Oleh : Nining Handajani
Setiap hari, pukul tujuh pagi, selalu aku menerima pesan “Assalamualaikum, selamat pagi, salam sejahtera. Apa kabar kalian semua? Semoga kita senantiasa diberi kesehatan dan dimudahkan segala urusan. Tetap sabar dalam menghadapi segala perubahan dan cobaan. Jangan pernah menyerah, tetap semangat”. Tanpa jeda, bahkan hari liburpun selalu aku menerima pesan yang sama. Membosankan, kalimat yang sama dan sudah terkirim kemana saja. Saat tertentu aku hanya membalas dengan emoticon, tetapi ada kalanya aku membiarkannya begitu saja. Walaupun demikian aku tahu tata krama dan sopan santun sehingga seringkali masih berusaha menjawab “Waalaikumsallam, terima kasih, doa yang sama untuk bapak dan keluarga”. Pesan itu dikirim oleh mantan pimpinanku kepada seluruh mantan karyawannya. Tidak dikirimkan melalui grup yang dibuat oleh dirinya sendiri setahun yang lalu, tetapi Bapake…iya kami menjulukinya Bapake, selalu dikirimkan satu persatu secara pribadi.
Selama hampir lima belas tahun bekerja di perusahaan distributor ternama, aku mengalami kepemimpinannya hanya empat tahun saja. Empat tahun yang membuat emosi karyawannya naik turun seperti roller coaster. Gaya kepemimpinannya yang keras, tegas, cenderung arogan tetapi mampu menyelesaikan banyak masalah, bahkan meningkatkan omset perusahaan. Kantor pusat yang berkedudukan di Malaysia, selalu memberikan sanjungan. Bagaimana mungkin tidak memberikan nilai plus pada kepemimpinan Bapake?, keuntungan yang dihasilkan berlipat ganda. Seluruh karyawan antara suka dan tidak suka mencoba bertahan seperti aku. Hampir semua alasan kami sama, memenuhi kebutuhan hidup. Departemen marketing serasa dikuras habis-habisan, selalu dimotivasi setiap hari, bahkan kata-katanya sedikit kasar dan culas tanpa kenal ampun. Empat tahun lamanya, pergerakan posisi manajer dan karyawan keluar masuk bergantian tanpa kendali. Tidak ada istilah lembur, yang ada hanyalah loyalitas tanpa batas pada perusahaan. Pernah suatu kali seorang satpam senior, datang terlambat dengan alasan merawat istrinya yang sedang sakit. Dengan lugas Bapake berucap “Kamu harus bayar orang untuk merawat istrimu, sehatkan, sembuhkan. Biar tidak mengganggu kerjaanmu. Bagaimana mungkin kamu bisa konsentrasi bekerja? Apa kamu tidak ingin berkembang? Atau memang kamu hanya ingin pensiun dengan gaji satpam?”. Kami tertunduk, mendengarnya dengan rasa emosional. Mungkin maksudnya baik, tetapi kalimat-kalimat yang dipilih cenderung kasar dan melukai hati pendengarnya. Departemen sumber daya manusia sebagai wadah berbagai permasalahan karyawan, melempem, tidak sekalipun berani menjembatani bijaksana antara karyawan dengan segala kebijakan Bapake. Hingga Bapake dipindah tugaskan memimpin cabang di luar pulau. Pada acara perpisahan, Bapake berucap “Saya keras kepada kalian semua, saya tegas kepada kalian semua, karena saya tidak ingin kalian lembek, sedikit-sedikit mengeluh. Kalian harus kuat, kedepannya nanti hidup akan semakin sulit lagi persaingannya”.
Bagaimana dengan keluarganya? Istrinya cantik, sangat pendiam bahkan terkesan aristokrat dan anggun. Anaknya empat orang, hanya si sulung satu-satunya perempuan. Cara mendidik anak-anaknya pun hampir sama dengan cara memperlakukan karyawan di perusahaan. Sangat keras, lantang cara bicaranya, kalimat yang diucapkannya kasar walaupun permasalahan yang terjadi dalam keluarga selalu tuntas terselesaikan.
Hampir tiga bulan ini, aku tidak lagi menerima pesan singkat dari Bapake. Amanlah, sedikit melegakan, tetapi kami semua dalam grup mulai saling mengirimkan pesan secara pribadi. Mulai merindukan pesan yang sama setelah rutin menerima hampir satu tahun lamanya. “Tumben ya, Bapake ngak kirim pesan”. Beberapa teman mencoba mengirimkan pesan pribadi “Apa kabar Bapak?”, tetapi tidak kunjung mendapatkan balasan. Hingga suatu hari seorang teman mengabarkan kondisi Bapake saat ini. “Bapake sakit, kondisinya kurang stabil, tetap dirawat di rumah oleh perawat”. Kami pun bertanya “Bukankah anak-anaknya sukses menjadi dokter semua?”. “Itu dia, aku baru tahu ternyata sudah lebih dari satu tahun ini Bapake hidup sendiri. Bapake dan istrinya tidak bercerai, tetapi ibu dan anak-anaknya meninggalkan Bapake karena mereka sudah tidak tahan dengan perlakuan Bapake. Kalian tahu nggak? Anak-anaknya belum ada yang menikah. Bapake melarang menikah sebelum mereka menjadi spesialis, yang mbarep dan kedua kan sudah spesialis, itu saja masih dilarang menikah sebelum mampu punya rumah sendiri”. Mulailah kami nostalgia, bercerita apa saja yang terjadi saat kepemimpinan beliau.
Ketika kehormatan, kekayaan, kesombongan dan arogan menjadi kekuatan. Hampa dan kesepian akan menjadi sebuah penantian. Akhirnya kami sepakat meluangkan waktu berkunjung, pada liburan panjang beberapa waktu yang lalu. Walaupun ada yang keberatan, ada pula yang tidak berminat, tetapi rata-rata kami bersyukur pernah mendapatkan tempaan keras dari Bapake yang menyebabkan sebagian besar dari kami memiliki jiwa tahan banting, bahkan beberapa orang telah menduduki posisi top manajer hingga direktur walaupun tidak lagi bekerja di perusahaan yang sama. Permintaan teman-teman yang tinggal di luar kota sepertiku, sepakat Hari Sabtu hingga Minggu, sekalian berakhir pekan bersama keluarga. “Innalillahi wa innailaihirojiun, telah berpulang Bapak…”. Aku membaca pesan di grup perlahan. Tidak akan ada lagi yang mengirimkan pesan tepat jam tujuh pagi kepadaku. Kutuntun koperku perlahan, teman-teman berjanji akan menjemput di bandara. Hari itu bertepatan dengan kesepakatan kami untuk menjenguk Bapake di rumahnya. Hari dimana kami juga akan segera mengantarkan Bapake ke persemayaman terakhirnya.
roller coaster : wahana permainan berupa kereta yang dipacu dengan kecepatan tinggi dengan jalur rel khusus
emoticon : sebuah simbol yang biasanya dipergunakan untuk menggambarkan ekspresi wajah manusia yang mengandung emosi atau perasaan dalam bentuk pesan atau tulisan
mbarep : anak tertua
Photo by Andrea Natali on Unsplash