Chilly Willy

Oleh Meli

Jakarta, 6 April 2022

To: Sahabatku, Chilly Willy 

Di: Somewhere

Hei, Wil! Masih ingat sama mantan pacar bohonganmu? Iya, cewek yang selalu ribet minta diajarin matematika. Pasti ingat, lah! Butuh kekuatan yang besar untuk bisa menuliskan ini. Apalagi harus pakai bahasa yang baik. Kayak kamu sering bilang, “Kita harus pakai bahasa yang baik agar kita dilihat orang baik juga,”.

Semoga melalui surat ini, kamu tahu apa yang kupikirkan. Entah kapan dan di mana, kamu bisa membacanya. Kamu kan tahu bagaimana susahnya menghubungimu. Sekedar telepon saja, kamu larang. Hehe… 

Kabarku baik-baik saja. Memiliki keluarga yang sangat menyayangiku. Masalah pasti ada. Datang silih berganti. Tapi, kamu tahu aku kan. Orang yang jarang pikirkan masalah. Ingat pertama kali meneleponmu, aku diinterogasi. Yang akhirnya, aku dimarahin sama mama dan kamu juga. Kesal, ada. Dendam gak ada. 

Mmm… Apa kabarmu? Semoga baik-baik saja, ya? Itu yang selalu diharapkan. Banyak kesedihan yang harus kamu jalani. Tetap kuat ya! 

Oia, masih dingin ma cewek gak? Cobalah sapa mereka sekedar merubah padigma. Pasti akan kesulitan memilih cewek mana yang terbaik untuk masa depan. 

Bagaimana kuliahnya? Wujudkan obsesi-mu atau mama? Dari hati dan pikiran yang paling waras, selalu mendukung keputusanmu. Aku selalu mendoakanmu menjadi yang terbaik. 

Aku rindu saat kita bersama. Membahas tentang Juventus hingga berjam-jam. Ngajarin aku untuk jadi cewek yang baik dan benar. Kamu yang selalu mengingatkan betapa pentingnya punya cita-cita. Menemukan orang yang sesuai. Drama yang sering kita mainkan di depan teman-teman hingga mereka mengira kita adalah 2 orang yang tidak bisa dipisahkan. Dulu, hidup terasa hidup! 

Bagaimana kabar Mama? Masih galak gak? Kuharap mamamu lebih bijaksana di hari tuanya. Kabar yang kudengar, kamu sering adu pendapat di gereja. Kamu juga pakai barang terlarang itu… Benarkah? Seorang Willy berubah! Sedih, jika itu benar! 

Masih kuingat hari terakhir kamu menghubungiku. Kita masih bercanda banyak hal. Ngobrol banyak hal. Dari yang penting sampai kita sendiri bertanya, “Kita tuh lagi bahas apa?”. Dari suaramu kayaknya happy banget. Kamu memikirkan kemungkinan pindah kuliah di kampusku. Mengambil jurusan yang kamu sukai. Kita akan kembali bersama. Menjalani hari-hari yang indah. Akan menjadi kisah baru. 

Tanpa ada firasat, kamu telepon aku. Rasanya seneng banget! Saking senangnya dengan keadaan sampe lupa. Padahal itu sudah yang ke-3 kalinya, kamu telepon aku. Tetap saja, aku lupa bertanya tentang masa lalumu. Di mana kamu? Apa saja yang kamu lakukan? Kemana selama 2 tahun ini? Masih banyak yang ingin kutanyakan. Aku juga belum bilang betapa senangnya  aku, kamu masih menyimpan nomor teleponku.

1 hari setelah kamu menghubungimu, aku bertemu Sri. Iya, teman sekelas kita di kelas 11. Dia kangen padamu. Tanpa pikir panjang, aku bilang, “Kemarin, Willy telepon aku ke rumah! Dia sudah punya handphone, loh!” Eh, wajah Sri berubah. Dari ceria-khawatir-sedih. Tak lama kemudian, makin kencang tangisnya. 

Wil, tahu gak? Sri tuh, sukaaa… banget sama kamu! Cintaaa… banget! Paham kan kenapa dia menangis? Meski dia sudah punya pacar, tapi kamu selalu jadi yang pertama di hatinya. Dia gak bisa melupakanmu. Teman sekelas yang paling pintar dan tampan. Selalu jadi idola di hatinya. 

3 hari kemudian, tepatnya hari Senin. Sri dan beberapa teman gereja kamu telepon aku. Meminta ketemuan. Aku datang menemui mereka dan dihujani banyak pertanyaan. Raut mereka panik. Kata mereka juga, “Kejadiannya  3 minggu lalu. Di dalam gereja. Kami liat Willy ditarik ibunya masuk ke mobil. Wajahnya sudah gak ceria lagi. Udah berapa tahun, kami tidak melihat senyumnya. Sejak ibunya teriak-teriak merasa malu punya anak, tapi cuma bisa kuliah di Universitas Swasta. Tidak seperti semua kakaknya yang masuk di kampus bergengsi. Jaket kuning,”. Aku cuma bisa diam.

Eveline memohon dengan memelas, “Bantu kami dengan membantu mencari tahu keadaan Willy. Tanya ke ibunya, yuk!”. Jauh di lubuk hatiku, ingin tahu juga keberadaanmu. Aku hanya bisa menggeleng. Dan kemudian, berkata ” Maaf!”

Karena itu, kamu pergi tanpa pesan. Seperti menjentikan jari tangan, menghilang. Sehingga susah untuk menghubungi aku. Seandainya… Mungkin sekarang tahu kabar kamu. Seharusnya… Argh!!! 

Mereka memaksa untuk datang ke rumahmu. Cuma… Aku selalu ingat pesanmu, ” Apapun yang terjadi sama aku, jangan pernah hubungi aku! Dan jangan pernah datang ke rumah! Jangan pernah temui mama! Seberapa pun besarnya rasa ingin tahu kamu tentang keadaanku!”. Jadi, aku menolak dengan diam. 

Mereka bilang, “Aku gak peka sama kamu! Sahabat yang jahat!” Mereka yakin, cuma aku yang bisa nolong kamu dari mama. Aku yang harus temui mama untuk tanya keadaan kamu, Wil!

Aku cuma pegang janji itu. Mungkin mereka benar. Atas kepatuhan aku sama kamu yang bikin posisi aku ada di sini. Merasa bersalah seumur hidup! Apapun yang terjadi, aku menjadi seperti yang kamu minta.

Belasan tahun sudah berlalu. Aku belum dapat kabarmu. Aku belum bisa memaafkan diri sendiri. Sampai aku tahu bagaimana kabar mu. Kamu sehat dan bahagia kan? 

Sahabatmu

Meli


Photo by Adrian Linares on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *