Oleh Shovy Ramadhanti
Hai Mbak Li,
Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku selalu berharap kamu baik-baik saja. Aku selalu berharap kamu selalu bahagia. Sebenarnya sampai sekarang aku bingung harus memanggilmu tante atau mbak. Kalau dari silsilah keluarga, kaku harus memanggilmu tante, tapi semua anggota keluarga menyuruhku memanggilmu mbak karena usia kita hanya terpaut 2 tahun saja.
Kamu harus tahu kalau aku rindu sekali. Aku rindu saat kita masih kecil dulu, rindu saat kita bercerita random, rindu kita motoran enggak tentu arah, aku rindu orang lain yang menyebut kita ini anak kembar. Padahal sudah jelas kalau kita beda 2 tahun dan muka kita enggak mirip. Mungkin mereka menyebut kita anak kembar karena ke mana-mana sering bareng.
Kamu ingat? Dulu aku sering merebut mainanmu. He he.
Apa kamu juga ingat? Kalau aku sering buat kamu cemburu karena ayahmu yang notabene adalah kakekku lebih sayang padaku. Sungguh, aku enggak ada niatan untuk mengambil kasih sayang seorang ayah darimu. Kamu harus tahu, kalau ‘kakek’ juga sangat sayang padamu, bagaimana enggak sayang sih? Kamu itu juga putrinya sama seperti Mamaku. Walaupun dulu aku suka merebut mainanmu, tapi aku enggak pernah merebut orang yang kamu cinta. Selera kita sangat berbeda jauh. He he he
Padahal dulu kita dekat berbanding terbalik dengan sekarang, aku merasa kita terasa jauh sekali. Ketemu pun jarang ngobrol random. Sekarang kita sibuk dengan kehidupan masing-masing ya? Kamu dengan keluarga kecilmu, aku dan keluarga kecilku. Aku selalu berdoa semoga kamu selalu bahagia. Aku tahu jadi kamu itu enggak mudah. Dari kecil kamu sudah dipaksa untuk kuat, kamu dipaksa menjadi dewasa lebih dulu dari usiamu. Aku enggak tahu sejak kapan jarak tinggi terbentang di antara kita? Ah, mungkin sejak kamu memberontak ya? Kamu keluar dari rumah untuk bahagia dengan pilihanmu.
Kamu mengejar apa yang kamu inginkan. Sekarang terbukti kalau kamu bahagia. Hanya saja bahagiamu skearang sudah tidak ada aku lagi di sampingmu. Beberapa kali kita saling menyimpan kontak ponsel masing-masing, beberapa kali pun kamu menggantinya dengan berbagai alasan supaya aku tak lagi tahu kondisimu. Visi misi kita memang berbeda. Sadar atau tidak, sedari kecil pun sudah berbeda. Kamu hanya terlambat menyadarinya. Bahkan, orang yang dulu kamu hindari, orang yang dulu sering membuat masalah denganmu, kamu jadikan dia seseorang yang paling berarti, seseorang yang selalu paling tahu keadaanmu dibandingkan keluargamu. Aku hormati semua keputusanmu.
Aku hanya bisa memantau dari jauh, aku hanya bisa melihat keadaanmu dari sosial media. Aku enggak berani memberimu saran atau ikut campur urusanmu lagi karena aku takut. Aku takut kalau ternyata saranku enggak diperlukan sama kamu.
Ah iya, hampir lupa. Beberapa hari lalu kamu datang di mimpiku. Kamu menangis dan mengatakan butuh tempat curhat. Aku enggak tahu apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan. Apa mungkin mimpi itu pertanda sesuatu yang buruk, baik atau hanya sekadar bunga tidur. Aku berharap kalau mimpi itu hanya tanda kalau aku rindu sama kamu. aku berharap kondisimu baik-baik saja.
Sekarang Bulan Ramadan, aku harap ketika lebaran nanti ketemu kamu, kamu bisa kembali seperti tante atau mbak yang kukenal pas waktu kecil. Jujur, aku lebih suka sikapmu yang dulu daripada sikapmu yang sekarang. Aku nanti saat ketemu lagi bisa ngobrol random lagi tanpa harus kamu potong omonganku dan tanpa harus kamu dengar setengah-setengah omonganku yang bisa menjadikan itu sumber salah paham. Aku sangat sangat dan sangat berharap saat ketemu kamu lagi tidak ada rasa canggung diantara kita. Kita ini bukan orang asing, bukan sepasang pasangan yang menjadi mantan. Kita ini hanya tante dan keponakan yang seharusnya bisa lebih baik lagi hubungan persaudaraannya.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Aku minta maaf kalau ada perkataan atau sikapku yang selama ini mungkin menyakiti perasaanmu. Sampai kapan pun kamu masih bagian keluarga besarku. Sekali lagi, aku kangen kamu.
Salam Rindu Dari Keponakanmu Yang No. 3
Photo by Daiga Ellaby on Unsplash