Menuju Puncak

Oleh: Viesilmi

/Aku khawatir menyerah karena tak tahu suksesku mungkin tinggal selangkah/

[Bagaimana perasaanmu kala ingin menolak tapi tak bisa menolak, Uli?]

[Apaan sih?]

[Pengen curhat!]

[Ya udah. Nanti ke kelas.]

Kuletakkan ponsel di meja. Kemudian jari-jariku mulai mengetik di papan tombol laptop dengan sembarang.

Benar. Pikiran dan hatiku sedang tidak sinkron. Ini berawal dari Bu Bos yang menugaskanku untuk ikut lomba guru.

Ini adalah kali kedua beliau menugaskanku di 2021. Pertama, Mei lalu.

“Bu Nuha, ikut lomba inovasi belajar, ya!”

Aku menganguk. Meskipun terasa berat. Tapi tak kuasa menolak.

“Tentukan mau bikin apa. Buat pelajaran apa. Nanti dibantu teman-teman saja buat karya tulis dan videonya.”

Di ruangannya yang sejuk itu, kembali aku mengangguk. Hanya sesekali aku menjawab pendek-pendek.

Persiapan mengikuti lomba inovasi belajar memang luar biasa bagiku. Banyak instrumen harus dipersiapkan. Mulai dari ide karya, pembuatan karya, karya tulis, sampai persiapan video pembelajaran.

Syukur, aku punya support system yang baik. Rekan-rekan kerjaku kerja siap meluangkan waktu, meskipun sama-sama sibuk. Murid-murid juga antusias mengikuti syuting video pembelajaran. Mereka rela ke sekolah, mendukung lomba Bu Gurunya.

Keluarga juga tak kalah dukungannya. Terutama suami yang menemani trial and error alat peragaku. Termasuk menemani sampai pukul 10 malam dalam rangka mempersiapkan lomba menjelang H-1 lomba.

“Baru tahu aku kehidupan malam di sekolah ini,” ujarnya tersenyum.

“Sama.Padahal udah kerja tahunan,” jawabku sambil nyengir.

Suasana lantai tiga memang gelap. Ditambah angin yang besar membuat ngeri-ngeri sedap.

Rupanya saat itu Allah belum mengizinkanku masuk finalis 5 besar lomba. Aku mencoba berlapang dada.

Woy, ngelamun!

Uli masuk ke kelasku dengan tiba-tiba.

“Mau curhat apa, Sista?”

Ia menarik kursi lalu duduk di dekatku.

Aku mencoba tersenyum. Lalu mulai bercerita.

“Aku disuruh ikut lomba lagi. Baru aja Mei–Juni lomba, eh Oktober disuruh lom… “

Lha, aku disuruh ikut lomba karya tulis!” potong Uli sambil melengos.

Mataku terbelalak. Spontan aku terbahak. Rupanya kami senasib.

“Syukurlah, setidaknya aku punya teman senasib!” tukasku girang.

Mumetku sejak menyanggupi amanah Bu Kepala semalam, mendadak agak ringan.

Mendengar kata-kataku, bibir Uli manyun 3 senti.

“Kita kan kalahan. Udah ikut lomba bareng, kayaknya ada 3 kali, ya?”

“Yup!” balasku.

Momen kami lomba sering bersamaan. Dan kami sama-sama kalah.

“Terus?” lanjutku?

“Kalau menolak, aku takut ini giliranku menang!” selorohnya.

Kali ini dengan wajah serius.

“Nah! Jadi…?” selidikku.

“Terus sajalah. Tugas kita berjuang, bukan berhasil,” ucapnya bijak.

Aku manggut-manggut mendengar ucapannya yang dikutip dari Ustad Sony Abi Kim.

“Oke. Lanjutkan. Semangat!” teriakku bak pahlawan ’45.

Sejak saat itu aktivitas kami bertambah 1: mempersiapkan lomba. Kami sering pulang sore hari, karena persiapan lomba baru bisa dikerjakan usai mengajar.

[Apakah perutmu terasa banyak kupu-kupu?]

Kulirik pesan yang masuk. Dari Uli.

[Heeh. Tapi aku feeling kali ini kamu menang, lho!]

[Hei, jangan buat kupu-kupu di perutku tambah banyak!]

Balasan Uli membuatku tertawa lebar.

Hari ini, 1 November 2021 adalah saat pengumuman 5 besar lomba. Kami menunggu dengan hati berdebar.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Namun, kelihatannya Ibu Kepala atau yang lainnya belum mendapat informasi dari panitia.

Pukul 14.58, aku dalam perjalanan pulang.

[Nuha… Udah sore tapi belum pengumuman aja.]

[Udahlah] Jawabku membalas pesan Uli disertai icon tertawa.

“Turun di mana, Teh?”

Pertanyaan sopir angkot menghilangkan kantukku.

“Depan. Klinik ya, Pak!”

Tak lama angkot menepi. Aku kemudian turun, lalu duduk di kursi trotoar.

Kubuka lagi ponsel yang masih dalam genggaman tangan.

[Buu, barakallah]

[Selamat, Kakaak!]

Hah, apa ini? Sisa kantuk masih bergelayut di kepalaku. Aku masih belum paham. Baru saja kubalas pesan Uli. Sekarang pesan selamat berdatangan.

Aku mengecek grup. Ternyata Bu Kepala mengabarkan aku dan Uli masuk final.

Masya Allah. Allahu Akbar! Ternyata sekarang waktunya Allah izinkan kami masuk final.

[Nuhaa, masuk kita, hahahaha]

[Alhamdulillah. Congrats, Uli! Lanjutkan perjuangan!]

Dua hari menjelang lomba kami isi dengan persiapan maksimal. Membuat power point, latihan presentasi, dan menyiapkan alat peraga.

“Marketing langit, Teh. Itu aja, udah!” Kata-kata adikku melekat kuat di benak ini.

Ya, sekeras apa pun usaha kita, tetap KUN Allah fokus kita.

Berdoa sepenuh cinta, berusaha sepenuh raga, lalu bungkus dengan kepasrahan sepenuh jiwa. Pernyataan Ustad Sony Abi Kim ini belakangan jadi favoritku. Kuresapi dan kupraktikkan selama proses perjalanan lomba ini.

Tanggal 3 November 2021 kami berjuang di tempat masing-masing. Berusaha menampilkan yang terbaik. Tak lupa sebelumnya meminta doa dari keluarga dan seluruh teman.

Perjuangan kami di final berbuah manis. Aku menjadi juara 2 Lomba Alat Peraga dan Uli juara 3 Karya Tulis Ilmiah.

Uli memelukku setelah aku menuntaskan sujud syukur.

Peringatan Hari Guru tahun ini terasa lebih istimewa buat kami. Kami bersama para pendidik terpilih, menghadiri acara pemberian penghargaan dari Bapak Walikota dan Dinas Pendidikan Kota Cilegon.

“Bekerja itu ibadah, prestasi itu indah ya Bu,” ucap juniorku. Ia juga ikut menghadapi acara.

“Tahun depan ikut lagi ya! Kan belum juara 1!” kata temanku, si Juara Guru Berprestasi.

Aku dan Uli berpandangan, lalu terbahak.

Sudah. Biarkan kami nikmati momen ini dulu.


Photo by Cristian Escobar on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *