Oleh : Meiliana
Aaarrrgh! Rasanya ingin teriak sekencang-kencangnya saat otak ini tidak bisa menemukan solusi dari setiap masalah yang lalu-lalang di hidup kami. Tapi, tidak pernah kulakukan. Anak-anakku yang mengharuskan ku diam. Sesulit apapun, mereka tidak boleh tahu kesulitan yang orang tuanya hadapi. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami masalah orang dewasa. Mereka belum dewasa. Kami yang pernah kecil harus memahami mereka. Saat mereka inginkan tidak bisa kami penuhi, rasanya sakit sekali. Yang bisa kukatakan hanya, “Maaf, mama belum punya uang. Nanti, kalo sudah punya uang, beli ya…”
Solusinya hanya 1, yaitu uang. Tapi, lagi pandemi. Mau cari uang cepat ke mana. Yang ada pinjaman berbunga dan tak resmi. Tidak masuk dalam sistem OJK. Yang memberi pinjaman mudah dan nagihnya penuh dengan hinaan. Kalau berhenti bayar, mungkin air liur bisa sampai di wajahku. Pinjam di tempat yang resmi saja penuh dengan hinaan.
Sejak pandemi, usaha kami bangkrut. Kami tidak sanggup bayar cicilan rumah, motor, KTA, dan mobil. Setiap hari, tempe dan tahu sudah menjadi sobat terdekat. Lapar bisa kami tahan. Melihat buah hati kami diam menahan rasa lapar, hancur!
“Ma, aku pengen beli mainan, ” ujar anakku yang pertama.
“Aku juga mau, ma!” seru adiknya ikutan.
Aku tidak punya jawaban. Yang wara-wiri di otakku masih sama. Lidahku saja terasa bosan mengucapkan hal yang sama. Yang kulakukan hanya diam dan diam.
“Ma, boleh beli gak?” Tanya si kakak lagi sambil mengejar ke dapur.
“Aku juga mau!” Seru si adiknya.
Aku masih berpikir apa yang harus kulakukan. Apa yang bisa kuajarkan dalam keadaan sempit ini. Apa yang orang katakan pada zaman dahulu itu. Zaman yang serba biasa aja.
Tiba-tiba, terlintas di pikiran tentang “Market Day“. Langsung ku balikkan tubuhku. Posisi setengah jongkok. Mereka melihatku keheranan.
“Kak, kita jualan kue keliling, yuk! Mama yang bikin kue dan kamu yang keliling jualan.” Cerocosku bersemangat.
Si kakak masih berpikir. Adiknya sedang memperhatikan saat kakaknya berpikir.
“Nanti, kita bikin cemilan. Dijual dengan harga seribu, aja. Jadi, kalau dia punya uang dua ribu dengan harapan beli makanan jadi dua.” Lanjutku lagi.
“Kayak market dey, dulu?” Tanya si kakak penasaran.
Aku mengangguk mantap. “Nanti, setelah jualan, keuntungannya di tabung. Buka celengannya kalau sudah penuh. Nah, uang itu buat kamu beli mainan atau makanan yang kamu mau. Bagaimana?”
Si kakak tersenyum lebar dan kemudian berkata, “Besok, bawa kue dua puluh, dulu.”
“Besok, aku juga ikut temani kakak, ya,” Respon adiknya.
Senang dengarnya keduanya bisa kompak dalam keadaan yang minim.
Izin ayah mereka sudah dikantongi. Bahkan, dia pun berkata, “Semangati kalau mau belajar bisnis dari kecil.”
Keesokan harinya, kami berjualan. Karena si kakak masih berusia 8 tahun maka jualan keliling ditemani. Kami ber-3 jualan donat dan pastel. Dengan lantang si kakak menghampiri setiap orang dan berkata, “Bu, mau beli kue?”
Hampir semua orang yang ditawari membeli makanan kami. Meski, tiap orang membeli 2 ribu, tapi sudah bikin kami optimis menjalaninya. Belum jauh melangkah dari rumah, tapi sudah 12 orang yang kami temui dan 10 orang sudah membeli. Dagangan perdana habis.
Entah karena mereka menyimpan rasa respect, mendukung, atau kasihan. Setiap hari dagangan kami habis. Bahkan, ada yang memberikan uang lebih dari apa yang mereka beli. Sedih!
“Ma, aku jualan sudah sebulan. Boleh aku beli mainan?” Tanya si kakak sambil tersenyum.
“Kak, aku dibeliin gak?” Tanya si adik dengan raut wajah penasaran.
Si kakak menoleh ke arah adiknya. Kemudian berkata “Beli empat ya. Bagi sama. Ajak mama ke warung Kak Alim, yuk!”
“Boleh!” Jawabku mantap.
Warung Kak Alim menjual cemilan dan mainan seribuan. Dibungkus kecil dan digantung dalam satu kertas tebal.
Yang terjadi di luar dugaanku. Nilai plusnya, mamanya jadi lebih kurus karena temani keliling.
Photo by Ryan Quintal on Unsplash