Ketika Amanah Itu Diambil

Oleh: Tyasya

Setiap amanah akan dipertanggungjawabkan karena itu bukanlah hadiah yang diberikan cuma-cuma.”—Tyasya.


Aku bukan tipe orang yang dengan mudahnya meminta-minta. Apapun itu bentuknya. Jika memang diberikan kepadaku, maka akan kuterima dengan senang hati. Namun, jika tidak, aku tidak akan merasa sedih.

Begitulah selama ini aku hidup. Bekerja di mana pun, prinsip itu tidak akan pernah kulupakan.

Setiap amanah yang dipercayakan kepadaku, selalu kukerjakan dengan sebaik-baiknya. Mengapa? Agar tidak mengecewakan pemberi amanah.

“Ih, dia kan anak baru. Kok udah dikasih tugas penting.”

Aku tidak tahu ucapan sejenis itu keluar dari siapa saja. Yang jelas, ada.

Padahal, demi Allah, tidak diberi pun, aku tidak masalah. Kalau mereka yang mendapatkannya juga aku tidak merasa iri. Karena itu artinya bukan jatahku menerima.

Amanah itu terkadang membuatku harus bersitegang dengan seorang rekan. Sebetulnya hal itu lumrah terjadi. Karena ada banyak kepala yang tentu tidak mudah disatukan.

Aku hanya bisa berusaha tenang ketika hal itu terjadi. Pada awalnya itu tidak menjadi masalah. Karena memang saat itu masih menjadi milikku.

Namun, seperti halnya roda yang berputar, aku pun memahami jika suatu saat amanah yang diberikan kepadaku akan dialihkan kepada yang lain. Apalagi jika terjadi dinamika di dalamnya.

Waktu itu akhirnya tiba di tahun 2021. Aku sadar, aku bukanlah siapa-siapa. Tidak perlu juga mengandalkan nama seseorang untuk terus berdiri tegak.

Aku sudah merasakan aura perubahannya, tetapi mencoba bersikap biasa saja. Untuk apa juga aku bereaksi secara berlebihan? Hanya akan membuat mereka yang tidak menyukaiku gembira.

Mungkin, orang melihatku seperti terasing. Namun, terkadang aku memang memilih mengasingkan diri jika tidak sesuai dengan hati. Aku malas berdebat, karena pasti tingkat kesalahan terbesar akan ditimpakan kepadaku.


Pergantian akan selalu ada setiap tahun atau mungkin dua tahun. Ketika itu terjadi di depan mataku, dapat dipastikan banyak hal berubah. Meskipun aku tidak menyangka akan secepat itu.

Ada rasa kecewa yang muncul dalam hati. Seolah jasa seseorang itu tidak pernah dihargai dan hanya menjadi ingatan jangka pendek saja. Ya, aku sangat kecewa.

Jujur, melihat pengumuman yang ada di grup saat itu, ada satu pertanyaan mengganjal.

Apakah karena kinerjaku yang tidak baik? Pikirku.

Jika ya, aku tidak merasa ada masalah. Artinya aku harus memperbaiki diri lebih baik lagi.

Namun, karena ternyata bukan itu alasannya, maka rasa kecewa yang akhirnya hadir. Sayangnya, rasa itu tidak pernah diungkapkan. Sebagai minoritas, kini aku tidak berani banyak meminta, apalagi bicara.

Pada awalnya, aku merasa tidak terima begitu saja. Namun, apalah aku tanpa kuasa? Aku hanya mencoba menerimanya dengan lapang dada.

Aku menyibukkan diriku dengan menulis. Atau menemani anak-anakku bermain. Kadang juga aku membaca buku dan menonton drama.

Demi apa? Supaya aku merelakan amanah itu diambil lagi. Ada perbedaan pendapatan itu pasti. Hanya saja, aku masih tetap yakin Allah akan menggantinya dengan yang lain.

Ibarat kata pepatah, ditutup satu pintu rejeki, maka akan dibukakan pintu yang lainnya. Rasa kecewa kini berubah menjadi legawa. Agar hidupku tak lagi penuh duka, tetapi bahagia.

Aku hanya bisa berusaha dengan sebaik-baiknya. Kini, apa yang kulakukan adalah apa yang diminta dilakukan. Untuk kembali berinisiatif aku tidak berani. Aku takut, dengan status minoritasku, dianggap mengambil hak mereka. Sesuatu yang aku sama sekali tidak mau.

Kalau dipikirkan kembali, mungkin ini salah satu kasih sayang Allah kepadaku. Karena aku itu terlalu loyal dengan pekerjaan. Amat sangat loyal.

Padahal jika suatu hari nanti, aku tidak ada di dunia, mereka akan dengan mudahnya menggantiku dengan yang lain. Bahkan mungkin dengan cepat melupakanku begitu saja.

Sedangkan keluarga, yang seharusnya menjadi prioritas utama, sedikit terabaikan. Akhir tahun ini adalah masa terakhirku mengemban amanah. Ketika tahun depan sudah ada yang menggantikan, aku hanya bisa ikhlas, bukan?

Pun ketika kesempatanku mendapatkan yang lebih baik gagal, sehingga mau tidak mau aku harus bertahan. Keluarga adalah tempatku kembali. Mereka tidak akan membuangku begitu saja, karena rasa sayang mereka kepadaku.

Masa depan, kuserahkan kepada-Nya. Kemana arahnya, aku hanya bisa berusaha dan berdoa. Karena keputusan-Nya tidak akan pernah salah.


Photo by Annie Spratt on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *