Bear

Oleh Iecha

Depok, 6 Apil 2022

Kepada Saudara Aldhy

di sebelahku

A-ooow!

Kalau aku nggak salah ingat, ini surat pertama setelah dua puluh tahun kita saling mengenal. Aku juga nggak tahu sih, urgensi tulis surat buat kamu itu apa? Secara, kita sebelahan. Ditambah, sejak ada kamu, aku jarang—betul-betul jarang—tulis surat. Aku lebih sering kirim SMS, dan seiring berjalannya waktu beralih ke BBM, WhatsApp, Telegram, Line, yah apapun itu! Eh, tapi bukan di situ poinnya. Maksudnya, aku jadi jarang tulis surat karena aku cerita ke kamu.

Dulu, aku sering banget tulis surat. Berasa punya sahabat pena padahal nggak. Semua surat-suratnya aku tujukan buat diri sendiri: dari aku, oleh aku, untuk aku. Mandiri, bukan? Ya bukan, sih. Tepatnya, aku nggak punya teman. Hahaha, sad!

Sampai sekarang pun masih begitu. WhatsApp bunyi-bunyi melulu itu bukan karena lagi ngobrol sama teman. Isinya grup semua. Dari grup komunitas, grup kerjaan, atau kumpulan orang-orang yang dipersatukan oleh berbagai macam alasan. Pesan pribadi cuma beberapa. Itupun isinya dominan instruksi atau pemberitahuan.

Aku jadi sering berpikir, apa memang kehidupan orang sekarang kayak begitu? Kayak … apa ya? Kita terhubung cuma karena ada urusan. Kalau nggak ada kepentingan, kita bukan teman. Boro-boro segala tanya kabar, kirim lelucon gaje atau obrolan tanpa tujuan. Keramaian yang fake, padahal tetap saja sepi, hampa.

Serius, aku sering merasa kesepian. Kamu mungkin tahu aku punya sahabat cuma satu. Kami berteman sudah lama. Meski kadang kami chat gaje, tapi aku juga nggak mau sering-sering chat dia. Kesibukannya next level!

Sedangkan, kamu pasti tahu temanku cuma sedikit. Teman dalam arti sebenarnya ya, bukan yang sebatas kenal karena satu komunitas atau apalah. Mereka unik. Kalau telepon bisa sampai berjam-jam. Kadang malah sampai ganti hari. Biasanya mereka monolog. Bukan karena aku nggak mau tanggapin obrolan mereka, tapi karena aku nggak dapat kesempatan bicara. Setiap telepon, pporsi bicaranya dia mungkin 90%, aku 3%, sisanya suara hilang karena sinyal.

Kalau kamu bilang aku nggak kesepian karena mereka, ya nggak juga. Tetap saja kesepian, tetap aku butuh teman ngobrol dua arah, bukan sebatas jadi pendengar setia. Apalagi, setelah berbagai kejadian, aku benar-benar jadi orang yang superjarang ngobrol. Aku ngobrol cuma sama kamu. Jatah dua puluh ribu kata ya buat bom kamu doang. Makanya, waktu bestie aku telepon, minta aku cerita sambil temenin dia bikin tugas, aku senaaang!

Nggak usah tanya pacar!

Ingat nggak waktu aku peluk-peluk kamu nggak jelas? Itu bukan karena aku jadian, tapi karena aku dapat saran dari psikolog buat butterfly hug. Asli, saran itu bikin ketawa miris. Berasa psikolognya lagi ngeledek. Mentang-mentang mblo, terus disuruh cuddle mandiri. Berharap ada solusi lain supaya nggak berasa neomu lonely. Aku memang kaum fakir afeksi, tapi please, lah! Ya sudah, aku peluk kamu saja, meskipun kamu nggak peluk balik.

Serius, gara-gara itu, aku jadi ingat seseorang—bukan mantan—yang “dikecewakan” sama psikolognya juga. Berdasarkan cerita yang aku tahu, waktu itu dia kesepian, depresi, dan datang ke psikolog. Logikanya, setelah ketemu psikolog, depresinya mendingan. Nyatanya, dia malah memutuskan pamit dari kehidupan dengan cara yang dia pilih sendiri. Entah apa yang psikolognya itu bilang, semoga bukan disuruh butterfly hug juga.

Kamu pasti tahu orang yang aku maksud siapa. Yup! Yang bikin aku galau berkepanjangan sejak Desember 2017. Sebut saja namanya J. Delapan April, hari pertama kita ketemu, ternyata juga hari lahir J, cuma beda tahun.

Mungkin aku lebay dan baperan kalau sudah berurusan sama hal-hal menyangkut J. Bukan karena aku jatuh cinta sepihak—ya kali—tapi lebih karena aku nggak pengen ada orang-orang lain yang senasib. Cukup deh, nggak usah ada lagi orang yang pamit gegara depresi dan kesepian.

Aku pengen jadi teman buat orang-orang kesepian itu, meski aku sendiri kesepian. I wanna bear their pain! Buatku, satu orang kesepian ditambah satu orang kesepian bukan dua orang kesepian. Kalau sudah berdua, kan bisa ngobrol, jajan cilok, julid bersama, atau bikin tulisan buat jurnal internasional. Apalagi kalau berduanya sama cogan. Barangkali jodoh gitu, kan. Eh, apa sih?  

Yah, kamu tahulah. Yang kamu tahu pasti lebih banyak dari yang aku tulis di sini juga.

Okelah, berhubung kita sebenernya sebelahan, jadi suratnya aku cukupkan dulu. Big hug buat kamu, boneka beruangku yang buluk dan mulai botak.

Empat kali empat enam belas

Sempat tidak sempat nggak usah dibalas

Salam semanis madu dari

Iecha


Photo by Daria Shevtsova on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *