Oleh Putri Astrie
Untuk: Seseorang nun jauh di mata
Sahabat … rasa tak terima dipersalahkan itu, kadang masih menyelimuti benakku. Persahabatan yang terbina harus pupus karena banyak kesalahpahaman di antara kita. Sungguh, semua tuduhan yang kau lontarkan itu tidak beralasan. Hakim di pengadilan saja, memerlukan bukti kongkrit dalam mengambil sebuah keputusan. Semua itu bertujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan. Aku pun demikian, merasa tidak melakukan kesalahan. Tak ada bukti yang bisa kau tunjukkan untuk menjadi dasar pembenaran tuduhan tersebut.
Hatiku tak berlabuh pada sosoknya yang telah melabuhkan hati pada wanita lain. Dia bukan laki-laki yang kucintai untuk menjadi pelengkap imamku. Hilangkan negative thingking yang bersemayam kala itu. Musnahkan rasa yang ada pada dirimu agar tidak berkembang dan bermetamorfosis menjadi perasaan yang menjadi beban. Rasa yang tak seharusnya bersarang menjadi perasaan tak terbantahkan. Kita telah bersahabat dari beberapa tahun.
Aku tahu perasaanmu sebenarnya. Perhatian kecil yang kau berikan sangat tampak di mata. Apa aku menutup mata? Kamu tahu jawaban sebenarnya tanpa harus kujelaskan panjang lebar. Yuups, betul apa yang dikatakan oleh temanmu, mataku memang tertutup tak bisa melihatnya. Mata ini terinfeksi virus cinta yang lain sehingga tak mampu melihat perhatian yang telah kau berikan. Virus cinta yang membuat lupa keberadaanmu.
O o … siapa dia?
Dia bukan sahabat yang kamu tuduh menusuk dari belakang. Aku dan sahabatmu itu murni bersahabat. Kedekatan itu muncul karena rasa nyaman berbicara sebagai seorang sahabat. Mr X itu sangat enak saat diajak berkomunikasi, bertukar pendapat, dan bercanda. Demikian juga anggapan yang sama ditujukan padaku. Beliau tahu perasaanmu dan perasaanku sebenarnya. Itulah yang menyebabkan pembicaraan via telepon atau kopdar dilakukan tanpa melibatkanmu. Semua itu dilakukan untuk menjaga perasaan agar tidak ada yang terluka atau melukai. Bukankah menjaga perasaan itu baik?
Peristiwa setelah lebaran beberapa tahun lalu, kembali berputar di memori otak ini. Kehadiranmu di rumah dengan membawa sepucuk surat yang tidak pernah kau berikan, ia juga mengetahuinya. Aku sangat menghargai kedatanganmu yang menentang derasnya air hujan yang jatuh membasahi bumi. Badan basah kuyup tak kau hiraukan. Sunguh itu sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa patut mendapat acungan jempol. Aku merasa tersanjung dengan kenekatan itu.
Berbincang dari hati ternyata membuat dilema. Satu sisi ingin membuat suasana tetap kondusif seperti hari-hari sebelumnya. Namun, di sisi lain ungkapan dan cercaan pertanyaan membuatku harus berbicara jujur. Tak perlu lagi kebohongan untuk menutupi kenyataan sebenarnya. Tidak ada maksud terselubung ingin mempermainkan perasaanmu.
Hidup bukan untuk menunggu badai berlalu, tetapi harus mampu menari di tengah hujan. Penolakan itu ada alasan nyata bukan mimpi semu. Maafkanlah, apabila jawaban yang kuberikan saat itu melukai hatimu. Kejujuran yang membuat perasaanmu terluka. Maafkanlah apabila persahabatan ini terganggu gara-gara jawaban yang tidak sesuai ekspetasi.
Hatiku sudah berlabuh di tempat lain. Terima kasih telah menyayangi dan menjadi sahabat yang terbaik selama beberapa tahun kebersamaan kita. Hati ini tak pernah jatuh padamu. Memaksakan cinta hanya akan membuat hati semakin terluka. Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, kecuali Allah azza wa jaalla. Allah menitipkan luka pada hati yang kuat karena Allah yakin hamba-Nya adalah makhluk-makhluk yang mampu mengatasinya.
Masih ingatkah tentang sebuah kajian yang pernah kita ikuti? Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan.
Setiap muslim itu bersaudara. Baik orang yang mau meminta maaf ataupun yang memberi maaf mereka adalah gambaran dari orang-orang yang bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jika perbuatan tersebut semata-mata untuk mencari ridho Allah.
Sahabatku …masih terekam ucapanmu saat itu, manusia ini hanya hidup sebentar ibarat “mampir ngombe”. Kita harus memahami kehidupan manusia secara menyeluruh hanya sebentar. Ungkapan tersebut menyiratkan bahwa hidup atau kehidupan di dunia ini hanya sementara, waktunya juga sangat cepat, dan singkat. Manfaatkan waktu dengan hal yang positif itu pesan yang tersirat dari perkataanmu.
Saat ini sudah beberapa Ramadhan telah berlalu. Kamu tahu apa kesukaan maupun yang tidak kusukai termasuk dalam hal warna. Warna abu-abu membuat nyaman. Namun, sejak dahulu warna hijau merupakan favoritku. Hijau menyejukkan mata. Hijau meneduhkan dan tempat paling nyaman untuk bersandar.
Sahabatku … usia kita tak muda lagi. Hal ini tentu mempengaruhi pola pikir kita. Jarak dan waktu telah memisahkan beberapa tahun. Entah kapan kita dapat bersua lagi. Berjumpa dalam suasana yang berbeda. Jika saat itu telah tiba, jangan ada lagi aura permusuhan diantara kita. Satu pintaku dari lubuk hati terdalam maafkanlah diri ini,atas segala kesalahan yang pernah ada, baik ucapan maupun tingkah laku.
Hidup harus tetap berjalan. Masa lalu mengajarkan arti untuk memahami, mengikhlaskan, dan melaju menuju masa depan. Jika kamu ingin bahagia mari lepaskan sifat egois yang masih membelenggu jiwa. Jangan pernah biarkan masa lalu kembali mengusik kehidupanmu. Kita boleh melihat ke belakang, namun jangan membawanya kembali. Masa lalu hanyahlah pembuka jalanmu menuju kejayaan yang terbentang luas di masa depan. Setiap orang menempa takdirnya sendiri. Jalan hidup tiap orang sudah digariskan oleh Allah.
Tuban, 8 April 2022
Photo by Jackson Simmer on Unsplash