Dunia Lebih Indah

Oleh: Nik Damayanti

Sejak semalam kami sudah membicarakan bahwa rencana hari ini suami periksa mata. Gejala mata kurang nyaman telah dirasakan suamiku sekitar 4 tahun yang lalu. Namun, saat itu dokter mengatakan kalau lapisan katarak masih tipis sekali, mestinya belum perlu operasi.

“Kalau bapak sering pusing dan sangat tidak nyaman, silakan kalau mau operasi,” saran dokter pada kami. “Ini saya jadwalkan hari operasinya ya.”

“Baik, Dokter,” jawab suamiku.

Karena masih belum yakin dan ada sedikit rasa takut untuk operasi akhirnya jadwal operasi kami abaikan. Aktivitas rutin kami lakukan seperti biasa. Berangkat kerja mulai hari senin sampai jum’at sejak pagi sampai sore dan sabtu setengah hari.

Sebulan sekali kami mudik ke kota asal untuk membersihkan rumah dan silaturahmi dengan teman-teman masa sekolah. Seringkali suami merasakan pusing bahkan kadang-kadang migrain. Mungkin karena capek dan kurang istirahat, suamiku menganggap seperti itu. Setelah minum parasetamol dan istirahat pusingnya akan hilang.

Iklan di Radio Suara Surabaya yang hampir tiap hari diulang-ulang, membuat kami tertarik untuk mendatanginya. Dengan penuh semangat kami meluncur menuju rumah sakit mata yang diiklankan. Berangkat dari rumah jam 8 pagi. Jarak yang tidak terlalu jauh diperkirakan 30 menit sudah sampai. Ternyata jalanan sangat ramai, kendaraan gajah banyak memenuhi jalan raya searah dengan tujuan kami. Karena belum pernah ke situ, kami meminta bantuan google map.

“Ya…itu di depan,” kata suami tiba-tiba.

“Yang mana?” tanyaku.

“Itu, ada papan nama di depan. Betul kan itu namanya,” kata suami memastikan.

“O iya betul, trus kita parkir di mana?” tanyaku. Karena kulihat tidak ada tempat untuk parkir mobil. Ada tetapi tidak seberapa luas di depan rumah sakit tersebut namun sudah dipenuhi dengan sepeda motor. Di kanan kirinya ada toko yang di depannya juga sudah penuh dengan kendaraan.

“Sudah…. kita ke Surabaya saja,” kataku, bukan begitu, Mas?”

“Iyalah ke Surabaya saja,” jawab suami setuju dengan saranku.

Tanpa banyak bicara kami langsung meluncur ke rumah sakit mata di Surabaya. Matahari sudah hampir tepat di tengah-tengah saat kami sampai. Tetapi awan berwarna abu-abu sedikit menghalangi sinarnya, sehingga tidak terlalu terik. Petugas langsung menanyakan pakai BPJS atau VIP.

“Pasien yang mana, Bu,” tanya petugas kepadaku.

“Suami saya, Mbak,” jawabku.

“Oh, Ibu pendamping ya? Saya tempelkan stiker dulu, Bu.”

Stiker berwarna merah dengan tulisan pasien tertempel di lengan kaos suamiku dan di lenganku stiker warna kuning tertulis pendamping. Setelah cek suhu tubuh dan dianggap normal, kami baru boleh masuk menuju ruang tunggu yang telah disediakan.

Sekuriti siap melayani pasien yang akan periksa.

“Bapak mau menemui dokter siapa?”

“Yang sedang praktek sekarang saja, Pak,” jawab suamiku.

“Ini, Pak nomer antriannya. Sekarang dr Kitriastuti yang bertugas,” kata sekuriti sambil menyerahkan nomer antrian.

“Terima kasih, Pak.”

Ruang tunggu nyaman dan luas. Masih ada 7 antrian sebelum suami. Kami menunggu dengan santai, sambil melihat-lihat pesan di gawai. Ruangan yang lumayan dingin membuatku ingin ke kamar kecil. Meskipun tidak seberapa luas tetapi toiletnya bersih dan harum. Cairan desinfektan terpasang di depan setiap ruangan. Sambil menunggu aku memperhatikan beberapa orang yang sama-sama menunggu sepertiku. Ada yang gelisah sambil sebentar-sebentar melihat angka di jam tangannya. Ada juga pasien yang terkantuk-kantuk di samping pendampingnya. Memandang perilaku orang yang bermacam-macam di tempat umum sangat menyenangkan bagiku.

Tanpa terasa nomer antrian suamiku dipanggil. Aku bergegas mengikuti di belakang.

“Maaf, Bu, hanya pasien saja yang boleh masuk,” kata perawat. “Ibu tunggu di luar ya.”

Dengan sedikit tersipu aku mengangguk, sambil melihat sekeliling, siapa tahu ada orang yang memperhatikanku. Untungnya semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kira-kira 5 menit kemudian suamiku sudah keluar dengan mata kiri yang ditutupi tissue.

“Ditunggu di depan ruang 3 ya pak, nanti dipanggil sesuai urutan,” kata perawat menjelaskan. “Matanya merem ya, Pak, karena tadi sudah ditetesi obat untuk memudahkan pemeriksaan dokter.”

Setelah 2 pasien dr Kitri keluar.

“Maaf ya, Bapak, saya salat dulu sebentar.”

“Silakan dokter,” jawab beberapa pasien.

Hasil pemeriksaan dengan dokter Kitri terlihat bahwa katarak suamiku sudah cukup tebal sehingga harus dioperasi dan dijadwalkan 5 hari kemudian


Sehari sebelum operasi pihak rumah sakit menelepon bahwa jam 6 pagi diusahakan sudah tiba. Jangan lupa sarapan dulu supaya perut tidak kosong waktu operasi.

Tepat jam 6 pagi kami sudah tiba. Saat ambil nomer antrian sudah urutan ke-14. Baik pasien maupun pendamping harus tes antigen. Beberapa tahapan kami lewati sampai akhirnya diantar ke ruang operasi. Perawat memberikan baju operasi dan pasien harus memakainya. Setelah itu masuk ke ruang dokter untuk diberi penjelasan. Suami tampak tegang memasuki ruang dokter. Dr. Sahata yang menjalankan operasi katarak suamiku. Dokter yang ramah dan rendah hati, sama sekali tidak sombong. Beliau sangat hormat dan sopan kepada kami, para pasien dan pendamping. Keramahan dokter membuat suami agak tenang.

Sebelum duduk di kursi roda perawat menanyakan ke suami,“Bapak sudah pakai pampers?”

“Buat apa, Bu?” tanya kami bersamaan. Aku tidak kuat menahan tawa, untung memakai masker, jadi tidak kelihatan tawaku.

“Tidak papa kok, Pak, kalau tidak pakai,” jawab perawat.

Aku tidak habis pikir dengan pertanyaan perawat tadi. Mengapa harus pakai pampers. Apakah suamiku dianggap sudah lanjut usia sehingga tidak kuat menahan. Sambil menunggu di luar ruang operasi aku senyum-senyum sendiri.

Sekitar 2,5 jam kemudian suami keluar dari ruang operasi, aku langsung mengikuti di belakangnya. Untuk pemulihan disediakan tempat tidur sehingga pasien bisa istirahat sebentar. Sambil menunggu administrasi yang masih disiapkan, aku ngobrol dengan suami.

“Kok lama ya, Mas, operasinya,” tanyaku.

“Aku urutan ke-4 tadi. Di dalam menunggu agak lama, ruangannya dingin sekali. Sampai aku ke kamar mandi untuk buang air kecil. O iya ada kejadian lucu tadi,” kata suamiku

“Apa, Mas?” tanyaku.

“Waktu aku mau masuk ke kamar mandi, perawat segera mengikutiku dan bertanya apa perlu dibantu.”

“Ha…ha…ha,” tawaku terdengar sampai di luar kamar. Aku tak kuat menahannya, tertawa tidak berhenti.

“Bu, administrasi bisa diselesaikan di lantai 1 ya, setelah itu Ibu ke sini lagi untuk menjemput Bapak,” kata perawat kepadaku.

“Baik, Bu,” jawabku dan pamit ke suami. “Istirahat saja dulu ya, tidak usah minta bantuan perawat lho,” kataku menggoda.

