Oleh: Wulandari
“Sakit Hati yang dirasakan seorang anak perempuan adalah ketika cinta pertamanya pergi untuk selamanya, cinta pertama yang tak kan bisa terganti oleh siapapun di dunia ini, karena hanya papa yang dengan tulus mencintai anak perempuannya”
Membaca status tersebut di linimasa Facebook seorang teman, membuat hatiku langsung terenyuh sedih, tak terasa bulir air mata menetes di pipi, karena aku tahu dan sangat tahu bagaimana rasa sakit yang dialaminya saat itu, kalimat yang mengatakan bahwa rasa kehilangan yang mendalam, tidak akan pernah dirasakan kecuali bagi orang yang sudah pernah ditinggalkan pergi orang terkasih untuk selamanya, baru sekarang aku rasakan maknanya. Kehilangan cinta pertama dari seorang papa yang sangat aku sayangi dan aku kagumi, seperti kehilangan separuh jiwaku. Masih teringat tanggal 27 Juli 2021, aku menangis dan menjerit sekencang-kencangnya, menyalahkan diri sendiri dan juga keadaan ketika mendapat kabar bahwa papa sudah pergi untuk selamanya tanpa menungguku lagi yang baru saja melakukan tes PCR dan besoknya baru akan berangkat ke Curup, kota kecil yang indah dan nyaman dimana banyak kenangan yang terukir disana, masa kecilku yang menyenangkan, dibesarkan oleh kedua orang tuaku yang menyayangiku sepenuh hati. Meski aku lahir di kota Palembang, namun tidak banyak kenangan yang bisa aku ceritakan disana, karena memang menurut cerita mama, Ketika aku lahir, papaku diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Institut Agama Islam Negeri Curup (IAIN CURUP) yang dulu bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup. Sehingga Ketika umurku masih beberapa bulan, kami harus pindah ke kota Curup menemani dan mendampingi papa mengabdi sebagai seorang PNS disana sampai beliau menutup mata setelah pengabdian selama 37 tahun sebagai dosen.
Test PCR yang aku ikuti baru keluar hasilnya paling cepat 12 jam dihitung setelah waktu test, artinya hasil labnya baru bisa aku dapatkan malam tanggal 27 Juli 2021 pukul 10.00, sedangkan kabar papaku meninggal, sudah aku terima dari adikku siangnya sekitar pukul 11.00. Hancur rasanya hatiku, harus mengikhlaskan kepergian lelaki yang sangat aku cintai, tanpa bisa memeluknya untuk yang terakhir kali, tanpa bisa mendampingi di hari-hari terakhirnya, tanpa bisa membimbing Talqin di hari kepergiannya dan tanpa bisa menghantarkannya di peristirahatan terakhir. Semuanya terjadi begitu cepat, aku yang merasa optimis papa akan sembuh dari sakitnya, masih belum bisa menerima kepergian papa saat itu.
Masih teringat hangat pelukan terakhir papa ketika kami sekeluarga mengantarnya pulang bersama mama ke Bandara Soekarno Hatta sebulan yang lalu. Entah mengapa perpisahan di bandara saat itu terasa begitu berbeda, meskipun beberapa kali menghantarkan orang tua pulang di bandara dan kebiasaanku pasti akan menangis, tapi aku merasa kesedihan kala itu terasa lebih mendalam, seolah-olah aku akan ditinggal pergi untuk jangka waktu yang lama, bisa jadi karena sudah cukup lama kurang lebih hampir sebulan papa mama menemani hari-hari kami di Cirebon, jadi ketika harus melepas kepergian mereka untuk pulang kembali ke Curup terasa berat, pikirku saat itu. Dan sama sekali tak terlintas dalam pikiranku bahwa perpisahan di Bandara itu adalah kali terakhir aku melihat papa.
“Nanti kalau sudah dapat rumahnya, pindah-pindahannya nunggu kami saja kesana dulu, biar kami bisa bantuin kamu pindahan ya nak, biar Wulan juga enggak terlalu capek” ucap papa saat itu ketika menelponku menanyakan terkait pindahan ke rumah yang baru. Aku mengangguk mengiyakan ucapannya, meski sudah berumah tangga dan dikarunia anak empat, papa masih memperlakukan aku seperti anak perempuan kecilnya yang selalu ingin ia jaga dan lindungi, dan ternyata memang begitu, bagi seorang bapak, sedewasa apapun anaknya, tetap selalu menganggap anak perempuannya seperti putri kecilnya
Meskipun pada akhirnya kami lebih dulu pindah ke rumah yang baru tanpa menunggu kedatangan papa mama, hal ini kami lakukan karena setelah berunding dengan suami, kami sepakat untuk tidak mau terlalu merepotkan kedua orang tua, rencananya ketika sudah pindah rumah dan sedikit renovasi di bagian kamar mandi agar lebih layak pakai, barulah kami akan memberi tahu papa mama untuk bisa menjenguk kami di Cirebon, maksudnya agar ketika mereka datang ke rumah kami yang baru, ada secercah kebahagiaan disana yang bisa kami berikan kepada mereka ketika melihat rumah yang kami tempati ini sudah layak huni dan lumayan rapi, maklum saja rumah yang baru kami tempati ini bukan rumah baru, tapi rumah tua yang perlu sedikit perbaikan sebelum ditempati, terutama pada kamar mandi dan juga dapur yang sudah terlihat kusam.
Setelah kami pindah ke rumah yang baru, dengan sumringah kami langsung menelpon dan memberi tahu papa mama, kalau kami sudah disini (baca: rumah yang baru kami tempati), mereka kedua orang tuaku agak terkejut karena kami sudah pindah sebelum kedatangan mereka, setelah kami jelaskan dan mereka mengerti, barulah akhirnya papa mama segera memesan tiket pesawat ke Jakarta, lalu naik bus Damri ke Karawang, baru setelah itu dijemput suamiku menggunakan mobil dan bersama-sama menuju ke rumah Cirebon, perjalanan yang cukup panjang memang, dibandingkan dulu ketika masih mengontrak rumah di Jakarta, biasanya hanya melalui pesawat sekitar 1 jam, perjalanan ke rumah Jakarta 30 menit sudah sampai.
Ternyata perihal jarak tempuh yang cukup jauh tersebut juga dirasakan oleh Papa. “Mungkin ini kali terakhir Papa bisa kesini lagi Lan (panggilan kecil papa ke aku anak sulungnya), karena setelah ini sudah banyak kegiatan kampus yang tidak memungkinkan Papa bisa izin lagi, Alhamdulillah kalau sekarang kami bisa agak lama berlibur disini”, ucap papa sumringah, sambil matanya lekat menatap Bagus yang sudah duduk di pangkuannya, ada kerinduan membuncah disana. Bagus adalah anak kembar kami yang memang sangat dekat dengan papa. Waktu itu ketika aku mesti mengikuti Diklat Prajab Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Bandung kurang lebih sebulan, aku menitipkan anak kembarku Bagas dan Bagus kepada kedua orang tuaku di Curup untuk diasuh selama aku masa mengikuti diklat.
Masa dua bulan sejak aku menitipkan si kembar adalah masa kenangan yang mungkin tak terlupakan bagi Papa Mama, mereka berdua harus kami repotkan untuk mengurus si kembar dari sejak bangun tidur hingga mau tidur lagi, apalagi waktu itu anak kembarku masih berusia 6 bulan dan masih ASI, karena harus berpisah denganku untuk beberapa bulan, akhirnya dengan terpaksa asupan ASI aku hentikan dan si kembar harus terbiasa minum susu formula. Setiap malam Papa Mama harus terbangun untuk sekedar membuatkan susu. Belum lagi nanti setelah pulang kantor, Papa harus gantian menjaga kembar yang sudah seharian bersama mama, dan selama papa di kampus, mama full menjaga kembar dan otomatis tidak bisa melakukan aktivitas lain, seperti mandi, masak dan juga berbisnis furnitur, bisnis yang sudah digeluti mama sejak kami anak-anaknya masih kecil. “Mengurus anak bayi itu apalagi kembar harus extra focus, tidak bisa lengah, tidak bisa jauh dari mata dan tidak bisa disambi juga dengan melakukan pekerjaan yang lain”. Ucap mamaku ketika aku menelponnya menanyakan keadaan si kembar.
Melihat kesibukan dan kerepotan luar biasa kedua orang tuaku mengurus si kembar, ada rasa bersalah di hati karena hingga dewasa dan mempunyai anak empat, aku masih saja sering merepotkan mereka, di masa tua yang seharusnya mereka bisa menghabiskan waktu untuk ibadah dan beristirahat, tapi masih harus kami bebani dengan mengurus kedua anak kami yang kembar, yang saat itu sangat butuh perhatian yang extra. Namun aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali menitipkannya kepada kedua orang tua, karena waktu itu kami adalah warga baru di Cirebon, masih belum banyak kenal orang dan juga masih belum percaya jika harus meninggalkan anak kembar kami diasuh oleh orang lain.
Hampir 1 bulan Papa Mama tinggal bersama kami di Cirebon, banyak cerita dan keceriaan disana ketika kami jalan-jalan bersama ke alun-alun Cirebon, mengunjungi masjid At-Takwa, yang merupakan ikon masjid kebanggaan Cirebon, mencicipi empal gentong dan mie GET makanan khas Cirebon dan terakhir kami mengunjungi Kampung Sabin, wisata alam dengan konsep Bali di tengah-tengah persawahan. Alhamdulillah aku sempat merekam momen-momen indah tersebut dengan ponselku, yang bisa aku putar kapanpun ketika aku mengenang Papa.
Selama di Cirebon, papa tidak pernah mau banyak berdiam diri, ada saja hal yang beliau lakukan di rumah, dari mengecat rumah kami, membersihkan lantai yang terlihat kusam, mengecat pagar sampai terakhir membenarkan genteng rumah kami yang bocor. Papa sejak aku kecil menjadi sosok laki-laki yang sangat aku idolakan, beliau banyak mengajarkan aku bagaimana seharusnya laki-laki bersikap dan memperlakukan wanita di dalam rumah tangga terutama terhadap mamaku, istrinya yang sangat dicintainya. Hampir setiap hari, sebelum berangkat ke kantor, papa mencuci baju, memasak air dan membereskan rumah. Sebuah pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan mamaku, namun papa ingin lebih banyak membantu terutama dalam urusan rumah tangga. Dan rutinitas itu juga dilakukannya di rumahku, sejak bangun subuh, sholat subuh, lanjut beliau ke dapur untuk menyalakan mesin cuci dan mulai mencuci semua pakaian kotor yang ada di belakang, sambil menyalakan teko untuk memasak air panas. Sebuah rutinitas yang jarang aku temukan ada pada sosok laki-laki lain atau suami-suami yang lain.
Meskipun papa seorang Dosen, beliau tidak sungkan untuk bisa membantu pekerjaan rumah tangga, hal itulah yang salah satunya aku rindukan dari sosok seorang papa yang sekarang sudah tidak bisa aku dengar lagi petuahnya, sosok papa yang sangat mencintai anak-anaknya, yang sangat mengerti aku. “Kami orang tua nantinya Ketika sudah tua, tidak perlu harta yang banyak dari anak-anak, melihat anak-anak kami-kami hidup lebih bahagia daripada hidupnya sebelum berumah tangga adalah kebahagiaan sesungguhnya bagi kami orang tua” ucapnya waktu itu.
Yah aku selaku anak perempuan sulung pertama merasa sangat dimanjakan oleh kedua orang tuaku, tidak pernah sekalipun kedua orang tuaku menolak permintaanku ketika aku meminta uang saat aku mondok di pesantren putri Al-Mawaddah atau saat aku berkuliah di UIN Jakarta, semua dicukupi oleh kedua orang tuaku, tanpa pernah sekalipun mengatakan tidak punya uang, padahal belakangan aku baru tahu dari mama, kalau dulu setiap kali aku meminta uang untuk kebutuhan di pesantren atau kuliah, kedua orang tuaku berusaha memenuhi setiap keinginanku, meskipun harus meminjam kesana kemari baik ke saudara, tetangga ataupun rekan kerja.
Ya Allah lagi-lagi hati ini terenyuh melihat begitu besar pengorbanan Papa Mama untuk pendidikanku. Alhamdulillah berkat doa dan dukungan orang tua, aku sudah menyelesaikan kuliah S2 dan sudah bisa mengamalkan ilmu yang aku dapat di sebuah Perguruan Tinggi Islam Negeri di Cirebon. Semoga dengan mengamalkan ilmu yang aku dapat, pahalanya bisa aku hadiahkan kepada kedua orang tuaku, khususnya Papa yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan kami. Benar adanya apa yang dikatakan oleh ustadz dalam ceramahnya “Ketika orang yang kita cintai sudah pergi untuk selamanya, tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan untuk membahagiakannya kecuali dengan doa yang kita kirimkan dan pahala sedekah dari ilmu yang kita miliki”. Selamat jalan Papa, doakan agar kami semua menjadi anak sholeh sholehah yang mampu mendoakan kedua orang tua, yang mampu mengangkat derajat kedua orang tua, dan diberikan kemampuan untuk membuat kalian bahagia dunia akhirat. Meskipun berat rasanya perasaan kami saat ini ketika engkau tinggalkan begitu cepat, ketika masih banyak rencana yang akan kita buat pasca masa pensiun papa nanti, tapi kami tahu ternyata Allah lebih menyayangi papa lebih dari rasa sayang yang kami punya, Allah punya rencana lain yang lebih indah dari rencana yang sudah kita rancang di dunia ya pah, semoga di waktunya nanti, Allah akan mempertemukan kita kembali sekeluarga di Syurga-Nya Allah. Dariku anakmu yang selalu merindukanmu.
Cirebon, 25 Desember 2021.
Photo by Mykyta Martynenko on Unsplash