Oleh: Anita Yulia
Kejadian malam itu rasanya membuat jantungku hampir copot, 07 Juli 2021 mungkin tepat pukul 00.00 WIB karena riwayat telepon keluar menunjukkan pukul 00.10 WIB, beberapa menit setelah aku berhasil mengeluarkan nenek yang tak sadarkan diri di toilet. Kepanikanku kala itu rasanya bertubi-tubi bukan hanya karena kondisiku yang setengah sadar baru terlelap tidur namun karena keluarga yang biasa dirumah justru sedang keluar membantu persiapan 40 hari meninggalnya ua, sedangkan aku dirumah bersama nenek dan kakek yang keduanya sedang sakit, parahnya lagi adalah aku pun dalam kondisi sakit. Aku baru akan tertidur tenang karena melihat nenek dan kakek tertidur pulas, sepertinya aku baru tertidur sekitar pukul 23.00 WIB namun suara cukup keras menyadarkanku, segera saja aku menengok ke kiri dan kanan untuk melihat nenek yang semula tidur disebelahku, tapi ia tak ada hingga bergegas aku ke toilet dan benar saja terlihat gayung terjatuh dan nenek lemah terkulai, aku tak kuasa mengingat kondisi saat itu yang pasti sekuat tenaga aku berjuang mengeluarkan nenek dari toilet dengan pikiran yang tak karuan, sembari gemetar menggenggam telepon aku coba menghubungi keluarga satu per satu, namun karena memang tengah malam hingga begitu sulit dihubungi, sejenak aku tinggalkan nenek dan membangunkan kakek yang juga tengah sakit, tentu setelah mencoba tenang agar bisa bertindak tepat.
Tak berselang lama panggilan masuk berbunyi, segera aku angkat untuk menceritakan kondisi nenek dan meminta mamah segera pulang, seakan berpacu detak dan detik bergegas kami berangkat menuju klinik terdekat, selama dalam perjalanan kami hanya memastikan bahwa nenek tetap sadar dan detak nadinya masih ada, sembari terus memastikannya tersadar. Klinik begitu sepi karena sedang berlakunya PPKM, ada dokter jaga yang memeriksa nenek lalu memberikan obat tetapi untuk rawat inap harus swab atau rapid tes terlebih dahulu dan itu menunggu pagi, akhirnya kami pulang sembari mencoba lebih tenang. Besok paginya kami bergegas ke klinik lagi untuk melakukan tes dan dalam satu jam hasil keluar dengan pernyataan “Positif” covid-19, tentu ini mengagetkan membuat kami sekeluarga terpukul karena kondisi kami semua memang sedang sakit dengan gejala covid-19, ini sekaligus menambah kekhawatiran, aku yang menemui dokter mendapat saran untuk isoma. Lagi-lagi aku mencoba tenang, meski kepanikan dan pikiran tak karuan terus beriringan. Aku memastikan semua keluarga isoma, dan membatasi interaksi dengan siapapun.
Seminggu berlalu, kondisi nenek tak kunjung membaik bahkan susah makan, hingga pemberian obat pun kami batasi apalagi keluhan sakitnya area perut dan memang nenek punya riwayat lambung. Aku sadar bahwa penderita covid-19 yang memiliki riwayat penyakit apalagi usia lanjut perlu waktu isoma lebih lama, dan kalau pun harus ke Rumah Sakit situasi PPKM ini menjadi pertimbangan belum lagi hasil tes terakhir masih dinyatakan “Positif” tentu aku dan keluarga membayangkan banyak hal. Tengah malam nenek drop lagi, akhirnya kami ke beberapa klinik untuk memastikan klinik yang bisa menerima rawat inap karena kami di rumah sudah bingung harus bagaimana, Alhamdulillah ada klinik yang menerima, begitu masuk ruangan nenek mendapat bantuan infus, tangan nenek sudah kesakitan oleh bekas jarum infusan yang telah habis beberapa botol sejak masuk tapi kondisinya tak kunjung membaik, setelah 4 hari dokter menyatakan boleh pulang dan Alhamdulillah hasil tes dinyatakan “Negatif” covid-19, ada rujukan untuk nenek ke dokter spesialis dalam di Rumah Sakit besar.
Keputusan ke Rumah Sakit untuk ke spesialis dalam menjadi pertimbangan aku dan keluarga, karena pandemi ini benar-benar membuat kami ngeri. Apalagi jarak antara rumah dan pusat kota terbilang jauh. Beberapa hari di rumah memberikan waktu untuk kami mencari tahu kondisi Rumah Sakit mengatur jadwal dan menyiapkan segalanya, agar tak harus bolak balik dengan pertimbangan lokasi Rumah Sakit yang jauh dari rumah. Ketika semua sudah dipastikan aman kami ke Rumah Sakit dengan penuh persiapan. Benar saja, suasana di Rumah Sakit begitu memilukan, ruang IGD penuh, ada ruang khusus penderita covid-19, ruang tunggu menggunakan tenda pleton, dan suara sirine ambulan lebih sering terdengar dari biasanya. Ruangan kelas 2 dan kelas 3 sudah penuh, Alhamdulillah kami sudah mempersiapkan dan menjadwalkan semua sebelumnya hingga tak lama kami mendapat tindakan dan ruang inap.
Ruang tulif lantai 7 menjadi saksi perjuangan kami berpacu detak dan detik, dalam ruangan pasien hanya boleh dijaga oleh satu orang jadi aku dan nenek menghabiskan banyak waktu berdua di dalam ruangan. Anggota keluarga yang lain bergiliran dan menunggu diluar. Aku merasa beruntung karena memiliki kesempatan berharga bisa lebih dekat dengan nenek, meski kerap kali aku menahan sesak dan isak bila melihat kondisi nenek yang semakin menurun. Hari raya Idul Adha kami rayakan dengan penuh haru pilu, sunyi sepi, dalam ruang rawat inap aku shalat dan munajat lebih khusyuk dari biasanya, hanya satu doa dan harapan yang aku panjatkan adalah kesembuhan nenek.
Seminggu di Rumah Sakit, hasil CT scan keluar dan dokter mengatakan bahwa nenek mengidap kanker yang sudah menyebar. Aku seakan tertampar detik itu, berjuang tenang dalam kepanikan. Segala upaya untuk memperjuangkan kesehatan nenek aku coba konsultasikan dengan dokter, semua cara dan konsekuensinya. Aku adalah orang pertama yang mengetahui semua, maka aku pula yang dituntut keadaan untuk bisa jauh lebih tenang agar semua keluarga tenang dalam berjuang.
Hari-hari aku dan keluarga semakin tak karuan, dua kali kami sempat kontrol ke Rumah Sakit namun selanjutnya dokter tidak menyatakan apa-apa selain memberikan obat kecuali memang operasi dengan berbagai kemungkinan yang sudah kami bicarakan sebelumnya karena mengingat kondisi nenek yang lemah.
Nenek menghembuskan napas terakhir tepat pukul 01.00 WIB sesaat setelah mengucapkan kalimat syahadat, InsyaAllah Almarhumah husnul khatimah disaksikan keluarga dan beberapa orang yang terus mendampinginya sembari membacakan ayat suci Al-Qur’an karena nenek benar-benar drop setelah Magrib. Aku sendiri semalam itu tak sadarkan diri, pingsan beberapa kali, terus menangis histeris semalaman, bayangkan saja selama kurang lebih 50 hari kami berdua benar-benar berjuang berpacu detak dan detik, aku bahkan seakan hampir kehilangannya beberapa kali lalu saat ini ketika mimpi buruk itu benar-benar terjadi aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Almarhumah selalu berpesan bila ia telah tiada maka aku tak boleh menangisinya, ia hanya berharap doa dan dibacakan Al-Qur’an terutama Yasin. Maka, saat aku ingat pesannya aku bisa jauh lebih tenang, bahkan sempat memandikan untuk terakhir kalinya dan aku tak mampu lagi menangis separah semalaman itu, aku menghantarkan ke pemakaman dengan kondisi tenang bahkan orang-orang yang menjaga aku pun mungkin turut merasakan ikhlas yang aku perjuangankan, karena aku hanya ingin nenek lebih tenang dan lebih bahagia di alam keabadianNya.
Photo by Jake Thacker on Unsplash