Ila Ummi wa Abi

Oleh Helwa Assyauqi

Ila Ummi wal Abi, 

Ramadhan kembali hadir, Mi. Di sisi lain, aku bersyukur bahwa Allah telah memberiku kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan penuh rahmat ini. Akan tetapi, Mi, di sini… Di dalam hatiku, senantiasa ada luka yang menganga. Sakit tapi tak berdarah. Bagaimana tidak? Ketika semua orang bersukacita menyambut bulan suci dengan berkumpul bersama keluarga, sedangkan aku sendirian. Sepeninggal kalian, rumah ini kian sunyi. Pun hati ini, hampa. 

Aku masih ingat, ketika pertama kali rumah kita ditempati, saat itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah. Bahkan saat itu lantainya masih berupa tanah. Kala itu, penghuni rumah di sini ramai. Masih ada Ummi, Abi, kakak, aku juga adik. Lalu, satu per satu dari kalian pergi. Menyisakan aku seorang diri. Dahulu, kita mengisi kenangan di dalamnya dengan kebahagiaan. Namun setelah kalian pergi, aku hanya bisa mengisinya dengan derai tak berkesudahan pada malam-malam sujud panjangku. Semakin hari, rasanya semakin terasa sesak berada di dalamnya. Sering aku berpikir, ingin meninggalkan rumah tua ini beserta kenangan di dalamnya. Namun tak ada tempat yang dituju. 

Aku kerap mencari pelarian dengan mengunjungi tempat terjauh yang bisa disusuri kaki ini, tapi sejauh apa pun aku pergi, pada akhirnya rumah tua ini kembali memenjarakanku dalam sunyi. Mungkin memang benar, seseorang yang hidup dalam penyesalan, dia akan selamanya terpenjara sepi. Ya, benar. Aku menyesali saat di mana kalian sakit, sementara aku tetap sibuk di luar. Tidak sepenuhnya menjaga kalian, sering meninggalkan kalian  sendiri. Masih sering kesal ketika kalian sukar dibujuk minum obat atau makan. Terutama ketika Ummi yang sakit. Padahal saat itu, Ummi merupakan satu-satunya orang tersisa yang berada di sampingku sebagai kekuatanku. Namun, apa yang kuberikan? Aku bahkan lebih sering meninggalkan engkau sendiri di rumah dalam keadaan sakit. Sementara aku tetap harus bekerja di luar. Meski alasanku untuk menghidupi kita, ini tetap tak bisa dibenarkan. Bahkan saat di rumah sakit, aku masih tetap pergi beraktifitas di luar. Berangkat dan pulang kuliah dari rumah sakit. Kemudian membiarkan Ummi dijaga orang lain. Benar-benar anak durhaka! Setiap mengingat hal tersebut, rasanya jantungku bagai ditusuk sembilu. Setiap hari diliputi penyesalan. Bahkan usahaku untuk tetap bertahan dan hidup lebih baik lagi tak juga mengobati rasa sesal. Sering aku berpikir, andai waktu bisa diputar ulang, aku rela meninggalkan aktifitas dunia yang menyita seluruh waktuku hanya untuk menemani masa tua kalian. . Sekali pun rumah dipenuhi kecerewetan kalian saat memberi nasehat, aku akan tetap menganggapnya sebagai irama surga. 

Ummi, Abi… rumah kita ini sudah sangat tua. Atapnya sudah banyak yang bocor. Tiang-tiangnya mulai rapuh. Persis seperti keadaan penghuni di dalamnya. Seperti air mataku yang terus tumpah. Seperti keluargaku yang pergi dan tak bisa lagi menjadi pelindungku. Rumah kita ini sudah hampir roboh dan ambruk. Seperti aku yang sudah kehilangan harapan mempercayai masa depan. Lututku kerap melema seraya bulir bening lolos dari kelopak setiap kali aku menyeret langkah menyusuri setiap ruangan rumah.  Ummi, Abi, tak jarang dalam sujud panjangku bertanya pada langit, “Langit, sedang apa ayah ibuku? Aku ingin ingin ke sana dan bertemu mereka.” Hening. Tiada jawab selain isak yang sengaja kutahan.  Rasanya, aku benar-benar patah. Jujur saja, aku lelah berpura-pura kuat dan tegar tanpa kalian, tapi aku harus tetap tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Aku tidak ingin menunjukkan semua rasa sakit karena kehilangan itu pada dunia. Barangkali, Allah sedang memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Allah ingin aku menebus dosa-dosa di masa lalu dengan gempuran rasa sakit. Aku terluka, tapi sedang menyembuhkan diri. Jangan khawatir, Mi, Bi, putri kecilmu ini akan belajar lebih bijak lagi menghadapi setiap rasa sakit karena kehilangan. Doaku, semoga kalian disayang Allah dan kelak kita akan kembali dipertemukan dalam Jannah-Nya. Titip rindu untuk kalian. 

Putrimu tersayang, 

Helwa Assyauqi 


Photo by Brian McFarland on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *