Oleh Aprilia Wulandari
Dear Liana,
Melalui surat ini saya ingin menceritakan ke kamu bagaimana awal mula saya melalui perjalanan hingga akhirnya bertemu denganmu. Me, my self, and I. Sebuah kalimat yang cukup menggambarkan diri saya. Sejak menyadari kalau saya punya penyakit mental, rasa rendah diri saya semakin menjadi-jadi. Kilasan memori bullying saat kecil sering membuat saya tidak percaya akan kemampuan diri sendiri. Saya jadi takut, ragu, dan kerap kali goyah dalam menentukan jalan hidup. Hal dasar seperti prinsip dan keyakinan saja saya tidak memilikinya. Tahun 2018 adalah puncak dari mencuatnya kesakitan batin yang sudah lama saya tekan ke dalam. Bom waktu. Kala itu yang bisa saya lakukan adalah menangis selama berbulan-bulan. Hampa. Ingin rasanya lenyap begitu saja, toh tidak akan ada yang peduli kan jika saya menghilang?
Saya kehilangan figur seorang teman. Berkali-kali saya mencoba berteman dengan orang lain hasilnya selalu gagal. Saya jadi bertanya-tanya, apakah seburuk itukah saya hingga orang lain tidak mau berteman? Padahal, kenyataan yang sering saya lihat ada begitu banyak orang dengan kepribadian tidak senonoh masih memiliki teman yang mau membantunya dengan tulus. Lantas, kenapa saya tidak menerima hal serupa?
Rasa frustasi pun mendorong saya cenderung ‘membakar jembatan’ setiap kali ‘lulus’ dari beragam sirkel sosial. Saya bahkan bisa sangat mudah memutus hubungan komunikasi dengan teman-teman sejawat ataupun keluarga terdekat.
Pergumulan batin selama bertahun-tahun mengantarkan saya ke gerbang depresi. Saya kehilangan makna hidup, tak tahu arah tujuan. Seperti kata pepatah, mati segan hidup pun tak mau. Namun, diujung titik kelam saya disadarkan kembali oleh Tuhan. Ia Maha Baik. Sejauh saya menenggelamkan diri dari dunia luar, sejauh itu pula Ia menarik saya kembali ke permukaan. Seolah berkata,
“Wahai, hamba-Ku. Mengapa engkau selalu menyiksa dirimu sendiri sedangkan Aku masih memberi kesempatan bagimu untuk berubah? Lupakah engkau bahwasanya Aku selalu hadir setiap kali kau membutuhkan-Ku? Tak sudikah lisan dan pikiranmu itu untuk sekedar mengingat-Ku?”
Bagai mendapat cahaya rembulan kala malam di tengah hutan, saya mulai tertarik dengan dunia psikologi yang menjadi pencerah atas masalah kejiwaan diri ini. Niat saya cuma satu, saya ingin mengenal dan belajar menerima diri seutuhnya. Saya pernah baca bahwa didalam ilmu psikologi ada istilah alter ego yaitu sebuah identitas lain dari diri yang dibentuk secara sadar. Singkatnya adalah karakter yang berbeda dari karakter yang saat ini dilakoni.
Sepintas ada keinginan dalam benak untuk mencoba mengeluarkan sisi alter ego tersebut. Tapi lagi-lagi, ketakutan saya ternyata masih lebih besar. Kemudian, hal lain pun saya lakukan dengan harapan saya bisa sejenak ‘meninggalkan’ carut marut diri saya ini. Saya akhirnya mulai belajar cara berdialog dengan diri sendiri. Dari situ saya menciptakan sebuah ilusi bahwa di dalam diri saya ada sosok yang bersemayam dan bisa menjadi teman setia. Sosok itu bersedia menjadi pendengar segala keluh kesah dan membantu menenangkan ketika mood swing saya kambuh. Sosok itu saya namai Liana. Seorang gadis anggun dengan tutur kata lembut yang mampu menjadi caregiver bagi orang-orang yang mengidap penyakit mental.
Melalui surat ini pula saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya karena kamu sudah hadir mendampingi di setiap perjalanan hidup saya. Kamu adalah saksi perjuangan saya menghadapi monster-monster jahat yang telah lama hidup di alam bawah sadar. Kamu juga mengajarkan saya bagaimana cara menerima diri seutuhnya, memberi insight bahwa emosi yang saya rasakan itu valid serta selalu sabar melatih saya menurunkan ego.
Liana, saat ini saya memang belum sepenuhnya sembuh dari luka batin masa lalu. Tetapi saya mau berjuang hingga batas maksimal. Selama Tuhan masih memberi saya nafas, artinya perjuangan saya untuk merubah nasib menjadi lebih baik belum selesai. Sekarang saya mengerti mengapa orang-orang dewasa selalu mengeluhkan persoalan hidup mereka. Ternyata hidup di dunia realita ibarat berlayar di lautan ganas. Jika bergabung dengan kapal besar, hukum rimba bisa kapan saja berlaku. Namun, jika berlayar sendiri apakah sudah yakin memiliki bekal materi, ilmu, dan mental yang cukup? Tapi, hidup tidak sesederhana itu, kan?
Photo by Ivan Lapyrin on Unsplash