Oleh: Mia
Siapa bilang si bungsu dimanja oleh kakaknya? Kata siapa si bontot diistimewakan orang tua? Justru si bungsu bisa jadi sering diremehkannya. Si bontot mungkin saja sering menerima getah bukan dari perbuatannya. Aku si bungsu yang sering menerima perlakuan kurang menyenangkan bahkan ketidakadilan dari kedua orang tua semasa hidup mereka. Kedua orang tua lebih mementingkan kakakku. Kakakku cenderung kurang mandiri karena terlalu dimanja ayah dan ibuku. Hidupku serasa jadi tumbal keluarga.
Sepeninggal kedua orang tuaku, kakakku semakin semena-mena terhadap aku. Kakakku selalu melampiaskan kemarahannya kepadaku. Istri atau anaknya yang salah, aku yang dimarahi. Kejadian yang membuatku paling nelangsa, yaitu Asisten Rumah Tangga yang salah, aku yang didamprat. Seolah, aku seekor kambing congek di mata kakakku. Hal paling menyakitkan dalam hidupku, yakni menerima abu panas bukan dari kayu yang kubakar.
Semakin hari, kakakku semakin mengagung-agungkan ART-nya. ART sebutan untuk Asisten Rumah Tangga. ART dianggap orang paling berjasa di dunia melebihi ayah dan ibu. Jasa kedua orang tua tiada artinya bagi kakakku. Sedangkan, aku selalu dianggap sebagai beban hidup kakakku bahkan lebih rendah dari setumpuk sampah. Padahal, aku selalu mencukupi kebutuhanku dari jerih payahku sendiri. Hal itu membuatku semakin risih. Lukaku yang sempat sembuh melalui kelas menulis, terbuka kembali oleh perlakuan kakakku. Sejak itu, aku terserang insomnia dan dadaku terasa menyempit serta kepala terasa tertimpa batu berton-ton.
“Aku yang mencukupi kebutuhanku sendiri dipandang jijik, bagaimana jika aku berpangku tangan? Apa istimewanya ART itu sehingga aku seperti lebih hina dari dia?” Pertanyaan itu selalu terbesit di benakku.
Saat itu, hatiku semakin meronta dan menjerit-jerit. Namun, lidahku kelu. Aku hanya bisa menggigit bibirku untuk meredakan gejolak jiwaku. Suatu ketika, aku hijrah ke rumah kakak yang kosong. Aku pilih tinggal di rumah kosong itu untuk menghindari amukan kakakku yang tidak jelas. Alhamdulillah, aku lebih tenang di sana. Namun, ketenangan yang kudapatkan tidak berlangsung lama. Aku diadu domba oleh tetangga sebelah rumah kakak. Tetangga itu menuduh aku ini-itu kepada kakakku. Kakakku percaya begitu saja tanpa tabayyun terlebih dahulu. Akibatnya, aku dan kakakku bertengkar hebat.
Selang beberapa menit dari pertengkaran itu, aku meninggalkan rumah kakakku karena aku kecewa dengan sikap kakakku yang lebih percaya orang lain. Aku pun pergi ke rumah salah satu famili. Beberapa hari kemudian, keberadaanku diketahui oleh kakakku. Aku dijemput oleh kakakku. Aku tak mau pulang. Aku mengajukan persyaratan kepada kakakku.
“Aku mau pulang jika ART-mu pulang kampung selamanya. Aku beri waktu sepekan. Jika tidak kau indahkan, aku usir paksa ART-mu. Pilih aku orang senasab denganmu atau ART yang hanya memiliki hubungan sebab denganmu?” pintaku.
“Tak mau pulang, ya sudahlah. Jika aku memilih ART-ku, mau apa kau?” Kakakku menjawab dengan entengnya. Lalu, pergi.
Kakakku memilih ART-nya dari pada orang sedarah dengannya. Aku muak. Keesokan harinya, aku pergi ke lahan yang menyerupai hutan. Aku berteriak sekencang-kencangnya untuk mengurangi beban jiwaku. Alhasil, dadaku lebih longgar dari sebelumnya. Namun, luka batinku masih terasa perih. Tak lama kemudian, aku pun kembali ke rumah famili. Setiba di rumah itu, aku pun berselancar mencari informasi tentang indekos yang sesuai dengan budget-ku. Akhirnya, aku menemukan tempat yang sesuai dengan kondisi finansialku. Lalu, aku segera berkemas. Aku tak mau berlama-lama di rumah itu karena tak mau ada kejadian adu domba lagi.
Selang dua hari kemudian, aku meninggalkan rumah famili. Aku pilih tinggal di indekos dengan tujuan memberi waktu kakakku untuk berfikir. Diam-diam, aku pantau kakakku dari kejauhan. Kakakku semakin asyik dengan keluarga kecil beserta ART-nya. Seakan sampah dalam hidupnya telah pergi. Aku semakin muak dengan sikap kakakku.
Sepekan kemudian, aku pulang ke rumah peninggalan ayahku. Aku pun mengusir paksa ART yang membuat harga diriku di bawah sampah. Kakakku malah mendaratkan beberapa pukulan ke kepalaku hingga kepalaku bocor. Lantai pun bersimbah darahku. Kakakku membela si ART-nya mati-matian. Entah, aliran apa yang dianutnya. Aliran pemuja ART atau aliran mendewakan ART? Aku pun tak tahu. Kakakku tidak menghargai hakku atas rumah bersama. Kakakku beserta istrinya menguasai rumah besar itu.
Selang beberapa menit kemudian, aku minta pertanggungjawaban. Aku minta dirawat di Instalasi Gawat Darurat terdekat, yang lebih dikenal dengan istilah IGD. Kakakku seperti berat hati dengan permintaanku. Istri kakakku yang mengantarkan aku ke IGD. Sedangkan, kakakku lebih mementingkan urusan lain. Hatiku semakin hancur. Setiba di IGD, aku diintrogasi oleh perawat dan dokter, apa penyebab luka di kepalaku. Aku pun terpaksa membohongi mereka. Aku mengaku jatuh terpelanting di tangga. Mereka ragu dengan jawabanku. Aku pun berusaha meyakinkan mereka. Walau bagaimanapun, aku masih melindungi saudara kandungku. Akhirnya, lukaku dijahit oleh dokter bedah. Sepulang dari IGD, aku mengabadikan bajuku yang berlumuran darah dengan kamera smartphone.
Keesokan harinya, tidak ada tegur sapa dari kakakku. Aku berusaha mengawali komunikasi, tetapi kakakku tetap acuh tak acuh. Selang beberapa hari setelah lukaku sembuh, aku putuskan tinggal di indekos. Di tempat itu aku jauh lebih tenang. Insomnia dan tekanan batinku ambyar di tempat berbayar. Aku tak mau tinggal bersama pemuja ART. Aku tak pernah mengharapkan harta peninggalan ayahku. Aku hanya ingin kebahagiaan dan ketenangan. Biarlah aku yang harus mengalah, meski aku tak pernah tahu apa salahku.
Photo by Maria Teneva on Unsplash