Melangitkan Doa dalam Sebuah Harapan

Oleh: Wulandari

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya, suara adzan subuh dari masjid dekat rumah, sepertinya juga belum terdengar, mengintip langit dibalik jendela terlihat masih gelap dan dingin, meski begitu semangat memulai hari harus terus membara membawa sebuah harapan optimis yang terpatri di dalam relung hati bahwa aku harus menjadi seorang anak, kakak, istri, dosen, sahabat, teman dan rekan yang lebih baik setiap harinya. Harapan adalah sebuah asa dan keinginan yang pesonanya selalu terbersit dalam hati, terpatri dalam pikiran dan terealisasi dalam sebuah tindakan nyata, bukan yang Talk Only No Action (Banyak Bicara Minim Tindakan).

Harapan tanpa diimbangi dengan action hanya akan menghasilkan mimpi yang sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud. Meski terkadang praktek itu lebih sulit dari teorinya, namun selalu meyakinkan diri sendiri bahwa apapun yang sedang kita usahakan hari ini, jalani dengan sebaik-baiknya dengan penuh persiapan, karena sebuah proses terjal nan pahit yang kita rasakan sekarang, akan kita petik manisnya di kemudian hari. Karena biasanya proses tidak akan mengkhianati hasil.

Tahun 2022 sudah di depan mata, tinggal menghitung beberapa hari kedepan, tanpa terasa kita akan meninggalkan tahun 2021 yang merupakan tahun kesedihan karena kita banyak kehilangan orang-orang yang kita cintai yang harus pergi karena pandemi Covid-19 terutama ketika sampai pada puncaknya pertengahan Juli 2021 yang sangat mencekam dan ngeri karena kasus harian Covid-19 menembus 56.000 akibat munculnya varian delta.

Ada anak yang kehilangan orang tuanya sekaligus, ada suami yang harus kehilangan istri dan anak yang sedang dikandung, ada istri yang kehilangan suami sebagai tumpuan hidup dan harus mandiri berusaha berdiri untuk tetap menghidupi anak-anak, ada cucu yang kehilangan kakek neneknya setelah sebelumnya kehilangan orang tuanya.

Tahun yang tentunya tidak mudah kita lewati, banyak duka dan air mata disana terutama bagiku dan keluarga, karena tahun ini kami seperti ribuan keluarga lainnya yang juga kehilangan sosok papa yang kehadirannya sangat berarti dan kehilangannya membuat kami rapuh, goyah seperti tumbuhan yang harus terpisah dicabut paksa dari akarnya, sakit tapi tak berdarah. Meski sudah melalui beberapa bulan tanpa kehadirannya, entah mengapa rasa sedih dan sakit di hati ini belum hendak beranjak pergi. Bukan karena kami belum ikhlas atas kepergiannya, namun terlalu banyak cerita, kenangan, kebaikan, harapan dan cita yang bergelayut dalam pikiran ketika mengingat dan mengenang sosok almarhum papa.

Teringat keinginan terakhir beliau yang belum mampu kami tunaikan adalah berangkat haji atau umroh. Sudah dua tahun ini dunia terasa tidak bersahabat, virus Covid-19 membuat semua perencanaan yang sudah disiapkan harus terpaksa berubah haluan, begitupun dengan keberangkatan Papa Mama umroh harus tertunda sampai dengan waktu yang tidak bisa ditentukan, dan sampai Papa harus Kembali ke pelukan sang kekasihpun, niat tersebut belum juga terwujudkan.

Setiap kali melihat siaran langsung dari mekah, melihat beberapa jamaah yang memang sedang bermukim disana sedang melakukan ibadah umroh dan haji di sekitar ka’bah, terkadang membuat perih jiwaku, membuat mata berkaca-kaca dan tanpa sengaja bulir air mata jatuh bercucuran membasahi pelupuk mata, karena lagi-lagi harus terkenang sebuah keinginan Papa yang belum sempat mengunjungi Baitullah.

Sempat waktu itu mama bercerita, sekitar pertengahan tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19, melihat keinginan papa yang begitu merindukan ka’bah, hampir setiap malam menyetel di hp-nya bacaan murottal al-Quran oleh Syekh Abdur-Rahman As-Sudais, Imam Masjidil Haram dan juga Masjid Nabawi yang merupakan salah satu idola papa, “Mendengar bacaan murottal al-Quran yang dibacakan Syekh as-Sudais yang sangat merdu, terasa kita berada sangat dekat dengan ka’bah dan masjidil haram, meskipun kita belum pernah kesana”. Ucapnya kala itu.  

Namun sayangnya tawaran mama agar papa berangkat umroh terlebih dahulu, karena memang dana yg tersedia saat itu hanya cukup untuk 1 orang, langsung ditolak oleh Papa, karena baginya kepergian umroh tidak afdhal apabila hanya dilakukan sendirian tanpa didampingi istri tercinta. Kemesraan yang ditunjukkan papa mama sangat berbekas di hati kami anak-anaknya, jangankan harus pergi jauh untuk ibadah umroh ke Mekah, untuk pergi sekadar jalan-jalan saja dekat rumah mesti berdua, tidak lengkap kata papa kalau mama tidak ikut serta, berasa ada yang kurang rasanya. Sebuah kebersamaan dan ketergantungan satu sama lain itulah salah satunya membuat cinta dan kasih sayang diantara Papa Mama tak pernah pudar termakan usia dan waktu.

Momen terakhir yang masih sangat saya ingat adalah ketika aku dan papa makan siang berdua di rumah makan padang ketika papa mengunjungiku di Cirebon, sebulan sebelum beliau pergi, di tengah kami asyik menyantap hidangan nasi padang, papa bercerita tentang keinginan dan kerinduannya berangkat umroh.

Sekitar 3 tahun lagi papa akan pensiun, nanti setelah menyelesaikan segala amanah yang ada, papa akan berangkat umroh bersama Mama, setelah itu kami akan tinggal di Palembang sambil membuka mini market, membangun rumah panggung modern disana dengan lahan yang luas, dimana anak cucu bisa berkumpul, makan pindang ikan kesukaan Papa bersama, bermain dan bergurau bersama menghabiskan waktu masa tua”. Kenang papa saat itu.

Namun manusia hanya bisa berencana, Allah jua sebagai penentu sebaik-baiknya rencana. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik kedepannya di mata Allah. Kita sebagai manusia pada intinya hanya menjalankan skenario yang sudah Allah susun, ikhtiar menjalankan semua usaha adalah keharusan, namun jangan pernah lupa untuk menggandeng dan menyertakan Allah dalam setiap doa dan ikhtiar, karena hanya DIA-lah yang maha mengetahui mana yang terbaik untuk hambanya.

Niat berangkat umroh ini juga diamini oleh adek perempuanku, dia merasa keinginannya untuk berangkat umroh terasa lebih menggebu-gebu terlebih setelah kepergian papa, dia merasa akan bertemu dengan papa disana (baca: Mekah), sebuah ungkapan dan ekspresi kerinduan dari seorang anak terhadap Papanya. Merealisasikan apa yang menjadi harapan orang tua menjadi sebuah keharusan bagi sang anak, seolah ada keganjalan di hati, apabila niat tersebut belum terlaksana.

Begitupun dengan rencana dan harapan yang sudah tersusun di tahun 2022 agar apa yang masih menjadi amanah kami hingga saat ini diberi jalan keluar oleh Allah agar segera selesai, baik hamba dan suami hamba dimudahkan dalam mencari jalan rezeki yang halal, agar kami bisa menjadi orang yang terus bisa memberi dan mampu mewujudkan impian papa salah satunya berangkat umroh, meski secara fisik papa sudah tidak bersama, namun jiwanya masih membersamai kami, meski dalam dimensi dan ruang yang berbeda.

Kepergian papa yang begitu cepat, menyadarkan kami arti sebuah kebersamaan dalam keluarga yang harus senantiasa kita jaga ritmenya karena tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang bisa memprediksi akhir dari sebuah kebersamaan bersama keluarga tercinta. Rukun dan akur dalam hubungan persaudaraan, mampu menahan serta mengendalikan emosi ketika menemukan riak kecil dan  saling mensupport satu sama lain, adalah harapan setiap orang tua terhadap anak-anaknya. Dan kami patut bersyukur kepada Allah SWT karena masih diberikan waktu untuk bisa berbakti dan  mengurusi mama yang harus kami sayangi dan wujudkan harapannya dengan sepenuh hati. Semoga Allah mampukan dan beri jalan. Aamiin. Wallahua’lam Bisshowab.

Cirebon, 29 Desember 2021.


Photo by Ian Wetherill on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *