Oleh Viesilmi
/Hidup tanpa harapan berarti berhenti hidup-anonim/
“Ibu Kakak mau melawan trauma Kakak!”
Aku yang sore ini ripuh dengan aneka tanaman hias di teras, sontak terdiam. Kutinggalkan cacahan keladi dan aglonema di sekitarku. Lalu aku mendekatinya.
“Sini duduk dekat Ibu,” ajakku.
Aku duduk di undakan teras. Tempat yang paling bersih yang paling cepat kutemui.
“Kenapa, Kak?”
Kuulangi pertanyaan untuk bocah 10 tahun itu. Kuamati wajahnya yang beranjak baligh.
Kakak duduk di sampingku. Ia letakkaan sekop yang sedari tadi digunakan untuk membantuku menyiduk tanah.
“Kakak pengen les berenang. Pengen ngilangin trauma kakak.”
Aku terkesiap dengan kata-kata nya. Haru.
Waktu di TK A ia pernah mengikuti kegiatan renang bersama. Sarti, asisten rumah tangga kami yang baru yang mengantar. Kegiatannya yang bentrok dengan hari kerjaku, membuat aku mempercayakan Kakak pada Sarti.
Sore harinya kami berkumpul saling bercerita. Tayangan Robocar Poli dari salah satu stasiun tv swasta menemani petang kami.
“Gimana renangnya, Kak? Senang?” tanyaku.
Kakak paling semangat kalau diajak berenang. Seperti anak lainnya, dia sangat suka main air.
Kakak yang duduk di sebelahku terdiam. Dia lalu menghambur ke dalam pelukanku.
“Bu, tadi Kakak pas meluncur kekencengan,” ujar Sarti setengah tertunduk.
Aku menoleh pada gadis 16 tahun itu.
“Terus, Teh?”
Sarti mendelik. Sambil tersenyum dan mengusap-usap Kakak, dia berkata, “Terus kecebur air Bu! Kayaknya ada yang keminum. Tapi ngga apa-apa, kok! Nggak ada ya luka ya, Kak?”
Aku memandang wajah Kakak. Namun, dia masih mengenggelamkannya di balik dasterku. Kuusap-usap rambutnya yang mulai gondrong.
“Iya, Kak?” tanyaku meyakinkan.
Masih dalam pelukanku, Kakak mengangguk.
Sejak saat itu, setiap kami bawa berenang, Kakak menjadi takut-takut. Berbeda dengan adiknya, semua luncuran ingin ia cicipi, sampai-sampai aku sendiri ngeri.
Kudiskusikan perubahan itu pada suami. Ia hanya menyuruhku sabar dan positif thinking.
“Sudah, fokus pada trauma Kakak saja. Jangan sibuk mencari siapa yang salah. Semoga ada jalan untuk kembali normal,” harapnya.
Trok..trok…trook..tooook!
“Buuuu, siomay?”
Mang Sanip tukang somay langganan mengagetkanku.
“Mau, Kak?”
Kakak mengangguk.
“Dua, Mang! Biasa!” perintahku. Kurapikan sisa-sisa tanah di kaos dan jilbabku.
“Ini buat Ibu dan Aa!”
Mang Sanip menyerahkan dua piring makanan berkarbohidrat yang diselimuti saus kacang itu. Sambil mengunyah potongan siomay, kami melanjutkan perbincangan.
“Kalau beneran mau, Ibu daftarkan les renang di temannya teman Ibu,” kataku.
Kakak yang sedang memotong-motong siomay dengan sendoknya, mendadak berhenti.
“Iiiya, Bu. Mau! Kakak mau les berenang biar traumanya ilang!” jawabnya girang.
Kakak akhirnya resmi menjadi murid les Pak Riyan. Guru les renang yang direkomendasikan sahabatku. Sejak saat itu, jadwal Sabtu—Minggu sore kami berubah dengan rutinitas mengantarnya berenang.
Di pertemuan pertama Pak Riyan sudah mendeteksi ada trauma pada Kakak. Meski takut-takut, Kakak menurut waktu disuruh latihan menggunakan pelampung berbentuk kotak yang diikat di badannya. Ia berenang di lintasan pendek dengan kedalaman sedang untuk anak usia SD.
Sampai 6 pertemuan berikutnya, latihan Kakak belum menunjukkan perubahan. Meskipun begitu, ia penuh semangat. Itu yang membuatku salut padanya. Ia serius menjalani tiap 2 jam waktu latihannya.
“Sekarang latihan tanpa pelampung, ya!” instruksi Pak Riyan.
Aku melihat Kakak masih kesulitan berenang tanpa pelampung.
“Traumnya masih ada. Saya minta pindah ke bagian kolam yang dangkal,”kata Pak Riyan paada suamiku.
Sejak pulang dari kolam sampai malam ini, kulihat raut wajah Kakak sedih. Tampak ia menulis sesuatu di catatan harian siswanya. Sebuah buku catatan yang wajib diisi siswa dan disetorkan kepada wali kelasnya setiap hari.
“Nih, Bu!” Kakak menyerahkan catatan hariannya padaku keesokan harinya.
Aku membaca halaman yang ditunjukkannya.
Aku sekarang les renang. Tapi aku belum bisa. Aku mau latihan terus sampai traumaku hilang.
Dadaku bergetar membaca tulisannya. Lalu aku melanjutkan membaca pada bagian balasan guru.
Bu Guru salut pada Kakak. Tidak semua orang mau melawan traumanya. Harapan selalu ada untuk mereka yang mau berusaha. Terus berlatih, Bu Guru doakan selalu.
Kakak memandang padaku sambil ternyenyum. Mataku menghangat. Kagum aku pada kesungguhannya
“Ibu mau dampingi Kakak sampai bisa berenang. Ibu doakan trauma Kakak hilang,” ujarku.
Kakak membalas kata-kataku dengan pelukan erat.
Di pertemuan kedelapan, Kakak dicoba lagi untuk berenang dengan pelampung tangan dan badan. Kali ini rasa takutnya berkurang. Kontrolnya sudah lebih baik.
“Insya Allah traumanya berangsur hilang. Mantan murid saya ada yang lebih berat traumanya. Usianya SMA. Tetapi dia akhirnya bisa.”
Kata-kata Pak Riyan melegakan hati kami.
“Yang penting dia suka, Pak, kami dukung. Sebenarnya kami masih berat mengantar karena kondisi PPKM. Tetapi bismillah, kami dukung dia,” ujar suami.
Mulai pertemuan kesebelas, berangsur-angsur Kakak menunjukkan perkembangan.
“Bu, lihat Kakak berenang, ya! Jangan disambi lihat hape!” pintanya.
Aku tertawa. Merasa tertangkap basah karena kadang aku mengintip ponselku untuk menghilangkan penat selama berada di pinggir kolam.
“iya, iyaa….!” Kupegang lengannya yang menghitam karena efek berenang.
“Tambah item biarin deh!” tukasnya.
Kami tertawa lebar.
Sekarang di bulan keempat latihannya, aku bisa tertawa lepas melihat ia dan teman-teman lesnya terjun ke kolam sambil bergaya. Atau berlomba di lintasan panjang nonstop.
Trauma Kakak kini hilang. Sekarang ia berkeinginan untuk ikut klub renang profesional.
Kuiyakan keinginannya. Sebagai orang tua, tugas kita mendukung keinginan anak selama itu baik, bukan? .
Harapan selalu ada untuk mereka yang mau berusaha.
Di pinggir kolam renang sore ini, kembali kuteringat goresan tinta yang ditulis gurunya tempo hari.