Cahaya di Titik Nadir

Oleh : Siti Atikah

Tiada hidup yang berjalan mulus-mulus saja. Semapan, setampan, secantik, setua, atau semuda apapun seseorang, pasti ada kalanya riak-riak momen terendah muncul dalam siklus kehidupannya di setiap tahun. Kadang hanya berupa riak kecil hingga cepat luruh. Bisa jadi riak kecil itu disusul dengan gelombang pasang tinggi hingga terasa meluluhlantakkan jiwa. Semua meninggalkan efek tertentu bagi mereka yang mengalaminya. Setiap insan berbeda-beda menghadapi dan mengendalikan efek tersebut.

Ada suatu momen di 2021 ketika riak kegelapan rasanya menggelayuti hari-hari saya meskipun tidak sedahsyat tiga tahun sebelumnya. Momen ketika kumandang azan Magrib, 8 Juni lalu tengah menggema, tiba-tiba salah satu satpam perumahan kami mengabarkan bahwa ayah saya jatuh di masjid. Saat pertama kali mendengarnya, pikiran saya sudah melayang kemana-mana. Yaa Allah… Apakah Buya stroke. Inikah saatnya? Pikiran buruk berkecamuk tiada bisa saya hadang. Adik dan ibu saya langsung melesat dengan motor ke masjid sementara saya bingung tak tahu harus melakukan apa selain menunggu di rumah bersama kedua putra saya yang berusia 5 dan 9 tahun.

Saya coba menenangkan diri dengan salat Magrib terburu-buru saat itu bersama anak-anak. Duuuh Gusti, maafkan diri hambaMu ini yang jarang sekali khusyuk beribadah padaMu. Selesai salat, saya bawa anak-anak ke rumah tante saya di gang sebelah dan berusaha menyusul ke masjid. Di tengah perjalanan, salah seorang tetangga meminta saya untuk balik saja karena rupanya Ayah sudah diangkat ke mobil tetangga sebelah rumah kami bersama ibu saya. Perasaan sedikit lega karena kata tetangga ayah saya dalam keadaan sadar, namun tidak bisa bangun sendiri karena sepertinya ada yang terkilir di bagian tangan kanannya.

Tak lama ayah saya tiba dengan dipapah oleh dua orang dan dibaringkan di kasur kamar bagian depan. Duuuh, melihat wajahnya pias merintih kesakitan, saya ngilu dan hanya bisa berikhtiar mengoleskan campuran minyak esensial oil yang ada di rumah saat itu, berharap agak sedikit meredakan sakit yang dirasakannya. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, seseorang yang telah menjadi langganan urut warga perumahan tempat saya tinggal pun datang dan berikhtiar menangani ayah saya saat itu. Sebut saja namanya Pak Darman. Namun, beliau tidak berani melakukan tindakan lebih jauh karena ia mendeteksi gula dan tekanan darah Ayah saat itu sedang sangat tinggi. Ayah saya membenarkan deteksi tersebut karena rupanya pagi harinya ia sempat ke klinik sendirian dan hasil kontrol kadar gula darah maupun tekanan darahnya jauh di atas ambang normal. Namun, ia tidak mengatakan apapun pada kami hari itu karena takut diceramahi lagi oleh ibu saya dan kami anak-anaknya. Yaa, ayah saya memang termasuk yang bandel nggak mau dipantang makannya padahal dia punya dua penyakit bawaan itu yang sering naik-turun kadarnya.

Akhirnya, dengan hanya ditangani sekadarnya malam itu oleh Pak Darman, Ayah terlihat agak mereda sakit yang dirasakannya. Namun, itu hanya berlangsung sekitar satu jam saja. Hingga keesokan harinya saya memutuskan untuk membawa ayah saya ke klinik untuk mendapatkan surat pengantar ke rumah sakit. Ternyata prosesnya tidak semudah dugaan saya. Akibat kasus Covid-19 sejak Maret 2020, semua tindakan medis yang berkaitan dengan cek lab dan radiologi, mewajibkan keluarga pasien untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya berkaitan dengan prosedur penanganan Covid-19. Termasuk jika pasien meninggal dalam proses perawatan, maka kami keluarga pasien wajib mengikuti seluruh protokol kesehatan yang tidak memperkenankan kami mengurus dan melihat lagi jenazahnya.

