Pesan Di Balik Kisah

Oleh: Riyan Suatrat

Tak ada yang istimewa dalam hidupku. Aku adalah perempuan biasa yang tidak punya prestasi luar biasa. Benar-benar tipikal perempuan pada umumnya. Namun, di antara semua hal yang biasa-biasa itu terselip beberapa peristiwa “luar biasa”.

Sampai di sini aku merasa hal-hal “luar biasa” itu terlambat datang di hidupku. Pertanyaan seputar keterlambatan datangnya hal-hal luar biasa itupun semakin getol mampir di otakku.

Mengapa baru sekarang aku berani mengambil keputusan untuk kuliah? Mengapa baru sekarang aku berkenalan dengan dunia kerelawanan? Mengapa baru sekarang aku menemukan “passionku”? Mengapa dulu aku tidak berusaha lebih keras untuk memperbaiki hidupku?

Mengapa dan mengapa-mengapa lainnya terus bermunculan di otakku. Tak jarang muncul penyesalan hingga akhirnya marah pada diri sendiri. Seandainya dari dulu aku begini atau begitu. Seandainya dulu aku melakukan ini dan itu mungkin hidupku akan lebih baik.

Ah semakin aku berandai-andai maka perasaanku semakin tertekan dan hatiku semakin gelisah. Sesekali aku mendapati diriku cemas mengingat semua itu. Mungkin pada saat itu iblis sedang berbisik di telingaku meniupkan rasa was-was dan khayalan tinggi dengan rayuan mautnya, “Jika saja dulu engkau melakukan ini maka engkau akan seperti ini”. Ah aku jadi takut berburuk sangka pada Allah.

Memasuki masa pandemi kedua—aku menyebut 2021 demikian—aku dihadapkan pada keadaan di mana aku harus hidup dengan pemasukan pas-pasan. Benar-benar hanya cukup untuk bayar kost (450 ribu) dan akan tersisa dua ratus lima puluh ribu rupiah. Jangan ditanya bagaimana kami (aku dan mama) hidup selama sebulan.

Waktu berlalu dan aku mendapat kesempatan menjadi fasilitator yang mana aku mendapat honor dari sana. Aku benar-benar bersyukur meskipun momen ini hanya untuk empat bulan saja. Dalam kurun waktu itu mama harus menjalani operasi katarak. Walaupun menjadi anggota BPJS, tetap saja ada obat-obat yang harus kami beli sendiri. Perawatan setelah operasi juga tidak ditanggung BPJS. Oleh karena itu kami harus mengusahakannya sendiri. Dengan honor tersebut semua kebutuhan itu dapat terpenuhi.

Aku selalu menghibur diriku dengan meyakinkan bahwa tidak semua rejeki datang dalam bentuk materi (uang). Ada banyak hal indah yang Tuhan hadirkan sebagai ganti atas kemalangan yang aku alami.

Selain kesempatan menjadi fasilitator itu aku juga menyadari kehadiran rekan-rekan kerjaku yang sungguh membuatku merasa dihargai dan didengarkan.

Namun, sayangnya tahun depan (2022) semua temanku resign. Semuanya. Aku akan sendiri menjalani pekerjaan dengan orang-orang baru yang entah seperti apa karakter mereka. Apakah aku akan berhasil menjalin chemistry dengan mereka—laiknya aku dengan rekan-rekanku terdahulu—ataukah aku akan gagal dan semakin terpuruk dalam keadaan yang dari awal memang sangat jauh dari nyaman.

Takut? Ya iyalah. Cemas? Banget. Seperti apa wajah 2022 nanti dengan keadaan tempat kerja yang semakin tidak kondusif? Baru kali ini aku kalut memasuki tahun baru. Aku bukan orang yang suka membuat resolusi tahun baru. Tidak ada rencana-rencana khusus yang harus aku jalani. Biasanya semua berjalan mengikuti arus saja.

Dan kali ini—di akhir tahun ini—aku membuat beberapa rencana aktivitas dan sikap yang harus aku jalani. Mempersiapkan resolusi mental agar bisa bertahan di lingkungan tempat kerja hingga bulan Juni mendatang. Yap pada Juni 2022 nanti masa kontrakku berakhir.

Aku tak pandai membaca tanda-tanda alam atau sebuah peristiwa. Yang aku tahu saat ini aku harus mempersiapkan diri memasuki tahun yang baru dengan segala kejutan yang menantiku di dalamnya. Semua yang terjadi pada 2021 sudah pasti memberi pelajaran dan hikmah dalam hidupku. Suka cita maupun air mata yang menghiasi tahun ini suatu saat akan memberi banyak penghiburan dan pengalaman untukku di masa depan.


Photo by Claudio Schwarz on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *