Mengubah Tematik Menjadi Asyik

Oleh : Tyasya

Jakarta, 8 April 2022

Teruntuk Yth. Bapak Nadiem Makarim

Selaku Menteri Pendidikan Nasional

Bapak Nadiem yang terhormat, perkenalkan saya seorang Ibu dari murid kelas satu SD. Bapak bisa memanggil saya dengan Bu Ning.

Bapak Nadiem, saat anak saya masuk SD, pembelajaran masih dilakukan secara daring alias PJJ. Sebagai Ibu bekerja yang tidak selalu mendampingi anak di rumah, saya sempat syok ketika mengetahui apa saja yang anak saya pelajari.

Setiap hari anak saya harus mengerjakan soal yang ada di buku cetak tematik. Seminggu sekali, wali kelas akan melakukan panggilan video melalui WhatsApp untuk menguji kemampuan anak dalam membaca dan menghitung.

Bapak tahu yang membuat saya syok? Untuk anak SD kelas satu, beban belajarnya luar biasa berat. Selain setiap hari harus mengerjakan soal (tentu yang memandu adalah orang tua, bukan guru), teks bacaan yang disajikan juga panjang-panjang.

Bayangkan, Pak. Kalau jaman dulu saya SD, kelas satu itu masih belajar membaca dan menghitung. Sedangkan sekarang? Anak dipaksa ‘harus’ bisa membaca teks panjang, menghitung angka sampai puluhan. Wow sekali, Pak.

Alhamdulillah, keluarga kami masih bisa memasukkan anak ke tempat belajar calistung sebelum masuk SD. Bagaimana dengan mereka yang tidak mampu, Pak? Bagaimana jika orang tuanya tidak bisa mendampingi anak untuk belajar membaca? Bahkan jika ternyata orang tuanya buta huruf? Bukankah kasihan sekali anak tersebut?

Tidak itu saja, Pak. Selama setahun ini, buku cetak tematik anak saya itu sampai empat! Setengah semester harus menghabiskan satu buah buku. Belum ditambah dengan mata pelajaran lain seperti Agama, Olahraga, PLBJ dan Mulok.

Saya ingin bertanya kepada Bapak. Apakah pembuat kurikulum tematik untuk jenjang SD itu memang pernah mengajar di SD? Atau hanya sekedar supaya tampak lebih keren dibanding sebelumnya saja?

Sebagai orang tua, saya berharap kurikulum untuk SD bisa direvisi dan diperbaiki kembali. Karena saat SD itulah semua dasar harusnya dipupuk dan ditanamkan, termasuk budi pekerti.

Bapak Nadiem yang terhormat, saya juga mengajar jenjang SMP. Hampir semua murid saya matematika dasar pun masih suka lupa. Kenapa? Karena prinsip dasar tidak mereka dapatkan saat SD.

Sewaktu SD, terkesan hanya mengejar materi saja. Agar semua tema diajarkan. Agar bahan ajar habis sesuai waktunya. Saya merasa miris melihatnya, Pak.

Bagaimana pendidikan di Indonesia menjadi maju kalau begini terus? Tolonglah, Pak. Kaji kembali kurikulum tematik untuk anak SD itu. Kalaupun tetap bertema, buatlah menjadi asyik dan tidak membebani baik murid maupun guru.

Bapak Nadiem yang terhormat, saya percaya Bapak menginginkan yang terbaik untuk pendidikan di Indonesia. Namun, jika boleh memberi saran khusus untuk SD kelas satu, fokuskan kepada pembentukan karakter, budi pekerti. Baru kemudian membaca, menulis, dan menghitung (calistung).

Di masa sekarang ini, calistung sepertinya dimasukkan ke kurikulum PAUD dan TK. Kalau masuk SD saja ada usia minimal 6,5 tahun dengan alasan siap belajar. Mengapa anak kelas satu SD sudah harus pandai calistung?

Sungguh, Pak. Akan kasihan sekali jika ada anak yang belum bisa calistung masuk SD walau usianya sudah dikatakan cukup. Anak yang masih mengeja dipaksa membaca teks panjang dan sulit.  Anak yang baru mengenal angka dipaksa menghitung dalam bentuk soal cerita yang logikanya saja dia belum paham.

Bapak Nadiem yang terhormat, ada banyak curahan hati para Ibu yang anaknya sekolah di jenjang SD. Hanya saja mungkin tidak sampai ke telinga Bapak.

Jujur, Pak. Saya tidak tega melihat anak kelas satu SD belajar begitu banyak materi. Walaupun sudah pembelajaran tatap muka, tetap saja masih memberatkan, Pak.

Semoga saja ada perubahan yang berarti dalam kurikulum SD, ya, Pak. Tentu dengan adanya perubahan itu harapannya terjadi perubahan yang berarti dalam sistem pendidikan di Indonesia juga.

Bapak Nadiem yang terhormat, saya berharap Bapak bisa benar-benar memberikan yang terbaik untuk pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang dahulu menjadi poros dari negara-negara di Asia Tenggara, di mana guru-guru kita sampai diminta mengajar di luar negeri. Sedangkan sekarang? Tahu sama tahu, ya, Pak.

Memang tidak mudah, tetapi semoga Bapak dan para jajarannya bisa mewujudkan yang terbaik untuk bangsa ini. Aamiin.

Mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan, dan terima kasih atas perhatian Bapak sudah membaca surat ini sampai selesai.

Dari seorang wali murid SD

Bu Ning


Photo by Firmbee.com on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *