Mau Ketawa Aja (Gak Lagi) Takut Dosa

Oleh: Riyan Suatrat

Kalau diingat-ingat bisa jadi semua peristiwa dalam hidupku adalah lelucon. Tetapi lelucon yang terjadi bukanlah jenis yang akan membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Bukan lelucon yang bisa membuat hari-harimu semakin ceria dengan mendengarkannya.

Lelucon dalam hidupku lebih kepada sebuah ironi. Bukan hanya di tahun ini (2021) tetapi juga tahun-tahun sebelumnya. Dan (parahnya) aku baru menyadari segala “kelucuan” itu, sekarang.

Kelucuan yang aku maksudkan di sini justru ketika aku mengingat kembali a.k.a ber-flash back ria mengenang rentetan peristiwa yang terjadi di hari-hari lalu.

Ada beberapa yang membuatku tersenyum puas. Misalnya, keberhasilanku atas beberapa pencapaian; pengembangan ketrampilan (komputer), dalam dunia kepenulisan (berhasil melewati tantangan menulis yang aku ikuti di beberapa komunitas menulis, ikut dalam banyak antologi), dan kepesertaanku menjadi fasilitator program yang dikomandani sebuah kementrian.

Disamping pencapaian-pencapaian yang membanggakan di atas, aku juga berhasil melakukan banyak kekonyolan hahaha.

Ada beberapa yang sangat memalukan—seandainya bisa dihapus—konyol, tolol, dan bodoh (eh semuanya punya arti yang sama yah hehehe sangking geumeusnya menertawakan diri sendiri).

Tawaku bukan tawa renyah yang enak didengar, senyumku bukan senyum manis yang mampu mengalihkan dunia. Tawa dan senyumku ini tawa dan senyum kecut tatkala mengenang semua peristiwa bodoh itu.

Bahkan kadang air mata menggenang tipis di ujung mata. Sesal dan marah pada diri sendiri. Kok bisa aku melakukan hal sebodoh itu? Emang aku sebodoh itu? Kayaknya hahaha.

Hmm aku jadi malu. Malu sama Tuhan dan malu pada diriku sendiri. Aku bisa saja menyembunyikan kemaluan eh salah rasa maluku itu dari banyak orang tapi tentu saja tidak dari diriku sendiri dan Tuhan.

Sepanjang 2021 dan tahun-tahun sebelumnya aku dilindungi, diselamatkan, dicukupkan, dan banyak lagi –tentu saja—hal-hal baik lainnya yang aku nikmati. Sementara di waktu yang sama aku melakukan kesalahan dan dosa. Di mana perasaanku? Di mana otakku?

Otak pelan-pelan di bawa ke sebuah ayat dalam surat Ar Rahman, yang artinya, “dan nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”

Ada enggak ya? Nikmat segitu banyak tapi dosa jalan terus. Kok malah bangga menceritakan dosanya. Ah aku enggak bangga. Malu iya.

Tapi sejujur sejujurnya ya perasaan yang aku rasakan lebih ke perasaan marah. Aku marah pada diri sendiri. Lama-lama (aku akui) rasa-rasa ini menggangguku. Kepalaku akan aku geleng kuat-kuat kalau mengingatnya lagi. Seakan dengan menggelengkan kepala kuat-kuat kejadian bodoh, konyol, dan tolol itu akan terhapus—padahal enggak sama sekali yaaa. Tambah bikin aku sedih malah hiks.

Tapi tunggu dulu tulisan ini harusnya bercerita tentang sesuatu yang lucu alias mengandung humor. Tapi aku kok malah omongin sesuatu yang sedih gini. Yaaa karena kebetulan enggak ada pengalaman mengandung humor yang aku alami. Setahun penuh? Yes setahun penuh. Ada siiih tapi enggak sampai worth it untuk diceritain di sini. Nanti malah jatuhnya garing hehehe.

Jadi, aku memutuskan untuk menceritakan pengalaman bodohku saja. Kata orang bijak ketika kita mampu menertawakan kebodohan kita berarti kita telah berhasil berdamai dengan hidup kita. Bener gak sih kalimatnya? Pokoknya tujuannya ke arah-arah sana deh.

Aku merasakan benar apa kata pepatah bijak itu. Rasanya sekarang lebih enteng. Cieee kayak iklan air mineral. Peristiwa yang dulu sempat membuat hidupku jungkir balik, air mata mengalir laksana sungai—halah berlebihan—tak enak makan dan minum eeeh sekarang kok malah jadi lelucon. Bukannya kembali menangis Bombay aku malah bisa ketawa-ketawa sendiri—atau malah lebih mirip orag gila yah hiii amit-amit.

Rasa selanjutnya yang berkecamuk dalam hatiku adalah penyesalan. Seperti yag sudah saya sampikan di atas. Nyesel banget, kok bisa suka sama yang modelnya begitu? Hahahah ketahuan deh penyebabnya. Kok bisa aku melakukan tindakan seperti itu, kan memalukan. Emang waktu itu apa sih yang aku pikirkan?

Yang jelas sekarang—lagi-lagi aku berusaha untuk move on—aku sudah lebih tenang. Aku (mungkin) sudah bisa menerima hidupku. Memaafkan diriku atas semua kesempatan yang aku lewatkan ataupun kesalahan yang aku lakukan.

(Ala-ala kisah dalam novel romantic) sambil duduk santai di jembatan, kakiku bergoyang-goyang dipermainkan debur ombak. Angin pantai menerpa wajahku, dingin. Berbagai peristiwa lewat di depan mata membawa berbagai perwakilan rasa. Bibirku terangkat, mempersembahkan senyuman paling manis yang bisa aku berikan.

Pengalaman baik akan jadi pemanis dalam hidupku selamanya. Kenangan pahit akan menjadi pelengkap di hidupku. Kepahitannya akan selalu ada di sana. Akan menjadi alarm di saat aku lupa diri.

Terima kasih diriku sudah menjadi begitu kuat berjalan sejauh ini. Semoga Allah tetap mencintaiku, menyayangiku, peduli padaku, membantuku, selalu, selamanya.

Maafkan juga atas segala kesalahanku—kebodohan, ketololan, dan kekonyolan—yang telah aku lakukan selama ini. Semoga Allah menerima permintaan maaf dan taubatku.


Photo by Joshua Eckstein on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *