Pulang

Oleh: Tyasya

Aku sudah lama tidak pulang ke rumah orang tua yang ada di Kebumen. Biasanya, setahun sekali kusempatkan menengok ibuku di sana. Entah saat lebaran atau liburan sekolah.

Pernah dalam satu tahun, aku pulang dua kali. Namun, itu hanya sekali terjadi. Karena aku pun harus memikirkan biaya yang dikeluarkan jika pulang. Apalagi, anakku kini sudah dua orang. Jangan sampai demi pulang kampung, ketika kembali ke Jakarta tidak ada biaya untuk hidup.

Setiap kali pulang, aku sekalian check up ke Yogyakarta. Sambil menyelam minum air. Boleh dibilang begitu.

Sebenarnya, ibuku selalu mengatakan, “Ora popo nek ora isa mudik. Sing penting pada sehat kabeh¹.”

Aku setuju dengan itu, tetapi ada rasa yang hilang jika aku tidak pulang. Bahkan pernah suatu kali, saat aku memutuskan tidak akan pulang, entah bagaimana akhirnya pulang juga. Allah SWT seakan memberiku kemudahan setiap aku akan pulang.

Semua itu menjadi berbeda sejak adanya virus korona. Dua tahun aku tidak bisa pulang. Mau naik kereta, anak-anak tidak bisa (saat awal pandemi). Naik bus? Duh, tidak sanggup duduk begitu lama.

Pernah diajak pulang naik mobil bersama kakak.

Ora usah lah, Mas. Mbok nang dalan dikon swab. Ora duwe duit nggo bayar denda²,” kataku.

Benar, sejak pandemi memang keuangan keluarga tidak setahan dulu. Karena itulah aku selalu menahan diri meskipun rindu sudah menggelayuti hati. Tahun 2020 itu, untuk pertama kalinya aku tidak pulang.


Pada tahun 2021, vaksinasi mulai digencarkan. Sebagai seorang guru, tentunya aku diharuskan untuk vaksin. Ada banyak pertimbanganku soal hal itu.

Dulu, aku pernah divonis menderita carsinoma sel squamosha. Sejenis kanker kulit yang menyerang rahang. Semenjak itu, setiap kali aku akan disuntik vaksin, pasti bertanya dulu kepada dokter yang pernah merawatku. Entahlah, aku hanya merasa takut sesuatu yang asing dan masuk ke dalam tubuhku bisa memicu hidupnya sel kanker itu lagi.

Aku pun menanyakannya kepada pihak puskesmas, apakah aman? Jawaban yang kudapat, “Bawa surat rekomendasi dari dokter, ya, Bu.”

Oke. Aku mulai berhitung. Biaya akomodasi, CT Scan, rontgen, dan sebagainya.

Hmmm … lumayan juga,” pikirku.

Aku mengungkapkan keberatanku saat itu hingga akhirnya vaksin ditunda.

Waktu pun berlalu. Situasi mulai kondusif. Aku mulai merasa tidak nyaman soal status vaksinasiku. Sekolah sudah akan mengadakan tatap muka terbatas. Vaksinasi guru, siswa, dan tendik tentu menjadi salah satunya.

Aku mencari informasi, apakah dokterku itu menerima telemedicine. Agar aku tidak perlu ke sana. Namun, ternyata tidak bisa. Mau tidak mau aku harus ke sana.

Aku mulai memutar otak, bagaimana caranya bisa ke sana. Karena untuk naik kereta, aku harus punya surat keterangan belum bisa vaksin. Sedangkan dokter yang menanganiku ada di Yogyakarta.

Padahal aku sudah mendaftar secara online di RSUP Dr. Sardjito. Bahkan sampai bertanya, “Dok, kalau sana ke sana untuk minta surat layak vaksin tanpa membawa hasil lab dan radiologi apa bisa?”

Pokoknya demi surat itu, aku seperti tidak punya malu mengakui kalau uangku tidak cukup untuk melakukan semua tes. Ketika aku menerima jawaban bisa, rasanya sungguh plong. Lega sekali.


Aku mulai mencari informasi, di rumah sakit daerah mana yang bisa untuk mendapatkan surat keterangan belum vaksin. Di saat aku belum menemukannya, sampailah sebuah undangan pernikahan di meja kerjaku. Salah satu teman guru yang kebetulan satu kampung halaman denganku akan menikah.

Awalnya, ajakan untuk datang ke sana kuanggap hanya guyon semata. “Ah, masa iya pada mau ke sana. Kan jauh banget,” pikirku.

Mungkin ini adalah salah satu cara Allah SWT meringankan biaya yang harus kukeluarkan. Rencana itu ternyata benar adanya. Alhamdulillah, separuh biaya perjalananku berkurang sudah. Setelah kepastian itu, aku pun bisa mendapatkan surat keterangan belum vaksin dari RSUD Kemayoran dengan biaya yang cukup murah.

Masya Allah … kepulanganku kali ini begitu dimudahkan. Aku sama sekali tidak menyangka, tahun ini bisa pulang dan bertemu Ibu. Meskipun hanya sendiri, tanpa suami dan anak-anakku karena pertimbangan biaya.

Penantian yang berbuah manis. Apalagi kemudian, aku bisa menjalani vaksinasi dan tidak menjadi batu sandungan untuk proses PTMT (Pertemuan Tatap Muka Terbatas). Karena tepat saat aku divaksin dosis pertama, dinas meminta data vaksinasi semua guru dan tendik. Alhamdulillah.


Photo by Gading Ihsan on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *