Oleh: Widyaningsih
“Bu, Bapak pingin buang air kecil,” suara lemah suamiku membuatku seketika terbangun. Si Bungsu anak kelimaku yang masih berusia lima bulan masih nyenyak dalam pelukanku.
Aku bergegas menghampiri suamiku. Aku sedikit terkejut karena bajunya sudah basah kuyup oleh keringat. Segera kuambil tisu untuk menyekanya.
“Bapak kayaknya nggak kuat ke kamar mandi, Bu.” Suara pria yang sudah 18 tahun menemaniku itu bergetar. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya.
“Ya sudah, Ibu siapin ember dulu. Tunggu sebentar ya, Pak.”
Aku segera menyiapkan perlengkapan dan membantu suamiku menuntaskan hajatnya. Kulanjut dengan mengganti bajunya yang basah. Kubetulkan lagi letak bantalnya supaya lebih nyaman.
“Istirahat lagi, Pak. Ibu ke belakang dulu,” pamitku.
Aku berjalan gontai menuju kamar mandi. Sudah satu minggu ini, kami sekeluarga menjalani isolasi mandiri, karena terinfeksi virus Covid-19. Selain gejala demam, batuk dan pilek, sepertinya aku juga kelelahan mengurus anak-anak. Anak pertama dan kedua sudah bisa mandiri, sedangkan tiga lainnya masih butuh perhatian khusus karena masih balita.
Aku sudah kembali menemani si bungsu, saat kudengar suara seperti mendengkur yang tidak biasa dari suamiku. Saat kuhampiri, dia terlihat tertidur dengan tenang.
“Pak… Bapak….” Aku menggoyangkan pelan tangannya, lalu badannya, namun tidak ada respon sedikitpun. Aku kebingungan. Jam dinding masih menunjuk angka setengah tiga dini hari.
Di tengah kekalutanku, aku ingat tetangga depan rumahku berprofesi sebagai paramedis. Aku segera menelepon istrinya yang juga sahabatku. Aku ingin meminta tolong untuk membawa suamiku ke rumah sakit.
Pak Bayu datang dengan sedikit ragu sambil menggunakan maskernya. Aku paham dengan keraguannya karena mungkin rumah kami memang sedang dikuasai virus.
Kujelaskan singkat kejadian yang baru saja menimpa suamiku. Dengan sigap, Pak Bayu masuk dan segera memeriksa suami. Kulihat beliau memeriksa denyut nadi kemudian melakukan panggilan video ke rumah sakit. Mengikuti petunjuk Dokter jaga yang ada di sana.
Rasanya dunia runtuh seketika saat Pak Bayu menyampaikan berita bahwa suamiku sudah pergi. Meninggalkan kami selama-lamanya. Berkali-kali aku menampar pipiku berharap semua hanya mimpi. Tapi lagi-lagi aku harus mau menerima bahwa yang terjadi adalah nyata.
Tuhan mengambil kembali suamiku, kekasihku, sahabatku, manusia terbaik yang sudah mendampingiku selama delapan belas tahun ini. Aku tidak bisa membayangkan esok pagi. Semua gelap begitu saja.
Entah kebaikan apa yang sudah dilakukan suamiku, jenazahnya diurus dengan sangat baik oleh tetangga-tetanggaku. Mereka memandikan, mengafani, menyalatkan hingga menguburnya dengan menggunakan baju hazmat dan alat pelindung diri lengkap. Aku tidak tahu mereka mendapat semua perlengkapan itu dari mana. Yang pasti ada lega di hatiku karena mereka sama sekali tidak menelantarkan jenazah kekasihku, saat kudengar berita kematian dimana-mana dan kesulitan mengurus karena harus dengan prosedur kesehatan ketat.
Berminggu-minggu bahkan berbulan sudah berlalu, tapi aku masih berharap semua hanya mimpi. Harus bagaimana aku melanjutkan hidup. Aku hanya ibu rumah tangga biasa. Suamiku juga hanya kerja serabutan.
“Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati.” Ayat itu yang terus terngiang di telinga dan pikiranku. Kami semua memang akan dipanggil kembali. Tinggal menunggu antrean sampai waktunya tiba. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima.
Setiap melihat anak-anakku yang tertidur nyenyak, saat itu pula air mata ini tidak berhenti mengalir.
“Bu, Diki apa berhenti sekolah ya, Bu?” ucap si Sulung yang saat ini sudah kelas 12 SMK.
“Kenapa harus berhenti, Nak?” tanyaku pelan.
“Biayanya gimana, Bu?” tanyanya lirih seolah tahu kegundahanku.
Aku hanya bisa membalas dengan senyum getir. “Jangan berhenti, Nak. Kamu harus tetap sekolah sampai lulus. Masalah biaya, pasti ada jalan,” ucapku lirih berusaha meyakinkannya.
Dan berhasil, si Sulung semangat sekolah lagi. Justru aku yang mati-matian meyakinkan diriku sendiri, apakah aku akan mampu?
Banyak petuah untuk sabar, menenangkan dan meyakinkan bahwa Tuhan memberi cobaan karena memang aku mampu. Tapi ternyata tidak semudah menjalaninya.
Aku datang ke tetangga-tetangga yang biasanya perlu tenaga untuk antar jemput anaknya yang sekolah. Kebetulan sekolah sudah mulai kembali buka. Perlahan tatap muka mulai dilakukan bertahap. Beberapa mau memberiku pekerjaan antar jemput anak-anak mereka. Dengan motor peninggalan suami, aku mulai berusaha bangkit. Sudah cukup rasanya aku bersedih. Tapi aku harus tetap melanjutkan hidup kan?
Kini, sudah hampir enam bulan, kami ditinggalkan sosok penyayang yang bahkan tidak pernah marah itu. Kadang aku berharap di alam kubur sana ada telepon sehingga aku bisa berkabar padanya, bahwa kami semua sehat dan dalam kondisi baik. Hingga aku sadar, itu hanya kekonyolan pikiranku saja. Satu-satunya yang masih bisa menghubungkan kami hanyalah doa.
Untuk suamiku, aku tidak akan pernah bisa hidup tanpamu. Dunia ini tidak lagi sama setelah kepergianmu. Tapi mau tidak mau aku harus melanjutkan hidup. Merawat buah cinta kita, melanjutkan impian kita dulu. Entah apakah aku mampu melakukan semuanya. Satu yang harus kamu tahu, aku tidak akan pernah berhenti dan menyerah.
Tuhan mungkin ingin melihat otot-otot punggung dan pundakku lebih kuat. Bisa jadi juga Tuhan sedang menguji mentalku supaya lebih hebat.
Aku hanya percaya rezeki sudah dijamin oleh-Nya. Dengan itu aku bisa menjalani hidup dengan lebih baik setiap harinya. Ingatkan aku lewat mimpi atau sekedar bisikan saat jiwaku ini mulai melemah.
Photo by Rene Böhmer on Unsplash