Kisah Tentang Ibu

Oleh: Tyasya

Jakarta, 3 April 2022

Teruntuk Ibuku Tersayang

Ibu, ada banyak hal yang tidak mampu kusampaikan langsung kepadamu. Tentang rinduku, tentang isi dalam hatiku.

Ibu, kutahu kasih sayangmu tidak pernah lekang oleh waktu. Baik dahulu, sekarang, atau pun nanti.

Ketika Bapak tiada, engkau membesarkan kelima anakmu sendirian. Tidak pernah kulihat engkau mengeluh. Walau mungkin engkau bercerita kepada kakakku yang lebih tua, bukan kepadaku.

Aku tahu tidak mudah menjadi seorang Ibu tunggal. Karena itu, aku tidak berani meminta yang berlebihan kepadamu. Meskipun itu untuk kebutuhan sekolahku, tetapi aku pasti akan bertanya dulu padamu. Bu, apakah ada uangnya?

Sungguh, aku tidak ingin menjadi beban bagimu. Betapa senang hatiku ketika SMA mendapat beasiswa untuk meringankan biaya SPP setiap bulannya. Apakah engkau bangga padaku, Bu?

Ketika memilih PTN pun, aku ingin mendapatkan yang biayanya murah. Karena aku tahu, gajimu sebagai guru tidaklah seberapa. Bahkan kalau bisa yang gratis dan tanpa biaya.

Kalau kuingat kembali, saat aku diajak pindah indekos oleh kakak tingkat, jawabanku satu: maaf, kalau tahunan tidak bisa. Mengapa? Karena itu artinya aku harus meminta lebih darimu.

Ibu, semasa kuliah aku bahagia. Hingga akhirnya aku bisa bilang sudah membuatmu bangga bukan? Aku lulus dengan predikat sangat memuaskan. Bahkan engkau diminta menjadi perwakilan orang tua untuk memberikan sambutan saat wisuda. Aku bangga padamu, Ibu.

Walau sebelum wisuda aku telah merepotkanmu dengan banyak hal, penyakitku. 

Ibu, masih kuingat dulu ketika engkau menemaniku dalam setiap terapi. Aku pun ingat pernah membentakmu karena hal sepele. Maafkan aku, Ibu. Maafkan anakmu ini.

Dulu aku begitu sensitif dengan kondisiku. Meski kutahu, engkau akan selalu menerimaku apa adanya. Seperti apapun kondisiku.

Semua perjuanganmu untukku tidak akan pernah bisa digantikan dengan apapun. Aku hanya bisa mengenangnya selalu dalam hatiku. Kuharap memori tentangmu waktu itu tidak akan hilang dari ingatanku. Meski beberapa ingatan tahun itu tidak lagi terlintas dalam benakku.

Ibu, jika bisa kuungkapkan rasa rinduku padamu tiga tahun ini, sungguh berat rasanya. Tidak bisa menjengukmu saat sakit. Saat engkau dirawat di rumah sakit.

Ya Allah, betapa aku ingin pulang. Namun, virus korona menghalangi jalanku. Hanya bisa kutitipkan doa dalam setiap sujudku. Berharap engkau selalu sehat dan baik-baik saja. Aamiin.

Ibu, aku tahu, aku yang sekarang belum bisa menjadi kebanggaanmu. Malah terkadang masih merepotkanmu dengan ini dan itu. Maafkan aku, Ibu.

Maaf, dari lubuk hatiku yang terdalam.

Ibu, semua kebaikanmu padaku sudah kutuangkan dalam sebuah novel dan beberapa cerita pendek. Andai engkau membacanya. Kuharap, setidaknya hal itu bisa membuatmu tersenyum bahagia.

Ibu, November kemarin, saat aku pulang untuk kontrol ke Yogyakarta, setidaknya rinduku sedikit terobati. Walau aku tidak bisa bermanja kepadamu lagi. Namun, aku ingin engkau tahu, aku sayang kepadamu, Bu.

Aku ingin engkau tahu, rindu ini akan selalu ada untukmu. Meski tidak bisa kuungkap langsung, aku selalu memikirkanmu.

Ibu, Insyaallah tahun ini kami pulang—aku, suami dan anak-anak. Mereka rindu sekali bertemu denganmu, Ibu. Video call tidak bisa menggantikan kehadiranmu. Doakan kami, Bu. Agar rencana perjalanan tahun ini tidak lagi tertunda. Agar diberikan kesehatan, begitu juga denganmu, Ibu.

Hanya kata maaf dan terima kasih yang bisa kuungkapkan lewat tulisan ini. Maaf, jika masih belum bisa menjadi kebanggaanmu. Terima kasih atas semua bantuan dan kasih sayangmu untukku.

Ibu, aku rindu padamu.

Dari anakmu

Ning


Photo by Annie Spratt on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *