Rindu Tak Bertepi

Oleh: Darmanelly

Kepada Yang Tercinta Suamiku Disana

Uda Vivaldi yang aku cintai. 

Izinkan aku menulis surat ini diawali dengan puisi. 

Rindu Tak Bertepi

Kau pergi penuhi janji
Tinggalkan biduk patah kemudi
Tinggalkan sepi menyelimuti
Tinggalkan rindu tak bertepi

Bila malam menghampiri
Kupejamkan mata berharap mimpi
Berdoa pada Sang Pembolak-balik hati
Temukan kita di Jannah-Nya nanti

Semoga kau di sana tidur lelap dengan tenang. Berada dalam pelukan kasih Ilahi. Terbaring dalam mahligai-Nya bersama orang saleh lainnya. 

Jujur, semenjak kepergianmu, relung hatiku terasa beku. Semangatku hilang, gairah hidupku melayang. Aku bagaikan perahu patah pendayung. Namun aku harus ikhlaskan walau penuh perjuangan. Terhuyung. Tiga puluh tiga tahun kebersamaan kita. Tak mudah bagiku untuk melupakannya. 

Seperti hari ini. Aku dalam perjalanan menuju Kota Malang melihat cucu kita. Kalila gadis kecil yang lucu dan pintar. Biasanya kita selalu pergi berdua. Bila kau lelah, kau jadikan pahaku sebagai bantal. Atau kau sandarkan kepalamu di bahuku. Jemariku mengusap rambutmu penuh kasih, sampai kau terlelap. Dengkuran halus terdengar menenangkan. 

Suatu malam aku sangat rindu padamu. Aku membuka fotomu dalam smartphone. Tak puas-puasnya aku memandangi. Khayalku menerawang. Kau seolah masih ada. Aku bayangkan kau hanya berdinas ke luar kota. Dan aku menunggu penuh rindu sampai kau pulang. 

Tak terasa jam di smartphone sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Aku mencoba untuk pejamkan mata dengan berdoa. Akhirnya terlelap jua. Esok harinya aku bekerja dalam kondisi mengantuk luar biasa. Badan terasa lemah. Tak lama kemudian kepalaku sakit, seluruh tubuhku pegal seperti habis dipukul. Dari kedua lubang hidung keluar cairan bening. Lubangnya terasa menyempit sehingga aku susah bernapas. Untuk memulihkan kondisi tubuh aku terpaksa mengambil cuti sakit selama dua hari.

Hari ini sudah lebih delapan bulan waktu berlalu. Dua belas tahun penyakit jantung yang kau derita sebagai komplikasi dari penyakit kencing manis telah sampai ke penghujung.  Malaikat utusan Allah menjemputmu tanggal 14 Juli 2021 pukul 00:35 WIB. Waktu yang sangat bersejarah dalam hidupku. Innalillahi wa inna ilaihi Raji’un. 

Sebelum ajal meninggalkanmu, sungguh aku tidak tega melihat susah payahmu menghirup udara dari sungkup oksigen.  Dari tabung yang dihubungkan melalui selang. Ingin rasanya aku berbagi agar kau tidak bersudah payah sendirian. 

Aku bimbing kau mengucapkan lailahaillallah muhammadarrasulullah. Kau mengikuti dengan perlahan. Setelah itu hanya lidahmu yang turun naik sebagai pertanda bahwa nyawa masih dikandung badan. Semakin lama semakin perlahan dan akhirnya berhenti sama sekali. 

Tidur Panjanglah

Duhai kekasih
Sekarang sehatmu pulih|
Telah hilang rasa pedih
Tiada lagi rintih lirih

Kekasih, tidur panjanglah
Dalam bilik sunyi bebas desah
Doaku selalu menemani
Hilangkan rasa sepi

Hari-hari aku isi dengan doa. Semoga kau di sana baik-baik saja. Selain itu aku juga isi hariku dengan hal yang positif. Sebagai bekal kita untuk bertemu di Jannah-Nya kelak. 

Suamiku.

Ada yang bertanya. Apakah aku akan mencari penggantimu sebagai teman hidup di dunia ini? 

Aku bingung menjawabnya. Apakah seandainya itu aku lakukan berarti aku mengkhianatimu? 

Bukankah menikah itu adalah ibadah?

Ketika aku ungkapkan akan kekhawatiranku, tentang siapa yang akan mendampingimu kelak, orang itu menjawab ada bidadari cantik yang akan mendampingimu. Dan akupun merasa cemburu. Enak betul si bidadari. Aku yang mendampingi semasa hidup, kenapa dia yang menggantikan? 

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalan) dengan kekuasaanMu. Aku mohon kepadamu sesuatu dari anugerahMu yang maha agung.”

Malang 7 April 22, 17:07 WIB.


Photo by David Werbrouck on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *