Oleh : Meiliana
Kalau ngomongin harapan menjadi perkara yang sulit bagiku. Mungkin karena terlalu banyak yang aku harapkan jadi kenyataan. Sampe ada yang bilang, masuk dalam komunitas “ngarep. com”, saja. Apakah itu komunitas isinya orang halu semua? Apakah tidak boleh bermimpi? Whatever, lah!
Setelah banyak yang kulalui, menyadari keadaan yang ada, sudah kulupakan aktualisasi diri ini. Karena ada anak-anakku. Tapi, bukan artinya mereka yang akan menjalankan obsesi aku yang tidak tercapai. Yang aku percaya, anak lahir sudah punya warna sendiri. Bukan kertas putih yang harus diberi gambar yang indah. Tapi,…
Itu tidak mudah, saat aku menyadari bahwa anakku beda. Tidak sama seperti kebanyakan orang. Yang mudah melupakan perkataan orang, yang mudah menyela pembicaraan orang. Yang mudah bosan. Yang selalu ingin bergerak tanpa pikir. Sedangkan yang paling kecil, selalu ingin seperti sang kakak.
Yang paling terlihat jelas bedanya adalah si kakak. Awalnya banyak yang kagum akan kecakapan dia dalam berbicara. Usia yang harusnya baru belajar merambat, kosakata dia sudah banyak. Semua orang melihatnya dan berkata, “anak hebat”.
Seiring berjalan waktu, paradigma mereka berubah. Dari kagum jadi kesal. Menganggap si kakak nakal. Tak bisa dipungkiri itu timbul setelah mereka menyaksikan hal-hal yang dilakukan di luar kebiasaan anak seusianya.
Saat mereka suka memainkan mobil-mobilan, dia suka membongkarnya. Saat mereka suka berpura-pura memotong sayuran miniatur, dia suka menebang pohon dengan pisau dapur. Saat mereka suka berlari-larian di tanah, dia suka bermanjat pohon. Saat anak suka memanjat pohon, dia sudah menemukan hal baru untuk dilalui yaitu berjalan di atas rumah.
“Ma, kakak kan udah minta maaf kenapa masih dipukul?” Tanyanya suatu hari setelah pulang sekolah TK.
“Kenapa bisa sampe dipukul?” Tanyaku heran.
“Kakak, juga gak ngerti. Kan lagi main lari-larian sendiri. Trus nabrak bahu Doni. Aku langsung minta maaf, kok!” Penjelasan si kakak.
Mulai si kakak masuk TK, sudah sering jadi bahan cemooh di sana. Dia yang tak peduli, biasa saja. Tidak ada teman juga biasa. Yang penting, dia bisa lari. Namun, itu adalah musuh tubuhnya.
Pemukulan itu kujadikan momen untuk aku memahami lebih dalam dengan si kakak. Kami mendapatkan terapi agar tetap bisa menghadapi bully yang lain.
Di pertemuan yang kesekian kalinya dari terapi korban bullying. “Bu, setelah saya pelajari, anak ibu menderita ADHD (Attention Defisit Hyperactivity Disorder. Dalam bahasa Indonesia, GPPH (Gangguan Pusat Perhatian dan Hiperaktifitas). Saya akan kasih obat untuk menenang Dopaminnya. Agar tidak memaksanya untuk bergerak terus. Kasihan dia! Saat tubuhnya sudah lelah, tapi otaknya memaksa terus bergerak.” Penjelasan sang psikolog yang juga merangkap psikiater.
Otakku terasa berhenti sejenak. Bingung harus apa. Adakah yang terbaik selain memberi obat? Tidak pilihan lain.
“Dok, adakah terapi saja? Obatnya ditunda dulu. ” Sela ayahnya yang memang ikut setiap terapi ke psikolog.
Begitu punya waktu santai, aku cari di google tentang ADHD. Belum banyak penjelasan dalam Bahasa Indonesia secara detil. Intinya yang bermasalah adalah fungsi Dopamin. Otak ada 2. Pertama, otak itu sendiri. Yang ke dua, lambung. Keduanya saling berkaitan. Menurut pemahaman ku, jika ingin berfungsi baik maka asupan nutrisi harus baik. Kalori yang bikin kakak sangat aktif berlari. Jadi, semua makanan yang mengandung banyak kalori harus dihentikan.
Pada waktu itu, pemahamanku terhadap kalori hanya gula. Mengurangi minuman dan makanan yang dengan rasa manis tinggi. Hanya itu.
Sampai akhirnya si kakak melakukan tindakan yang tak pernah terbesit di pikiranku. Suatu pagi menjelang siang, aku mencium aroma asap. Seperti ada yang membakar sesuatu. Kucari bau itu. Betapa terkejutnya, kakak dan adik sedang melihat mainan dibakar di atas meja belajar si kakak dengan menggunakan lilin.
“Astaghfirullah!!!” Seruku! “Matikan apinya!” Lanjut ku. Betapa panik diri ini. Mereka santai melakukannya. Gimana jika aku tidak mencari sumber asap. Bisa terjadi kebakaran. Beberapa mainan yang kecil telah leleh. “Biarkan di situ! Setelah dingin, baru dibereskan,” Ucapku kesal.
“Mama, kakak bakar mainan aku. Gak papa ya?” Ujar adiknya.
Mendengar ucapannya, aku nge-hang. Kenapa adek berkata seperti itu? Kayaknya ada yang salah dan harus diluruskan.
Aku ajak ngobrol si kakak, “Apakah boleh mainanmu dibakar?” Dia menggeleng mantap. “Lalu, kenapa kamu bakar mainan adik?”
“Iseng, aja. Pengen tahu kalau plastik dibakar kayak apa…” Jawabnya santai tanpa beban.
Hatiku makin tidak jelas. Apa yang terjadi. Semua terasa semerawut di otak. Apa yang sudah mereka bahas. Kakak dan adik berbicara seperti itu.
Tarik nafas yang dalam. Lalu, “Kakak, kamu sudah mengajarkan adik untuk berbuat nggak bener. Jika besok, adikmu membakar mainanmu di dalam rumah juga maka jangan salahkan siapapun, ” ucapku meluncur begitu saja dengan nada biasa saja.
Si kakak diam. Entah apa yang ada di benaknya.
Semua yang terjadi di anakku adalah ujian kenaikan untuk orang tuanya. Belajarnya kurang banyak dan tekun. Semangat cari banyak artikel yang membahas ADHD.
Kesimpulan yang didapat ternyata ada yang kurang maksimal yang diterapkan di asupan nutrisi si kakak. Aku lupa kalau karbohidrat simpleks itu sangat mudah pecah menjadi kalori.
Harus dikuatkan iman demi kebaikan si kakak yang akan mengefek ke adiknya. Diet kalori. Makan 4 sehat, tanpa 5 sempurna. Semua demi fungsi Dopamin. Ini akan berjalan sepanjang usianya sebab ADHD tidak bisa disembuhkan.
Sudah 2 bulan, kami menjalani. Sudah terlihat beda dengan dia yang dulu. Aktifnya mulai bisa dikendalikan. Mulai mau duduk manis dengar arahan baik dan benar. Meski harus diulang-ulang. Semoga kakak bisa jadi orang yang bermanfaat! Amin!
Photo by Reagan nicole on Unsplash