Garis Takdir

Oleh : Nik Damayanti

Suara azan magrib pertama yang terdengar dari masjid desa sebelah berkumandang, saat dering telepon dari gawaiku berbunyi.

“Halo Tante, bagaimana kabarnya?” sapa ponakanku. Saat itu perasaan tidak enak langsung menguasai pikiranku. Bagaimana tidak, ponakanku menghubungi jauh-jauh dari Thailand. Sedangkan dia bukan tipe orang yang sering menghubungiku, hanya kalau ada hal yang penting saja. Feby nama ponakanku, anak bungsu kakak sulungku. Dia memang tinggal di sana mengikuti suami yang bertugas di Lion Air.

“Tidak usah kaget ya, Tante, aku cuma pengen ngobrol-ngobrol saja karena sudah lama tidak ketemu. Begini, Tante… Bapak sekarang sedang tidak nafsu makan. Mungkin disebabkan karena obat yang diminum atau mungkin juga secara psikologis memikirkan sakitnya,” kata ponakanku.

“O iya, Dik, kapan hari Bapak bilang kalau levernya bengkak ya, trus dibiopsi. Hasil biopsi bagaimana, Dik?” tanyaku dengan jantung berdegup keras.

“Nah itu dia, Tante, yang mau aku sampaikan. Ternyata bapak menderita kanker hati dan karena faktor usia maka dokter tidak menyarankan kemoterapi tetapi cukup minum obat yang efeknya seperti kemo yaitu mual. Itu yang menyebabkan bapak tidak nafsu makan dan rasanya tidak semangat lagi seperti dulu,” kata ponakanku dengan terbata-bata.

Aku rasanya tidak percaya dengan kata-kata yang barusan diucapkan ponakanku. Pikiranku melayang tidak karuan, antara percaya dan tidak mendengar berita itu. Sekilas ingatan kembali muncul saat kakakku pulang ke Bojonegoro, berbagai makanan khas akan dipesan. Karena jarang berjumpa kami akan ngobrol sampai malam telah melarutkan segalanya. Semilir angin dari taman belakang menelusup dari pintu yang sengaja belum kami tutup. Beliau yang lebih dulu menyudahi pembicaraan supaya kami semua segera beristirahat. Masih banyak agenda yang akan kita kerjakan besok.

Mataku berkaca-kaca, kata-kata yang ingin aku ucapkan tidak keluar dari rongga mulutku, hanya isak pelan yang terdengar. Tidak ada yang mampu berkata-kata. Akhirnya suami ponakanku menyudahi pembicaraan kami.

“Mohon doanya ya, Tante. Semoga Bapak kembali bersemangat seperti dulu,” pesan ponakanku.

“Iya, Dik. Yang sabar ya,” jawabku.

Keesokan harinya aku langsung membicarakan masalah ini dengan kakak-kakakku yang lain. Dari pembicaraan itu akhirnya kami sepakat bahwa ada wakil dari adik-adiknya untuk berangkat ke Sentul, Bogor.

Perjalanan jauh yang sama sekali tidak kami bayangkan sebelumnya. Berangkat dari Sidoarjo sekitar pukul 20.30 kami berlima, aku, mas Yoyok, mas Heri, mas Win dan mas Pur sopir. Mereka semua adalah kakak-kakakku, kecuali mas Yoyok suamiku dan mas Pur, tetangga yang biasa membantu kami kalau bepergian jauh.

Kami adalah keluarga besar yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Aku sendiri anak bungsu dari 8 bersaudara. Kepergian kami hari ini adalah untuk memberi semangat kakakku yang nomer 1, mas Wahyudi namanya. Kakak sulung yang menggantikan posisi ayahku yang sudah berpulang saat usiaku belum genap 3 tahun.

Malam yang indah mengiringi perjalanan kami. Tidak nampak mendung sama sekali, bintang bersinar dengan terangnya. Tepat pukul 10 malam kami berangkat dari Surabaya, setelah menjemput mbak Sus, kakakku nomer 3. Ini kali kedua kami bersama-sama mengunjungi rumah kakak di Sentul. Yang pertama terjadi sekitar 6 tahun lalu saat kakakku pindah, yang sebelumnya tinggal di Surabaya. Setiap lebaran beliau yang datang ke Sidoarjo, di mana ibuku tinggal. Selain lebaran kakakku juga sering datang waktu arisan keluarga.

Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kami bercerita tentang kakak sulungku itu. Bagaimana saat muda dulu menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahku meninggal. Alhamdulillah ibu tiap bulan mendapatkan pensiun karena dulu ayahku karyawan perhutani sehingga tidak semua masalah ekonomi dibebankan padanya.

Kami berhenti kira-kira 4 kali selama perjalanan. Pukul 8.00 kami sudah sampai tujuan. Kakakku dari subuh sudah tidak bisa tidur menunggu kedatangan kami. Tapi tunggu dulu….kami tidak boleh langsung masuk rumah, ada ritual yang harus kami ikuti.

“Berhenti di situ dulu ya,” kata kakak iparku.

Dimulai dari kakak perempuanku. Ternyata sekujur tubuhnya disemprot dengan cairan antiseptic. Semua mendapatkan perlakuan yang sama. Tidak hanya itu, barang-barang kami juga disemprot, kecuali makanan. Kala itu bulan Maret 2021, wabah corona masih dibilang berbahaya. Setelah itu kami baru bisa masuk rumah. Kakak sulungku dengan wajah sangat gembira menunggu kami di ruang keluarga. Acara berpelukan tidak kami lakukan, karena badan kami belum bersih. Cerita segera mengalir dari A sampai Z tentang perjalanan mulai dari Surabaya. Tanpa terasa 2 jam sudah berlalu. Kami satu per satu berpamitan untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah semua bersih kami makan bersama berlanjut ngobrol yang tiada henti.

Malam hari, sambil duduk di teras kami melanjutkan ngobrol. Rasanya tidak ada habisnya bahan cerita yang kami bicarakan. Langit berhias bulan dan taburan bintang yang ikut meramaikan suasana. Begitu bahagianya langit malam itu. Mas Wahyudi ikut menemani kami sebentar, setelah itu beliau beristirahat. Pembicaraan berlanjut sampai larut dan kami sudahi setelah kakakku berkali-kali menguap. Malam telah melarutkan segala yang terjaga dalam ramuan kantuk yang sangat melelapkan.

Kami menginap 2 malam di Sentul. Betapa bahagianya Mas Wahyudi atas kehadiran kami. Semangat kembali tumbuh dan berjanji akan ke Surabaya setelah sembuh.

Saat pamit kami tidak sanggup berkata-kata, hanya berpelukan diiringi air mata yang terus mengalir tiada henti. Saling menguatkan dan memberi semangat. Mas Pur segera memasukkan barang-barang di bagasi. Satu persatu kami masuk ke mobil dengan mata sembab. Mas Wahyudi memandang kami sampai di tikungan.

Waktu terus berjalan dan kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Namun, kami selalu memantau perkembangan kesehatan kakak sulungku. Kondisi kesehatan naik-turun, tetapi semangat tetap terpancar.

Sekitar 2 bulan setelah itu aku dan suami ada urusan ke Depok, kesempatan itu aku manfaatkan untuk mampir ke Sentul. Sehari sebelum berangkat aku memberi kabar kalau akan menengok kakak, betapa senangnya beliau.

“Jangan lupa dibawakan lontong kupang dan rawon ya,” pesan Mas Wahyudi.

“Siap, mas,” jawabku.

Perjalanan lancar dari Sidoarjo ke Bogor, tidak banyak kendaraan di jalan. Aku langsung menuju ke Sentul mengingat ada makanan yang aku bawa untuk memuaskan kakakku. Ritual kebersihan seperti biasa aku ikuti. Setelah cuci tangan kakak iparku segera menyemprotku dengan cairan antiseptik mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku memandang ke dalam, tapi tidak melihat ada mas Wahyudi di dalam. Kakak iparku bilang,”Jangan kaget ya, Dik. Mas Wahyudi semakin kurus sekarang.”

Aku menunggu di ruang keluarga sambil menonton televisi. Tidak seberapa lama mas Wahyudi keluar, berjalan pelan-pelan selayaknya orang sakit. Aku dibuat pangling, tidak kudapati wajah mas Wahyudiku yang dulu, yang tampak adalah wajah ayahku. Kakakku sekarang tampak lebih kurus, bagaiman tidak saat sehat berat badannya 87 kilogram, sekarang tinggal 65 kilogram.

“Bagaimana perjalanan lancar,” tanya kakakku memulai pembicaraan.

“Alhamdulillah, Mas,” jawabku.

Suasana hening sesaat. Aku tidak sanggup melanjutkan pembicaraan. Untungnya suamiku bisa mencairkan suasana. Bibirku bergetar, tenggorakan tercekat, mataku berkaca-kaca. Beruntung masker tidak pernah lepas menutup hidung dan mulutku. Karena tidak kuat aku pamit ke kamar mandi. Air mata segera mengalir deras membasahi pipi. Aku menangis bukan karena aku lemah. Tapi, aku menangis karena telah berusaha kuat dalam waktu yang lama. Segera aku bersihkan wajahku dengan air dan sedikit merapikan dandananku supaya tidak nampak kesedihanku.

Mas Wahyudi tidak banyak bicara, hanya menjawab pertanyaan suamiku.

“Ayo makan dulu,” ajak kakak ipar.

“Kami minta ijin mandi dulu ya, Mbak, Mas,” kata suamiku.

“O iya, Dik, silakan.”

Setelah selesai mandi kami makan bersama. Lontong kupang dan rawon yang sangat diinginkan kakakku cuma dimakan 1 sendok saja karena perut terasa mual. Sedih rasanya melihat penurunan kesehatan kakakku.

Setelah isya kami kembali ngobrol. Kakakku masuk ke kamar sebentar dan keluar dengan membawa berkas-berkas seperti brosur perumahan. Dengan antusias beliau bercerita bahwa anak bungsunya telah membelikan lahan pemakaman di San Diego Hills. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Ya Allah… apakah ini pertanda. Aku segera menepis pikiran itu.

Keesokan harinya mas Wahyudi mengajak kami makan steak. Kakak ipar heran atas permintaan untuk mengajakku ke mall. Padahal sudah 2 bulan ini beliau sama sekali tidak pergi keluar rumah. Aktivitas hanya di kamar dan ruang keluarga saja, bahkan di teras rumahpun tidak pernah.

Tempat makan yang dituju di lantai 3 sehingga 2 kali naik escalator. Saat itu PPKM berlaku sehingga tidak banyak pembeli. Tanpa menunggu lama makanan segera terhidang. Mas Wahyudi segera memotong daging dan mulai memasukkan makanan ke mulut. Aku mengamati setiap gerakan kakakku karena ingin mengetahui ekspresinya. Ternyata setelah sendok ke-3, beliau tidak melanjutkan lagi. Aku berusaha memberi semangat supaya menambah 1 sendok lagi, tapi dijawab dengan gelengan kepala. Kami segera menyudahi acara makan siang itu karena mas Wahyudi terlihat capek. Saat mau turun lewat escalator, tampak beliau agak sempoyongan, kami segera memegang lengannya kiri dan kanan. Sesampai di rumah beliau langsung istirahat.

Sore hari setelah mandi, aku dan suami segera pamit karena ada urusan lain di Depok. Mas Wahyudi sedih mengiringi kepergian kami. Akupun tidak mampu menatap beliau lama-lama.

Hari Sabtu tanggal 24 Juli 2021 pukul 9.00 keponakan dari Thailand video call. Ternyata sudah tersambung juga dengan kakak ipar yang menunggui mas Wahyudi.

“Tante, tolong bantu doa ya. Ini bapak semakin menurun kondisinya,” pinta ponakanku.

Aku langsung berdoa tiada henti bersama dengan ponakan dan kakak ipar yang mendekatkan gawainya ke telinga kakakku. Suami segera video call ke grup keluarga supaya berdoa bersama-sama. Tepat pukul 09.30 Mas Wahyudi menghembuskan napas terakhir. Pecah tangis kami bersamaan tiada henti.

Kami baru bisa berangkat 3 hari setelah beliau berpulang. Di pemakaman yang indah dan asri di San Diego Hills kami merenung, semua terdiam, semua berdoa untuk ketenangan beliau. Beliau berpulang karena tubuhnya telah memenuhi tujuannya. Jiwanya telah melakukan apa yang harus dilakukannya, mempelajari apa yang harus dipelajari, dan kemudian bebas untuk pergi. Semoga mas Wahyudi husnul khatimah. Aamiin.

Kami tak melupakan pentingnya tanah pekuburan. Bukan karena kami ingin dikenang, bukan pula alamat kami berpulang. Lebih dari itu, kami hanya ingin menanam badan yang takkan lagi bisa digunakan selain sebagai penanda, kami belum bisa memberi arti pada kehidupan. Selamat jalan kakakku, semoga engkau bahagia di sana.


Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *