Oleh: Lia Nathalia
Setiap penghujung tahun, rasanya waktu berlalu cepat. Rasanya semua kegiatan harus dituntaskan sebelum tahun berganti. Imbasnya, berbagai macam kegiatan buru-buru dilaksanakan.
Aku tak luput dari matra-matra hingar binger kesibukan akhir tahun. Bahkan boleh dikatakan, di penghujung tahun ini adalah yang terpadat aktivitasnya setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir.
Selama enam tahun terakhir, kesibukan akhir tahun, khususnya di bulan Desember diawali dengan persiapan hingga perayaan hari ulang tahun komunitas Perempuan Berkebaya yang ikut kubidani pada 2014 lalu.
Seperti tahun kemarin, pandemi membuat perhelatan yang mengumpulkan banyak orang di suatu tempat masih belum dapat diselenggarakan dengan leluasa. Dan kondisi ini mengakibatkan berbagai kegiatan harus diselenggarakan secara hybrid dan kalau pun mau dilangsung secara tatap muka, pembatasan orang menjadi pertimbangan.
Perayaan ulang tahun komunitas Perempuan Berkebaya kali ini pun diselenggarakan sederhana denhen jumlah orang berkumpul terbatas, sehingga persiapan acara tak perlu menyita waku banyak.
Selesai perayaan ulang tahun, aku harus bersegera mengganti fokus perhatian, mempersiapkan rapat kerja nasional atau Rakernas organisasi profesi, di mana aku merupakan salah satu pengurus kunci di tingkat nasional.
Mengumpulkan pengurus dari tingkat provinsi sampai kabupaten dan kota seluruh Indonesia untuk rapat membahas program kerja tahunan bukanlah hal menyenangkan, namun harus dilakukan.
Belum waktunya tiba di ujung keriaan aktivitas di bulan Desember, karena selepas Rakernas aku harus mempertanggujawabkan pelaksaan program kerja setahun sebagi salah satu kordinator bidang di sebuah perkumpulan yang bergerak di bidang pembelaan HAM.
Praktis seluruh jatah akhir pekanku sepanjang bulan Desember padat dengan aktivitas rapat, merancang program, pertanggungjawaban kerja tahunan dan seterusnya.
Apakah aku pantas berkeluh kesah? Tentu tidak. Kusadari bahwa itu semua adalah cara mempertahankan komitmen yang telah dibuat, tanpa berkeluh kesah. Lelah fisik maupun mental sudah pasti. Namun, semesta punya caranya sendiri untuk meyeimbangkan itu semua.
Waktu itu, saat hari pertama rapat tahunan baru dua pertiga berjalan pada sesi hari pertama, salah satu kawan kerja pada proyek komunikasi di Bogor mengontakku. Dalam pembicaraan singkat di telepon, dia memintaku untuk sedapat-dapatnya berangkat ke Bogor hari itu juga. Ada investor yang ingin menemuiku untuk mambahas kemungkinan berkolaborasi di dalam waktu dekat.
Lelaki di pertengahan 40an itu tak kurang akal untuk memaksaku ke Bogor malam itu juga. Dikirimkannya foto puluhan tusuk sate. Walau aku kemudian berangkat ke Bogor, yakinlah itu bukan karena provokasi foto sate itu, walau aku adalah pencinta sate. Aku tetap berangkat di tengah iringan hujan di Malam Minggu, semata-mata karena ingin tahu apa keinginan investor.
Singkatnya malam itu aku di Bogor dan bersama sisa-sisa hujan, menerobos malam selama hampir dua jam perjalanan ke tempat pertemuan.
Pertemuan berakhir tengah malam. Penginapan sudah disediakan kawanku di area pertemuan yang memang merupakan resort wisata alam arung jeram. Sekitar 30 tusuk sate kumakan dengan lahap. Sebagian ketika masih bersama yang lain dan sisanya setalah selesai membersihkan diri. Karena selalu berpendapat bahwa makanan itu hanya terasa enak atau enak sekali, saya tidak terlalu memusingkan daging apa yang menjadi dasar sate itu.
Kira-kira pada tiga tusuk terakhir, saya baru memikirkan hal itu. Kalau dari rasa pada gigitan-gigitan terakhir seperti sate kambing, tapi hal itu baru terkonfirmasi keesokan harinya. Dan saat mendapat konfirmasi itu, aku hanya bisa memuji diriku yang tahan menghabiskan sekitar 30 tusuk sate kambing dan masih baik-baik saja.
Mungkin hal itu terjadi karena sarapanku keesokan harinya cukup sehat, yaitu pisang rebus yang menemani kopi susu panas.
Urusan di Bogor selesai dan aku kembali ke Jakarta untuk rapat tahunan hari kedua. Saat selesai rapat, aku sempat berbincang-bincang dengan kawan-kawan lain sambil menghabiskan makan malam kami. Kuceritakan betapa bersyukurnya aku karena setelah sekian lama akhirnya bisa sarapan sehat dengan menu pisang rebus.
Buatku apapun yang direbus, aku suka. Selain mudah, cukup masukkan ke dalam air, tunggu sampai matang dan selesai, kataku antusias. Respon lawan bicaraku terlihat bingung. Salah satu dari mereka kemudian angkat suara. Bukannya pisang rebus itu dikukus?.
Ganti aku yang bingung. Masa iya, namanya pisang rebus tapi dikukus? Kawan lain kemudian menimbali, meyakinkan bahwa pisang rebus itu bukan direbus tapi dikukus. Hanya saja diberi nama pisang rebus.
Kalau direbus itu membuat kolak, kata kawan lain menimpali. Malu aku. Di umurku yang sudah berkepala empat, aku baru tahu kalau pisang rebus itu dikukus dan bukan direbus.
Selesai makan malam, aku pamit pulang. Tak afdol rasanya kalau tidak mampir di rumah kopi langgananku. Secangkir kopi pasti membuat hariku sempurna, pikirku hari itu.
Di rumah kopi, aku bertemu sesame pelanggan. Saling bertanya kabar seperti biasa dan berbagi cerita. Saat giliranku, kuceritakan pengalaman bermalam di Bogor. Kuceritakan bahwa aku bermalam di tempat yang menyenangkan karena dikelilingi berbagai jenis pohon buah-buahan, termasuk durian.
Ketika diberitahu kawan bahwa kami duduk di bawah pohon durianm aku menengadahkan wajahku ke atas. Dan benar, kulihat buah durian tergantung manis tepat di atas kepalaku. Untung masih cukup kecil, bayangkan kalau sudah cukup tua dan saatnya jatuh dari pohon, bagaimanalah nasibku, ceritaku kala itu.
Ya kurang lebih kejadiannya seperti kata orang-orang, awas kejatuhan buah semangka, salah satu dari kawan sesame pelanggan rumah kopi menanggapi ceritaku yang kuiyakan.
Melihat responku, kawan lainnya bertanya: tapi kau tahu kan kalau semangka itu tak punya pohon, melainkan tumbuhan menjalar?
Jrengjrengjrengdan akupun terpana ditanya seperti itu. Seumur-umur, aku memang selalu berharap suatu hari akan melihat pohon semangka dan dibenakku sampai hari itu adalah semangka itu ada pohonnya.
Tak tahu mana yang benar, aku hanya bisa menggeleng kepala. Kawan-kawan lain kemudian sibuk menjelaskan bahwa semangka adalah jenis tumbuhan merambat seperti halnya anggur.
Setidaknya dalam sehari itu, aku mendapat dua pengetahuan baru. Bagi kebanyakan yang lain proses membuat pisang rebus adalah dengan cara dikukus dan semangka adalah jenis tumbuhan merambat adalah pengetahuan umum yang biasa saja. Namun buatku, itu adalah pelajaran berharga di penghujung 2021.
Photo by deepigoyal on Unsplash