersama teman-teman juga aku membuat beberapa project antologi, meski tak semuanya bertema healing. Kamu tahu, melihat kegembiraan saat buku teman-teman terbit membuat hatiku menghangat. Seakan ada kamu lagi bilang, “Good job, Cha!”
Aku tahu, menulis bukan solusi untuk semua orang. Namun, setidaknya aku bisa menemukan mereka yang merasa lebih baik dengan menulis dan tak lagi merasa sendiri. Suatu saat nanti, kami ingin bercerita pada dunia bahwa apa yang kami rasa adalah valid, bukan bahan bercanda, apalagi cara untuk menghakimi seseorang.
J, terima kasih telah banyak menginspirasi. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Semoga aku bisa melakukan yang lebih baik lagi.
It’s okay not to believe in miracles, because to me you’re a miracle.
With love,
Chaaa
Photo by Showkat Chowdhury on Unsplash