Setelah semua urusan administrasi aku selesaikan segera kembali ke lantai 2 dan mengajak suami pulang. Sebelumnya perawat menjelaskan obat yang harus diminum dan diteteskan dan mengingatkan bahwa besok kontrol ke dokter Sahata untuk melepas perban.

Keesokan harinya sekitar jam 7 pagi kami sudah sampai di rumah sakit. Dokter Sahata datang jam 8 dan kami bergantian masuk. Alhamdulillah hasil operasi bagus dan harus kontrol seminggu lagi. Mata yang kanan juga diperiksa dokter dan nampak lapisan tipis yang berwarna abu-abu.

“Paling cepat 2 tahun lagi kita ketemu ya, Pak,” kata dokter Sahata.

“Lho kenapa, Dok?” tanya kami hampir bersamaan.

“Ini yang kanan sudah mulai ada kataraknya,” jawab dokter sambil tersenyum.

Kami berpandangan dan tersenyum penuh arti.

Dari rumah aku sudah membawa kacamata hitam untuk melindungi mata yang habis dioperasi. Sepanjang perjalanan pulang suami melihat pemandangan.

“Ternyata warna hijau dedaunan lebih indah dari yang aku lihat selama ini. Warna bunga-bunga juga jelas sekali sekarang,” kata suami tidak henti-henti selama perjalanan.

“Sepertinya duniamu lebih indah ya, Mas daripada duniaku,” kataku sambil tersenyum.

“Iyalah, kan habis dioperasi. O iya di rumah aku tetap butuh perawat lho,” kata suami.

“Jangan khawatir sudah ada perawat pribadi yang siap membantumu kok.”

Seminggu setelah kontrol yang pertama, suami kontrol lagi yang kedua. Kami bertemu beberapa pasien yang bersamaan operasi waktu itu. Mereka saling bertukar informasi tentang pengalaman masing-masing.

“Bagaimana, Pak, sudah jelaskah untuk melihat?” tanya Pak Felik pada suamiku.

“Jelas sekali sekarang, tapi kok kayaknya sekarang yang kanan jadi kurang nyaman ya,” jawab suami.

“Menular ya, Pak, Sama dong dengan saya,” kata Pak Felik.

“Saya rencana besok mau operasi yang kanan,” kata pasien lain yang datang dari Nusa Tenggara Timur.

“Lho, dua-duanya ya, Pak?” tanya suami.

“Iya.”

Memang aku lihat bapak ini dari tadi membaca semua pengumuman atau pesan-pesan yang ada di dinding rumah sakit. Ternyata dia senang sekali karena salah satu matanya sudah bisa melihat dengan jelas.

“Sudah jelas ya, Pak,” tanya suami.

“Iya, makanya saya senang sekali, ingin membaca semua tulisan-tulisan di sini,” jawabnya.

“Ibu terlihat cantik ya, Pak?” goda suamiku.

“Betul….sangat cantik.”

Sang istri tersipu malu di sebelahnya.

Gedung bercat putih itu sebelumnya membuat suamiku takut, apalagi dengan vonis operasi. Sekarang semua sirna dengan keramahan semua tenaga yang berperan di dalamnya. Dokter yang ramah, perawat yang sabar dan perhatian, ruangan yang bersih, harum dan wangi. Kami tidak merasa seperti di rumah sakit. Aroma parfum penyegar ruangan menyebar kemana-mana. Sudah tidak lagi tercium bau karbol seperti rumah sakit yang dulu kita jumpai.

Kira-kira 2 minggu setelah operasi, mata suami sudah merasa nyaman, namun obat tetep ada yang diteteskan setiap hari. Mata berfungsi seperti halnya kamera, menangkap cahaya dan mengirim data kembali ke otak. Jaringan iris pada mata manusia memiliki 256 karakteristik unik. Itulah sebabnya mengapa scan retina yang semakin sering digunakan untuk tujuan keamanan daripada sidik jari. Lensa mata bergerak lebih cepat daripada lensa kamera manapun dan otot mata adalah otot tercepat dibanding otot lainnya dalam tubuh, saking cepatnya sehingga ada istilah ‘sekejap mata’. Mata dianggap sebagai jendela dunia. Ibarat sebuah rumah, saat kita membuka jendela maka tampak segalanya di depan mata. Itulah sebabnya anugerah terindah ini wajib kita jaga.


Photo by Drew Beamer on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *