Salah Sasaran

Oleh: Widyaningsih

Tahu nggak sih, tadi subuh gue kaget banget. Asli syok karena tiba-tiba ada orang lain di kasur gue. Gue tendang aja langsung, sampai dia jatuh dari tempat tidur. Ya Allah, gue lupa kalau gue udah punya suami. Subuh-subuh gue musti manggil tukang urut deh jadinya,” cerita Eka saat kami menikmati sarapan pagi di pantry kantor.

Lalu, alih-alih bersimpati dengan ikut bersedih, kami malah mengakak bersama, menertawakan kekonyolannya. Bayangkan saja, Eka sudah berpacaran selama lima tahun dengan kekasihnya sebelum memutuskan untuk menikah. Namun tetap saja dia merasa kaget. Ada saja hal-hal yang ternyata belum dia tahu. Mengenal sekian lama ternyata tidak menjamin dia memahami semua sifat suaminya.

Rasanya bukan hanya satu atau dua kasus seperti itu. Bukan karena sifat yang ditutupi saat belum menikah juga yang menjadi penyebab. Hanya saja ketika dua orang yang berbeda memutuskan bersama dalam ikatan pernikahan, menjalani kehidupan dalam atap yang sama menjadikan keduanya lebih mengenal diri masing-masing.

Bahkan suami atau istri adalah seseorang yang paling mengenal pasangannya dibandingkan saudara atau orang tuanya sendiri.

Tidak jauh berbeda denganku. Sudah lebih dari enam belas tahun, aku menikah dengan suami. Selama itu pula masih saja kutemukan hal yang rasanya baru dalam hubungan kami. Ibarat pepatah, sifat maupun kesukaan kami sungguh berbeda, bahkan banyak yang bertolak belakang.

Aku suka singkong, dia suka keju. Aku hobi nyanyi, dia gemar mengaji. Aku tim bubur ayam tidak diaduk, suami selalu mengaduk semua yang ada di mangkuk buburnya hingga tercampur merata. Aku tipe manusia yang nggak bisa hidup tanpa cabai, sedangkan doi nggak bisa makan pedas. Aku orangnya ramai, dia lebih banyak diam. Aku santai, dia buru-buru. Aku sayang sama dia, dia juga dong.

Kalau memang segitu banyak perbedaan, kenapa kalian bisa end up?” tanya salah seorang sahabatku.

Selalu aku jawab dengan santai, ”Jodoh kan nggak harus sama persis kan?” Lagian nama kami berdua sudah pasti ditulis di Lauhul mahfuz puluhan tahun sebelum langit dan bumi diciptakan, sebelum tercetak berdampingan dalam surat undangan pernikahan.

Hal-hal yang kemudian terjadi selama hampir tujuh belas tahun ini juga bervariasi. Ada kesukaan kami yang saling ngeblend, misalnya saja aku jadi suka keju dan dia jadi senang sambal. Namun, ada juga yang tetap bagiku pilihanku dan nggak harus sama dengan pilihannya.

Jangankan denganku yang berasal dari latar belakang keluarga yang jauh berbeda, dengan saudara kembarnya yang sudah berbagi rahim selama sembilan bulan saja, sifat dan kemauannya berbeda. Iya, suamiku memang punya saudara kembar, identik dari segi wajah saja.

Kalau ada yang bertanya, “Pernah nggak sih lo ketuker?” dengan pasti akan aku jawab, “Enggak bakalan dong.”

Secara wajah mereka memang mirip sekali. Tanpa janjian pun, sering kali potongan rambut mereka sama. Tapi secara fisik, berbeda. Terutama tinggi badan yang cukup jauh gap-nya

Seperti halnya siang itu. Keluarga besar suami sedang berkumpul saat Bapak mertua berulang tahun. Empat bersaudara yang kebetulan laki-laki semua itu, datang membawa istri dan anak-anak.

Setelah makan siang, seperti biasa kami berkumpul untuk saling mengobrol. Para istri yang harus beres-beres terlebih dahulu, seperti biasa tetap ikut nimbrung walaupun terlambat.

Aku jadi orang terakhir yang bergabung. Kuhampiri suamiku yang tengah asyik memainkan ponselnya. Dengan santai aku menggelendot manja. Hingga tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi. Aku kaget karena aku melihat suamiku duduk berselang tiga kursi dariku.

Loh…loh… Ternyata aku salah menggelendot ke suami orang, saudara kembar suamiku. Ya Allah, aku salah orang. Rasanya aku ingin menghilang saja saking malunya. Mukaku sudah pasti berubah warna karena gelak tawa semua anggota keluarga. Asli aku malu sekaligus kesal. Kok bisa-bisanya salah. Benar-benar memalukan.

Salah satu perbedaan yang cukup mencolok dari suamiku dan kembarannya adalah kebiasaannya dengan ponsel. Pria yang sudah membersamaiku mendidik tiga anak laki itu lebih sering asyik dengan ponselnya, berbeda dengan kembarannya.

Tidak salah kan, aku langsung menghampiri si dia yang asyik dengan ponselnya? Kisah konyol ini sedikit banyak memberiku pelajaran untuk lebih berhati-hati. Masih untung kesalahanku berhubungan dengan saudara sendiri. Coba dengan orang lain, bisa-bisa ada layangan putus episode selanjutnya.

Poinnya, kenalilah pasanganmu lebih dekat. Terlebih saat mereka punya saudara kembar. Berhati-hati lebih baik dari pada mempermalukan diri sendiri. Waspadalah…


Photo by Grant S on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *