Oleh : Nining Handajani
Memiliki hewan peliharaan sama sekali tidak terpikirkan di keluargaku. Apalagi kesibukan kami bertiga, aku, papa dan mama yang sepertinya tidak memungkinkan merawatnya rutin setiap hari.
Suatu hari, tiba-tiba datang ke rumah kami, kucing belang telon. Mama berkali-kali meminta papa mengusirnya. “Diusir ya, tapi jangan dipukul, disiram air aja. Biar pergi. Mana kucingnya hamil lagi, nanti kalau melahirkan di rumah gimana?”. Sekali, dua kali, papa mengusir kucing itu. Aku juga kebagian tugas mengusirnya. Tapi entahlah, kucing ini kembali dan kembali lagi. Hingga kami menyerah, ini bukan suatu kebetulan, pasti Allah sudah menghendaki kucing ini melahirkan di rumah.
Semakin hari perut si Mimi Molly semakin besar. Kami memberinya nama Mimi Molly, nama yang tiba-tiba saja diberikan oleh mama. “Nanti kalau sudah melahirkan, kita buang sama anak-anaknya sekalian ya. Ok…ok…setuju?”, kata mama meminta dukungan dariku dan papa.
Kami hanya menyiapkan kardus yang sudah dilengkapi dengan koran untuk prosesi melahirkan Mimi Molly. “Yang penting tetap disediakan dry food dan air. Itu mama baca dari internet”.
Pagi itu tiba-tiba mama heboh “sudah lahiran…sudah lahiran, kayaknya tadi malam melahirkannya, anaknya empat”. Kami bertiga mengintipnya perlahan sambil mengamati keempat anaknya. “Mama mau buat jenang abang?” tanyaku menggoda mama. Matanya langsung melotot ke arahku. “Nggak…nggak…nanti kalau anaknya sudah cukup kuat, kita buang. Mama nggak mau pelihara kucing”.
Sorenya aku mengintip lagi anak-anak Mimi Molly. “Lho ma pa, tinggal tiga” teriakku pada papa dan mama. Papa terburu-buru melihat, “Kemana yang satu nya?”. Hingga hari ini satu anak Mimi Molly yang tiba-tiba raib tetap menjadi misteri.
Dua bulan sudah terlewati, papa belum tega membuangnya. “Kasihan, kalau dibuang sekalian sama induknya. Mimi Molly masih menyusui”. Mimi Molly sebagai ibu yang bertanggung jawab terus menerus memperhatikan anaknya, hingga badannya lebih kurus daripada saat dia tiba-tiba hadir di rumah kami.
“Molly…Mimi Molly”. “Molly…Mimi Molly”, teriak mama berkali-kali karena merasa berisik dengan ketiga anaknya yang kehausan. “Molly pergi, anak-anaknya ditinggal gitu aja” ucap mama. Mama yang tidak tega dengan ketiga anak Molly memaksa ketiganya minum air susu yang disediakan dalam tempat minum. “Aduh, jadi repot kan!”, keluh mama pada papa. “Biasanya kalau kucing mau mati itu akan pergi, tiba-tiba menghilang begitu saja. Mimi Molly sepertinya sakit, badannya terakhir kurus sekali. Anak-anaknya dititipkan ke kita”, terang papa pada mama. Mama hanya menghela nafas panjang.
Akhirnya ketiga anak Mimi Molly terpaksa kami rawat walaupun dengan penuh tantangan. Memaksanya minum sendiri, karena tidak ada satupun dari kami yang bisa memberikan minum melalui dot kucing. Mengajarinya mulai mengenal wet food dan dry food. Melatih mereka untuk buang air kecil dan besar pada pasir yang telah disediakan. Kadangkala mereka melakukannya dengan benar, tetapi beberapa kali bukan di tempatnya. Mama selalu membersihkannya. “Daripada bau, malu sama tetangga. Bisa mengundang penyakit juga” sering kali mama menggerutu. Seringkali mama bertanya pada papa “Kapan pa, jadinya dibuang?”. “Hmm…tunggu besaran sedikit ya, kasihan”, jawab papa asal-asalan.
Ketiga anak Mimi Molly yang tersisa kami beri nama Brownie, Blackie dan Siput. Nama-nama yang kami sesuaikan dengan warna bulu pada seluruh tubuhnya. Mereka selalu tidur bertiga, melompat kesana kesini di teras rumah. Iya… ketiganya hanya mendapatkan hak untuk tinggal di teras rumah.
Tiba-tiba Brownie sakit dan mati terserang panleukopenia. Mama dan papa memakamkannya di taman depan rumah. Mama yang awalnya kurang berkenan dengan kehadiran mereka mejadi sedikit lebih perhatian. Si Blackie diberi nama tambahan oleh mama menjadi Blackie Marcopolo, kata mama karena kegemarannya bertualang hingga ke luar perumahan. Hingga saat ini Blackie Marcopolo tidak lagi kembali ke rumah kami.
Yang tersisa hanya Siput, kucing berbulu putih dengan sedikit warna hitam pada leher dan kakinya. Entah kenapa, mama jadi menyayanginya luar biasa. Ketika pulang kerja selalu Siput ditanyakan keberadaannya lebih dulu ketimbang aku. Mama juga yang mengantarkan Siput untuk mendapatkan vaksinasi, suntik vitamin, obat kutu, obat cacing hingga sterilisasi. Mama memilih memandikannya sendiri dengan kasih sayang. Karena rasa cemburuku, kuberi nama dia, Siput Manjalika.
Sesuai namanya, manjanya tidak mengenal batas. Makan minta ditemani, ada ritual tidur yang dilakukan mama yaitu puk-puk pantat Siput sebelum tidur hingga dia terlelap tidurnya. Hanya Siput Manjalika, satu-satunya kucing yang mendapatkan tambahan teritorial masuk ke dalam rumah, bahkan diperbolehkan mama masuk ke kamarnya.
Suatu hari Siput Manjalika bermain ‘tak kenal waktu. Aku, mama dan papa mencarinya hampir ke seluruh area perumahan tempat tinggal kami. Akhirnya kami menyerah karena hari sudah larut malam. Kelihatan sekali kekhawatiran mama. Bahkan malam itu mama memilih tidur di depan televisi, dengan harapan Siput segera pulang. Usai salat Subuh, mama berteriak kegirangan, “Siput pulang…Siput pulang”. Sembari menggendong Siput dan membawanya masuk rumah, kegirangan mama berubah menjadi marah bukan kepalang. “Cewek macam apa kamu ini Siput! Pergi nggak bilang, ngak pamit, nggak punya sopan santun, pulang pagi hari lagi! Apa kata tetangga, cewek kok murahan gitu”. Aku dan papa melongo mendengarnya tanpa berani berkomentar.
belang telon : belang tiga warna
dry food : makanan kering
jenang abang : bubur merah
wet food : makanan basah
panleukopenia : infeksi virus yang menyerang pada kucing, sangat menular dan dapat membunuh kucing tang terinfeksi