Oleh: Riyan Suatrat
Penghujung 2021 hidupku berasa seperti roller coaster. Jungkir balik bikin jantung nyaris lepas dari rongganya. Bikin sesak napas. Aku enggak suka perasaan ini, benar-benar enggak nyaman.
Pikiranku dipenuhi berbagai ketakutan. Mungkin iblis tengah tertawa puas melihat kerja kerasnya berhasil dengan sukses. Dia berhasil membuatku takut, cemas, dan gelisah.
Mulai tahun depan aku tidak akan lagi melihat teman-temanku muncul di pintu dan mengucapkan salam. Tidak adalagi duduk-duduk dan berbagi cerita, mengeluarkan unek-unek di hati. Tidak adalagi senyum dan tawa ceria di tempat kerja. Mereka semua resign. Memutuskan untuk berdiri sendiri di kaki-kaki mereka yang kokoh dan kuat. Mereka memiliki semua yang dibutuhkan untuk berpetualang sendiri.
Sementara aku tetap di posisi yang sama. Belum sanggup untuk mandiri. Aku masih terseok-seok membangun citra diri, membentuk personal branding, menggali passion yang baru saja aku temukan dua tahun terakhir.
Inilah alasan yang membuatku hysteria atau histeris menyambut tahun baru. Rasanya pengin teriak dan memaksakan kehendakku untuk membatalkan surat kontrak yang terlanjur aku tanda tangani—dan masih aku sesali hingga hari ini.
Cemas membayangkan seperti apa wajah 2022 di tempat aku bekerja menghantui malam-malamku menjelang pergantian tahun. Lebih horor dari film Conjuring. Apalagi jika mengingat wajah seseorang yang nantinya akan menjadi bosku, lebih menyeramkan dari hantu manapun di dunia ini.
Takut? Yah dengan berani aku akui, aku takut. Cemas? Iya itu juga aku akui. Tapi aku enggak bisa mundur, karena tanda tangan yang terlanjur aku bubuhkan pada surat kontrak sialan itu.
Memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan buruk dan membayangkan hari-hari suramku di tempat kerja nanti benar-benar membuatku gelisah. Namun, aku bisa apa?
Di penghujung tahun ini juga—dengan masih memikirkan dan membayangkan orang-orang minus empati yang akan menjadi rekan kerjaku di enam bulan ke depan aku semakin mulas—aku juga menyiapkan mentalku untuk menjalani 2022.
Kututup mataku, (pikiranku) memanggil satu per satu ayat-ayat Tuhan yang menjanjikan harapan dan semangat, memanggil satu per satu orang-orang yang menyayangi, mendukung, mempercayai—kalau aku juga mampu berbuat sesuatu yang bermanfaat—yang mengikuti perkembanganku di sosmed dan menghargai tulisan-tulisanku.
Mereka aku hadirkan dalam pikiran, aku taruh di alam bawah sadar dan alam sadarku, aku simpan di salah satu sudut hati, yang kalau diperlukan akan aku keluarkan untuk menyemangatiku nantinya.
Semua hal baik tentang orang-orang baik itu membuat hatiku hangat. Dengan hanya mengingat hal-hal yang aku sebutkan di ataslah aku bisa lebih tenang—harapanku sih sekalian bisa bikin aku kuat.
Dan hingga saat aku mengerjakan tulisan ini aku masih gelisah membayangkan tempat kerja dan orang-orang yang tersisa di dalamnya. Benar-benar toxic.
Aku mengambil napas dalam-dalam. Mengingat dan memanggil kembali orang-orang baik yang menyayangiku.
Aku butuh menenangkan perasaanku yang kembali jungkir balik. Bayangkan, padahal aku hanya mengingat sedikit saja suasana tempat kerja. Serangan mulas menghantamku keras.
Oke, aku sudah tenang. What should I do next?
Aku memikirkan membuat jurnal atau catatan harian. Kata orang menulis dapat menyembuhkan. Writing for Healing sebutannya. Ya Allah padahal aku enggak berharap akan menjadi pasien writing for healing ini.
Dan hal ini benar-benar akan aku jalani untuk menjaga kewasanku juga menyeimbangkan perasaanku—nanti di tahun depan.
Aku akan mencoba semua hal positif yang dapat aku lakukan. Mungkin mencoba beberapa hal baru di luar jam kerja. Bertemu orang baru dan suasana berbeda juga disinyalir dapat menyehatkankan mental.
Yang juga harus aku lakukan selanjutnya adalah berusaha untuk melihat segala hal dari dua sisi, menerima kritikan—dan sikap merendahkan—dengan hati yang lapang.
Hidupku selama ini—meskipun jauh dari kemewahan dan kemudahan—masih dalam porsi wajar. Tantangan dan rintangan termasuk peristiwa indah di dalamnya—alhamdulillah—dapat aku lalui dengan baik.
Mungkin ada malaikat yang mengusulkan pada Tuhan untuk mengirimkan kerikil, lumpur, dan sedikit awan mendung dalam hidupku. Mungkin si malaikat jenuh melihat hidupku datar dan membosankan makanya dia mengusulkan agar Tuhan memberiku ujian. Kata orang bijak lagi sebagai syarat kalau aku mau naik kelas. Ciieeee.
Dan aku harus mengakui kalau ide si malaikat brilian dan dia berhasil “mengganggu” hidupku yang membosankan itu.
Hidupku benar-benar jungkir balik. Aku paling enggak suka berada dalam situasi enggak nyaman. Aku bisa bertahan dengan uang yang sedikit tetapi, enggak bisa dengan ketidaknyamanan. Loh bukannya kekurangan uang juga bisa membuat kita enggak nyaman? Hehehehe.
Tapi aku sudah bertekad akan menghadapi 2022 dengan dagu terangkat. Aku enggak akan takut, cemas, apalagi gelisah. Padahal perasaan itu masih ada di sudut-sudut hatiku. Biarlah aku akan mencoba mengabaikan mereka.
Selanjutnya roller coaster yang aku naiki itu akan menjadi hiburan bagiku bukan sumber ketakutan. We’ll see, “aku akan menjadi lebih baik setelah ini.”
Photo by Laurenz Kleinheider on Unsplash