Yaa Allah, saat itu, saya merasa seperti algojo yang memvonis akan bagaimana nasib ayah saya. Berat, gelap, gamang, semua berkecamuk menjadi satu. Akhirnya dengan berat hati saya tandatangani surat tersebut karena sungguh pikiran saya sudah terasa di awang-awang, tak tahu harus mengambil keputusan apa yang terbaik saat itu karena ibu dan adik saya menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan saya.

Setelah dilakukan swab antigen dan juga PCR, akhirnya tangan kanan ayah dirontgen dan juga dilakukan cek darah lengkap. Ternyata bahu kanan ayah saya lepas dan ada sedikit yang retak. Harus dioperasi. Namun, operasi hanya bisa dilakukan setelah ada hasil PCR yang baru akan keluar keesokan harinya. Maklumlah, pasien BPJS. Lama prosedurnya. Sudah lumrah dan menyesakkan bukan? Saya dan ayah hanya bisa menunggu di ruang IGD. 24 jam kemudian, tanpa sengaja saya mendengar salah satu perawat berbicara dengan rekannya dengan menyebut nama ayah saya, “Aduuuh, Pak Djamal yang patah tulang PCR-nya positif, nih”. Lemas seketika tubuh saya saat itu setelah saya memastikan hasilnya kepada sang perawat. Karena hal tersebut, Ayah harus dipindahkan ke rumah sakit cabang lain yang mampu mengoperasi pasien dengan kasus Covid-19.

Sementara itu, ibu, adik, dan kedua putra saya otomatis langsung diwajibkan isolasi mandiri dan melakukan PCR karena dianggap suspect. Untung pengurus RT dan Satgas Covid di lingkungan kami sangat membantu. Mereka aman tertangani oleh mereka selama 14 hari lamanya. Maka, tinggal saya sendirilah yang mengurus segala sesuatunya untuk penanganan ayah saya selanjutnya ke rumah sakit berikutnya. Seharian itu saya tetap melayani kebutuhan Ayah seperti makan, mengoles minyak pereda sakit, ganti baju dan buang air kecil. Lanjut dengan bolak-balik foto copy surat dan dokumen yang diminta di tengah gerimis dengan berjalan kali tanpa payung yang jaraknya sekitar 15 menit dari rumah sakit. Saat itu saya mengutuk diri saya yang tak pernah punya nyali bisa mengendarai kendaraan bermotor. Saya tak memedulikan apakah saya saat itu positif atau negatif karena di benak saya hanyalah Ayah harus tertangani hari itu juga di rumah sakit lain.

Setelah semua dokumen pemindahan ayah saya ke rumah sakit lain tuntas, Kamis, 9 Juni selepas Isya akhirnya beliau dibawa ambulans dan saya mengiringi memakai taksi online. Syukurlah, salah satu sepupu saya, dapat hadir menyambut kedatangan Ayah di rumah sakit tujuan malam itu. Tak lama dua paman saya pun hadir memberi dukungan morel kepada Ayah dan saya serta meyakinkan bahwa ini semua harus dijalani dan pasti ada ujungnya. Hati dan pikiran saya agak tenang setelah bertemu mereka. Namun, sungguh beberapa menit sebelum ayah dimasukkan ke ruang isolasi Covid-19, sebelum dipastikan untuk tindakan operasi yang masih belum jelas kapan tibanya, hati saya sungguh mencelos, melayang.

Saya telepon ibu dan adik saya hingga kami bisa saling bicara satu sama lain kepada Ayah, yang mungkin malam itu adalah terakhir kalinya kami bisa berbicara dengannya. Sungguh kondisi Covid-19 saat itu sangat tidak terduga. Kami hanya berharap yang baik-baik, namun bayangan kematian tak dapat dihindari. Hingga akhirnya Ayah masuk ke ruang isolasi tanpa alat komunikasi apapun di tangannya karena ia belum terbiasa menggunakan handphone android, saya hanya bisa menguatkan dan mengatakan “Ndu sayang Buya. Buya yang kuat dan yakin sehat di dalam, ya. Minta bantuan dengan teman satu ruangan kalau butuh minum atau apapun.” Setelah Ayah menghilang dari pandangan saya, saya pun memutuskan menetap di masjid rumah sakit dini hari itu. Sepupu dan kedua paman saya biarkan untuk pulang dan saya yakinkan bahwa saya akan baik-baik saja. Setelah saya ke masjid, maka pecahlah tangis saya dalam sujud tahajud hingga waktu Subuh tiba.

Setelah sempat tidur sejenak melepas kantuk hingga waktu Dhuha tiba, beruntung bagi saya karena salah satu adik Ayah, tante saya yang rumahnya tak jauh dari rumah sakit, mengizinkan saya menginap di ruang depan rumahnya agar saya bisa istirahat sambil bolak-balik ke rumah sakit mengecek kondisi Ayah. Sepanjang hari Jumat, 10 Juni 2021 itu tak ada kabar apapun tentang ayah saya. Pikiran saya penuh dengan segala skenario terburuk hingga mempengaruhi psikis saya yang tak nafsu makan sama sekali. Ditambah selepas Isya hujan deras mengguyur disertai petir yang menyambar-nyambar sepanjang malam.

Di titik nadir saya malam itu yang putus asa tanpa bisa berbagi secara jujur apa yang saya rasakan kepada anggota keluarga manapun, sungguh Allah Maha Baik. Ia kirimkan tiga sahabat yang merupakan rekan mengajar di sekolah tempat saya bekerja, yang kurang lebih tiga tahun terakhir ini kami sangat intens berbagi segala rupa. Entah mengapa Allah malam itu mengirimkan mereka diantara sekian sahabat lainnya. Melalui video call selama sembilan puluh menit, hanya dengan mereka, saya akhirnya mampu mencurahkan semua kegundahan dan kekhawatiran saya dengan isak tangis yang meledak-ledak tanpa bisa saya tahan. Kekhawatiran bahwa saya sudah membuat pilihan yang salah dengan mengirim ayah saya ke rumah sakit, bukannya ke tukang urut parah tulang hingga kemungkinan ayah saya meninggal tanpa bisa kami urus jenazahnya dengan layak karena Covid-19, saya muntahkan pada mereka tanpa terbendung. Ajaibnya, dengan segala komentar gado-gado khas mereka, mulai dari komentar pedas, julid, candaan, menenangkan, hingga menguatkan, Alhamdulillah pertama kalinya sejak kejadian ayah saya jatuh, malam itu saya merasakan rasa sesak di dada perlahan menguap. Berganti dengan rasa kepasrahan bahwa apapun yang terjadi, semua adalah takdir yang harus saya lalui dan terima dengan lapang dada.

Maka, sungguh benarlah adanya ketika hati dilingkupi kepasrahan, Allah pun menunjukkan jalan bagi hambaNya yang memohon pertolongan. Alhamdulillah hingga tulisan ini hadir, ayah saya masih dalam keadaan sehat bersama kami sekeluarga. Meskipun masih harus bolak-balik kontrol ke rumah sakit dan fisoterapi pasca operasi. Meskipun rintihan dan keluhan sakitnya menjadi santapan harian di tengah keluarga kami. Meskipun kebandelannya yang tak bisa pantang makanan juga terus diwarnai kegeraman kami. Semua itu tetap saya syukuri karena kami masih Allah berikan waktu untuk bersama-sama. Doa saya pun tetap sama agar siapapun di antara kami kembali menghadapNya terlebih dahulu, please…Yaa Allah, izinkan kami yang masih ada untuk dapat mengurus jenazahnya secara syariat Islam tanpa embel-embel drama Covid-19. Aaamiin.

Sungguh hadirnya ketiga sahabat tersebut sangat berarti bagi saya melewati momen terpuruk kala itu. Terkadang, ada kalanya kita tak bisa sepenuhnya jujur dengan keluarga sekandung tentang kondisi psikis yang kita alami. Bagi saya, hanya dengan mereka bertigalah sejak tiga tahun belakangan ini saya bisa menunjukkan wajah saya seutuhnya, tanpa topeng. Jujur, saya tak tahu sampai kapan bisa merasakan ini bersama mereka. Namun, sungguh saya berdoa pada Allah agar tali silaturahmi bersama mereka ini akan abadi hingga ke surgaNya. InsyaaAllah. Aamiin.

-kaleidoskop2021
-histeria
-catatanatik
IG : @atikcantik07


Photo by Monika Przepióra on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *