Burung Robin Betina

Oleh: Nurani

Suamiku mempunyai kegemaran memelihara berbagai jenis burung, satu diantaranya adalah burung robin. Burung kecil ini memiliki warna yang cantik yaitu perpaduan warna hijau dan abu-abu, dengan sedikit warna merah di bagian sayapnya sehingga membentuk kombinasi warna yang sangat menarik. Robin termasuk burung periang, lincah, selalu bergerak sambil berkicau tiada henti-hentinya sepanjang hari. Karena warna dan tingkahnya itulah menjadi daya tarik bagi para kicau mania untuk bisa memilikinya, termasuk suamiku. Sayang sekali burung ini sekarang sudah agak langka.

Di hari Minggu pagi, ketika kami sedang duduk di teras rumah, kami melihat ada seekor burung terbang rendah, kemudian bertengger di dahan bunga nusa indah. Suamiku berteriak sambil menunjuk burung itu,

“ Ada burung robin lepas, ayo kita tangkap.”

Aku berpikir itu adalah burung kami yang lepas tapi setelah kutengok ternyata burung kami masih berjumpalitan di sangkarnya setelah tadi dibersihkan sangkarnya dan diganti makanan dan minumnya dengan yang baru.

Kami bertiga, suami, aku dan anak lelakiku bersiap-siap menangkap burung yang lepas itu.

“Kamu dari sana, aku dari sini, “ perintah suamiku.

“Pelan-pelan jalannya, biar gak takut, “ lanjutnya.

Burung itu mungkin masih anakan karena tidak bisa terbang tinggi. Ketika kami kejar hanya lompat dari satu dahan ke dahan lain, dari satu pohon ke pohon lain yang ada di halaman rumah kami bahkan berjalan di rerumputan tapi susah ditangkap karena saking lincahnya. Mungkin burung itu takut dengan teriakan dan tawa kami saat mengejar dia. Karena ukurannya yang mungil, burung itu masuk ke tanaman agave, bersembunyi di antara daun yang berduri itu. Kami berhenti mengejarnya. Kami menunggu sambil istirahat di dekat tanaman agave itu untuk mengawasi kalau si robin itu keluar dari persembunyiannya.

“ Capek juga ya ngejar burung itu, susah ditangkap,” kata anakku

“ Kita kan sudah punya, biarkan saja dia bebas, “ jawabku

“ Kasihan dia di alam liar karena burung robin itu biasanya hasil penangkaran, jadi gak bisa cari makan sendiri, bisa kelaparan nanti, “ jawab suamiku yang faham tentang perburungan.

Sekitar 15 menit kami menunggu, akhirnya robin itu terbang keluar menuju tanaman lain. Kami tidak putus asa untuk menyelamatkannya. Anak lelakiku memanjat pohon kersen, aku dan suami menjaga di bawahnya, belum juga tertangkap. Kami harus mengendap-endap, tiarap sampai bergulingan di tanah demi seekor robin. Kami bertiga seperti anak kecil yang sedang mengejar anak burung pipit. Seandainya dishooting pasti lucu.

Akhirnya tertangkap juga si robin itu karena terpojok di antara bebatuan. Kami bertiga merasa senang dan puas atas hasil kerja keras kami.

“ Benar, ini bukan burung kita karena ini lebih kecil,” kata suamiku yang hafal betul dengan burungnya sendiri karena setiap hari merawatnya sambil menunjukkanburung yang ada di genggamnnya. Dielus-elusnya bulunya yang rusak karena tersangkut dahan pepohonan kemudian dimandikannya juga oleh suamiku.

“Ambil sangkar di belakang rumah, juga makanan dan air putih, “ perintah suamiku pada anakku.
Harapan kami burung itu bisa segera makan dan istirahat dengan nyaman setelah kami kejar-kejar, pasti lelah. Ternyata burung itu tidak mau langsung makan makanan yang ada di sangkar itu. Mungkin makanannya berbeda dengan makanan di tempat sebelumnya.

“Stres itu, habis dikejar-kejar atau malu kali “ canda anakku.

“Lho, burung robin kita koq gak ada di sangkarnya?,” teriak suamiku saat akan menggantung sangkar burung tangkapan.

“ Jangan-jangan yang lepas itu burung kita sendiri?” kataku sambil melihat sangkar yang sudah kosong dengan pintu terbuka. Aku curiga, mungkin suamiku lupa menutup pintu sangkar setelah membersihkannya tadi pagi. Bersamaan dengan itu, aku mendengar suara burung di kamar tidur depan yang jendelanya berdekatan dengan letak gantungan burung kami. Dengan reflek aku lari dan melongok ke kamar, Astaghfirullah… benar saja, burung itu ada di kamar, sedang bertengger di koper yang ada di atas almari pakaian. Dengan gerak cepat aku tutup jendela yang mengarah keluar dan pintu kamar, sambil berteriak,

“Kesini, burungnya ada di kamar.” Kami bertiga berkolaborasi lagi untuk menangkap burung kami. Alhamdulillah, dalam waktu singkat burung itu dapat kami tangkap dan dikembalikan ke sangkarnya semula, berdampingan dengan burung hasil tangkapan. Memang benar, burung kami lebih besar karena jantan.

Ketika kami sedang menikmati suara burung-burung kami, tetangga kami yang pecinta burung juga, lewat, lalu mampir dan ngobrol tentang burung. Di akhir obrolannya, dia berkata,

“Tadi pagi saya melepas seekor burung robin betina karena malas berbunyi dan makannya banyak.”


Photo by Vincent van Zalinge on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *