Proses Pendewasaan

Oleh: Dwayne

Jalannya terlihat pelan, nafasnya ngos-ngosan. Keringat terlihat mengalir menganak sungai di keningnya. Perutnya yang besar membuat gerakannya lebih lambat. Sesekali dia berhenti untuk mengambil nafas dan melihat anak kecil yang ada di gandengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk menarik kopor.

Sofia adalah seorang ibu muda. Hari itu, dia terlihat lebih bersemangat. Harapan untuk tinggal dan menata masa depan bersama dengan suaminya akan segera terwujud. Ini adalah usahanya untuk bertemu bapak dari anak-anaknya yang sedang bertugas di seberang pulau.

“Ibu, mana Bapak?”

“Bapak masih kerja, Nak. Nanti Bapak akan menjemput kita di bandara tujuan sana.”

Sofia paksakan senyum yang lebar untuk membuat anak kecilnya semangat dalam perjalanan itu. Dia berusaha membuat si kecil nyaman. Padahal, dia sendiri terlihat kewalahan dengan perut, kopor, dan anak kecilnya yang masih balita.

Akhirnya, proses check in selesai dan sekarang mereka menuju ke ruang tunggu bandara. Sesekali, ibu hamil itu terlihat meringis menahan kontraksi di perutnya. Kalau capek, janin di perut memang sering protes dan menegang, bahkan kadang ikut aktif bergerak. Masa-masa hamil tua, perut akan mencapai besar yang maksimal, mendesak sistem pernafasan si ibu sehingga menjadi pendek dan mudah lelah.

Suara dering telpon berbunyi dari arah saku Sofia. Rupanya suami Sofialah yang memanggil. Setelah mengucapkan salam, raut wajah Sofia berubah menjadi tegang.

“Kok bisa sih, ini kan kali pertama saya ke pulau situ.”

“Ini sudah tugas, Dik. Nanti kunci rumah aku titipkan ke tetangga sebelah kiri ya.” Suara bariton pak suami memaksa Sofia diam dan menurut. Tidak ada solusi lainnya, karena sudah terlanjur basah. Tidak sampai lima belas menit lagi, pesawat akan boarding. Dia hanya dapat beristighfar dalam hati dan berusaha menerima kenyataan, mengikuti solusi yang tiba-tiba terlintas di benaknya.

Kabar tersebut langsung membuat semangat Sofia memudar. Sesekali. dia meringis memegangi perutnya. Sepertinya air minum tidak bisa meredam kegundahan hatinya. Kekuatan yang membara tadi langsung redup dan tiba-tiba kelelahan lahir dan batin dia rasakan. Beban di pundaknya semakin berat.

Hamil besar, membawa balita lalu berbekal alamat yang dia sendiri tidak paham. Suaminya tiba-tiba mengabarkan kalau harus segera ke pulau lain karena ada staf diplomat yang sedang berwisata, berlayar bersama keluarganya. Anggota keluarganya tidak kembali ketika diving di pulau sepi tersebut. Staff tersebut dibawah pengamanan suami Sofia.

Ini bukan pertama kali ada kabar yang harus Sofia telan begitu saja. Sudah sering kali kondisi genting tiba-tiba terjadi, dan membuat suaminya harus lebih mengutamakan pekerjaan yang merupakan kewajibannya. Hal tersebut membuat jiwa sang istri semakin hari semakin kuat. Akan teta[I, dia tetap wanita biasa yang punya rasa kaget.

Tak terasa ujian ini semakin membuat Sofia kewalahan. Dia sudah payah membawa beban di perutnya yang besar, ditambah anak balitanya yang juga sesekali minta di pangku, dibelai, dan dimanja. Yang paling membuat jiwanya sakit, dia pergi ke pulau yang belum pernah dia kunjungi dengan berbekal alamat, mencari rumah yang ditinggali suaminya sendiri.

Pesawat yang ditumpangi Sofia dan si kecil sudah landing di kota tujuan. Setelah ambil bagasi, mereka menuju pintu keluar dan memesan taksi. Taksi melaju, membelah kota yang asing bagi ibu hamil itu. Melewati jalan tol dengan kanan kiri gudang-gudang yang sepi. Lalu sungai dan rawa-rawa membuat ibu yang sudah payah ini makin menciut nyalinya.

“Pak, Apa alamat yang saya tunjukkan tadi masih jauh?”

“Iya Bu, masih sekitar setengah jam lagi.”

Pembicaraan dengan sopir taksi itu tidak membuat hati Sofia lebih baik. Dia masih mengerutkan dahinya. Mulutnya komat-kamit membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Terlihat jelas kekawatirannya akan perjalanan itu. Taksi yang membawanya serasa berjalan lambat sekali. Padahal, itu sudah kecepatan normal. Hati ibu muda itu saja yang membuat waktu serasa tidak berjalan.

Akhirnya, alamat yang dituju sudah ketemu. Rumah bercat putih dengan pagar tinggi dua meter. Setelah membayar ongkos taksi, ibu hamil itu memencet bel tetangga rumah tersebut. Keluarlah seorang ibu berusia lima puluhan yang sangat ramah menyapa Sofia. Setelah memperkenalkan diri, akhirnya ibu tua tersebut menyerahkan kunci rumah yang ditempati suami Sofia.

Bunyi klik suara kunci rumah terdengar. Si kecil yang dari tadi takut-takut segera menghambur ke dalam dan duduk di sofa yang empuk di ruang tamu tersebut. Sofia juga duduk pelan-pelan. Setelah nyaman, dia melihat kakinya. Pantas saja rasanya seperti mau meledak. Pelan-pelan ia menaikkan kakinya di sofa. Dia meringis karena kakinya yang sangat bengkak karena perjalanan.

Setelah lima menit duduk, dia beranjak memeriksa kamar. Matanya menelisik setiap sudut dan mengenali baju-baju, kaos, dan sepatu suaminya. Rasa syukur meski belum bertemu dengan pemiliknya, dengan mendapati bajunya membuat air matanya sulit dibendung. Benar, kali ini dia lulus dalam ujian kedewasaan. Dia selalu bisa mengambil hikmah dari sebuah tanggung jawab yang tiba-tiba harus dia pikul sendiri, membuatnya menjadi istri dan seorang ibu yang tidak akan menangis hanya karena jauh dari suaminya.


Photo by Square Lab on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *