Oleh: Luluk Sobari
“Kak Luk, sama Bapak disuruh ganti naratornya,” bisik Kak Doni kala itu. Bapak yang Kak Doni maksud adalah kepala sekolah di tempat kami mengajar dan bekerja.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Karena Azka (nama samaran) cadel,” tutur Kak Doni.
Jelas aku kaget bercampur kesal. “Emang kenapa kalau cadel?” protesku, tak terima.
“Katanya intonasi dan pelafalannya jadi kurang jelas. Takut diprotes orang tua.”
“Kenapa harus takut sama orang tua Kak? Apa salahnya cadel? Siapa yang bilang kalau cadel tidak boleh jadi MC atau narator. Tinggal latihan aja kan biar pelafalannya jelas.”
Aku belum puas, ada rasa tak terima yang amat sangat dalam. “Lagian Kak, sekolah kita itu sekolah inklusi. Kita tak boleh membeda-bedakan anak. Siapapun di sekolah ini punya hak yang sama. Termasuk Azka berhak jadi narator meski dia cadel.”
“Tapi Kak, nanti jadi kita yang kena. Berarti kita kurang profesional dalam bekerja. Kalau sudah tahu cadel kenapa dijadikan narator. Gitu kata Bapak.”
Aku terdiam. Benarkah memilih anak cadel sebagai narator adalah sebuah ketidaprofesionalan? Lantaran seorang narator mestinya punya suara yang jelas, bagus, dan tidak cadel? Tapi bukankah itu sebuah tindakan tidak adil karena meremehkan mereka yang cadel?
Sebagai guru, aku sungguh tidak bisa menerima konsep itu. Tapi di sisi lain, aku seperti salah juga. Azka menjadi narator karena ditunjuk, bukan karena pilihannya. Memang ada yang salah dengan sistem seleksi peserta drama. Harusnya ada proses audisi.
“Udah ah Kak, ganti ja. Tahu sendiri, kalau si Bapak bilang A ya harus A,” pinta Kak Doni kemudian.
Aku juga seperti orang yang seketika tak punya nyali. Aku takut untuk memperjuangkan apa yang aku yakini. Sebab aku juga didera rasa bersalah. Lebih tepatnya menyalahkan diri sendiri karena proses seleksi yang memang
kurang demokratis.
“Terus gimana Kak Don? Masak tiba-tiba mau diganti? Azkanya udah latihan 3 minggu loh Kak. Dia bahkan mulai hafal sama naskahnya,” ucapku lemah.
“Coba deh Kak Luluk bicara sama Azka. Tawari dia peran yang lain.”
Itulah kesepakatan antara saya selaku penanggungjawab drama dengan Kak Doni selaku penanggungjawab acara. Berat sebenarnya hatiku dengan keputusan itu. Tapi aku tak berani memperjuangkan pemikiranku.
Aku mengalah, entah untuk melindungi siapa. Melindungu diriku sendiri yang lemah? Kenapa aku tidak memilih melindungi Azka.
Meski aku tahu Azka menjadi narator karena ditunjuk. Tapi aku melihatnya selalu berlatih dengan semangat. Aku bisa melihat dia sangat menikmati tugasnya menjadi narator. Guru macam apa aku ini yang tak berani menerjang badai demi melindungi muridnya?
Itu hanya salah satu kisah saja teman. Kisah yang menunjukkan betapa saat itu aku adalah manusia paling penakut di dunia ini. Tak pernah berani untuk menyuarakan apa pendapatku.
Masalah Azka memang bisa kuselesaikan. Akhirnya aku mengambil satu siswa lagi untuk menemani Azka sebagai narator sebagai penyeimbang dan Kepala Sekolah sepakat. Azka juga tak keberatan. Dia memang anak yang polos dan mudah menurut.
Tapi di sisi lain aku jadi merasa semakin buruk.
Aku ingat masa-masa saat itu. Saat aku masih menjadi seorang guru. Di mana aku selalu bangun di pagi hari dengan perasaan suntuk dan selalu mengeluh. Terutama jika bangun di hari senin.
Jalanan Kota Depok yang macet. Beban pekerjaan yang tak sanggup lagi kupikul. Gesekan dengan sesama rekan guru yang tak mampu kuhadapi. Semuanya seperti monster yang menyedot jiwaku sampai habis.
Dalam 7 hari, aku hanya bahagia saat hari kamis saja. Kenapa? Di hari itu aku senang karena akan bertemu dengan hari jumat. Hari terakhir mengajar dalam seminggu. Setelah Itu ada sabtu dan minggu sebagai hari libur.
Tapi tahukah kamu? Di hari minggu aku sudah di dera rasa takut lagi. Takut karena akan bertemu dengan hari senin. Hari yang akan jadi permulaan bagi siksaan batin yang tak berkesudahan.
Akhirnya aku sampai di titik tak sanggup lagi menghadapi semua yang terjadi. Aku pun memutuskan berhenti bekerja dan pulang kampung.
Apakah menjadi guru memang seberat apa yang kualami? Tidak, bukan profesi gurunya yang bermasalah. Tapi diriku yang bermasalah.
Keputusan itu aku ambil tanpa berpikir panjang. Hingga akhirnya aku pulang kampung dalam keadaan tidak siap. Luntang lantung tidak jelas. Dan itu membuatku semakin terpuruk.
Berbulan-bulan aku memendam kesedihan. Merasa menjadi manusia tidak berguna.
Untungnya aku punya hobi menulis dan berkebun. Di tengah diri yang terus bergulat dengan batin. Aku memutuskan untuk menulis dan berkebun. Keputusan kecil itu membuatku berangsur-angsur sembuh.
Meski kini aku belum sepenuhnya sembuh. Setidaknya semangatku untuk membangun kembali sebuah mimpi baru sudah mulai mengakar kuat dalam diriku.
Jadi, untuk kamu yang berada di titik paling rendah dalam hidupmu. Saranku, jangan menyerah. Lakukan apa saja yang bisa kamu lakukan meski belum menghasilkan uang dan prestasi.
Jangan takut untuk mulai dari nol. Jika kamu bersabar dan konsisten dengan apa yang kamu usahakan. Maka jalan keluar akan berdatangan dengan sendirinya.
Photo by Dan Dimmock on Unsplash