Untuk Kalian yang Selalu Hidup Dalam Hati dan Pikiran

Oleh Riyan Suatrat

Kata orang salah satu hal paling membahagiakan adalah ketika kita memiliki seseorang—entah itu sahabat, saudara, terapis—yang dapat dijadikan tempat curhat. Dengannya kita dapat dengan leluasa meluapkan, menyatakan, membeberkan semua isi hati dan pikiran, tanpa takut digurui, dihakimi, atau rahasia kita meluber ke mana-mana. 

Dari sini, ada yang mengatakan tempat curhat terbaik adalah Tuhan—dalam doa. Bisa juga lewat menulis di buku harian. Kalau dua hal ini dijamin rahasia kita akan aman sepanjang masa. Masuk akal banget, kan. Mana ada Tuhan akan membuka aib atau buku mengghibah dengan sesame buku perihal kejadian maupun perasaan yang kita rasakan. Kecuali buku itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. 

Saya sendiri sangat setuju dengan pendapat yang pertama. Tuhan adalah segalanya. Curhat padaNya tidak hanya dijamin rahasia aman, tetapi Dia pun akan memberikan solusi dan bantuan. Tidak ada keraguan di dalamnya.

Tapi rupanya di sini saya diberi kesempatan untuk menyampaikan isi hati dan pikiran saya pada seseorang yang dekat. Jujur, mungkin saya malah akan menutup semua hal tentang diri saya. Bukan apa-apa, saya malu dan takut.

Banyak aib, kesalahan, dan dosa yang telah saya perbuat. Apa jadinya jika mereka tahu apa-apa yang telah saya lakukan? Kecewa, marah, bahkan mungkin sesuatu yang terburuk akan mereka lakukan. Saya tak sanggup membayangkannya.

Namun, jika harus saya menulis surat untuk mereka—atau salah satu dari mereka—saya ingin mengatakan beberapa hal.

Saya bersyukur terlahir sebagai anak dari bapak dan mama. Mereka jauh dari sempurna, tetapi di sinilah saya dan menjadi seperti saya yang sekarang. Semua pencapaian dalam hidup, peristiwa suka duka, senang bahagia, marah, kecewa sekaligus bangga pada bapak, mama, dan semua kakakku. Apa yang saya lakukan dan pikirkan saat ini adalah buah dari didikan mereka. Lagi-lagi, bukan sesuatu yang sempurna. Justru dari kekurangan-kekurangan itu saya berkesempatan belajar banyak hal baru. 

Kesulitan dan tantangan di masa kecil, terlewati dengan banyak lelehan air mata atau pelototan mama. Kenangan saat lebaran di mana kita tidak punya apa-apa untuk dimakan. Kenangan saat sekolah saat saya harus puas dengan berbagai keterbatasan ekonomi. Di saat berbeda, ada berbagai prestasi yang teraih. Berkat kesabaran mama, dukungan para kakak, dan bapak yang tak lama mendampingi mama dan kami semua. Beliau berpulang saat umurku masih belia.

Terima kasih untuk segalanya yang diberikan—meskipun berada dalam kondisi kekurangan—sehingga saya akhirnya dapat menceritakan kembali semua kepahitan itu dengan bibir yang menyungging senyum. Napas tak lagi berat tatkala menceritakan kembali semua pengalaman tak menyenangkan atau momen menyedihkan.

Saya juga ingin meminta maaf karena belum bisa memberikan apa yang menjadi impian mama—dan kakak-kakakku hehe. Mereka semua mendambakan melihat adik bungsu yang keras kepala ini menikah. Maafkan saya, mohon maafkan saya. Sungguh, saya bukannya tak ingin memberikan apa yang kalian damba, saya hanya bukan anak perempuan pada umumnya. 

Tidak mudah bagi saya untuk menjadi manis, penurut, pendengar—tanpa membantah. Bukannya angkuh, saya hanya terlalu suka melawan.

Maafkan juga diri saya yang tidak menjadi perempuan baik. Kata sholeha masih terlalu jauh untuk saya sandang. Jika itu adalah impian kalian, mungkin dengan kekuatan doa, saya akan dapat tertolong. 

Untuk kalian yang selalu—dan telah—mengendap, hidup, memengaruhi diri saya, terima kasih telah menjadi pendukung utama untuk semua aktivitas dan cita-cita saya. Juga maafkan saya yang telah bersalah dan belum menjadi orang baik.  


Photo by Mathyas Kurmann on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *