Oleh: Meiliana
Menurutku, aku terlahir dari keluarga yang kualitas pendidikan agamanya baik. Mereka mengajarkan bahwa, agama itu tembok pembatas agar kami tetap berada di jalur kebaikan. Hanya masalahnya, yang mereka ajarkan sangat kaku. Mereka tidak menyiapkan jawaban lain. Jika Al Qur’an bilang dosa maka dosa dan akan masuk neraka.
Sewaktu aku kecil, mungkin bisa diberi doktrin seperti itu. Namun saat aku besar, kenyataan berbeda. Wujud dari pengaruh setan bermacam-macam. Banyak hal yang terkesan jadi tanggung. Masih banyak yang kuingat jawaban ibuku yang mengambang. Perkara masuk neraka atau surga tidak hanya berkutat di sholat dan ngaji. Masuk di segala lini kehidupan. Bahkan, bagaimana cara kita menghabiskan harta yang kita dapat pun ada aturannya.
“Kenapa kita harus sholat?” Tanyaku pada ibuku waktu kecil.
“Husss! Kamu kok, tanya begitu?! Itu perintah Allah! Kamu wajib sholat dan ngaji! Kalo gak ngerjain, mati masuk neraka! Mau emang?” Cerocos ibuku dengan nada sedikit tinggi. Layak harga dirinya baru disinggung.
Sekarang, aku dihadapkan pada anak-anakku yang lahir di jaman yang jauh berbeda denganku dan pastinya akan dewasa di jaman yang berbeda denganku. Mereka tidak bisa hanya dengan doktrin. Mereka butuh alasan kuat dalam menjalani sesuatu. Secara tidak sengaja memaksa aku untuk menjadi orang yang lebih baik dan pintar. Tantangan baru!
Suatu hari, di siang hari yang cerah, anakku yang pertama bertanya, “Ma, aku boleh pindah agama gak?” Ujarnya dengan wajah polosnya. Tanpa beban.
Seketika terasa kosong di kepalaku. Ringan sekali. Mungkin kalau bahasa anak sekarang tuh, nge-blank. Gimana tidak?! Usianya baru menginjak 8 tahun. Tapi pertanyaanya seperti orang yang sudah lelah menjalankan ibadah sekian lama dan menyadari ada yang tidak sesuai dengan hati. Alhamdulillah, aku tidak merasa tersinggung, marah, atau kesal. Tapi, cukup bikin aku mengeluarkan nafas lewat mulut sambil monyong sedikit. Pyuuuhh!
Apa kata yang harus ku keluarkan? Bingung bin bingung. Di google ada tidak ya… Hatta masih duduk dengan wajah yakin (akan kecerdasan ibunya) di hadapanku untuk menunggu jawaban. Selama ini, ku jalankan ibadah berawal dari kebiasaan.
Tidak pernah terpikir apa yang akan terjadi nanti. Sama seperti slogan NIKE, “just dont it”. Aku dekatkan tubuh ini dengannya. Saling bertatapan. Mataku sejajar dengannya. Maka kutanya kembali dirinya, ” Kakak, kenapa?” Hatta diam. “Kakak capek setiap hari harus sholat lima kali dan ditambah harus ngaji juga? Puasa juga?” Hatta pun langsung mengangguk mantap!
Hatta kuajak duduk di lantai. Aku duduk di depannya. Sambil aku berpikir. “Mmm… Gini ya… Hatta. Sholat dan ngaji adalah aturan yang harus kita jalani saat kita memilih agama Islam menjadi pedoman hidup. Setiap agama punya aturan. Agama apapun! Agama Kristen harus setiap minggu ke gereja. Budha harus ke klenteng. Hindu harus ke dataran tinggi untuk bertemu dengan para dewa… ” Cerocosku.
Kulihat wajahnya masih merasa ragu akan jawabanku. Kalau ada level-level-an. Ini bingung udah level 35. Tarik nafas yang dalam terus dikeluarkan sedikit demi sedikit. Tetap sambil berpikir. Pyuh, tetap tidak ketemu jawabannya.
“Kak, di dunia ini ada banyak kepercayaan dan agama. Tapi, semua itu punya aturan masing-masing yang harus dijalani oleh siapapun pemeluknya,” ujar suamiku yang ikut membantu.
Wajah anakku masih dalam kebingungan. Dilemparkan pandangan ke langit-langit. Kemudian, Hatta melihat ke arah kami. Dan bertanya, “Jadi, kalo pindah agama Kristen ada shalatnya dan ngajinya juga?”
“Iya!” Jawab kami bersamaan. “Hanya cara ibadahnya nggak sama persis,” lanjutku dalam keraguan.
Kepala Hatta manggut-manggut. Mungkin ada yang dia pahami. Kuharap juga begitu. Doaku sampai mati kami tetap dalam iman Islam. Wajar jika masih anak-anak malas ibadah.
Sekarang, dia lebih mengikuti arus. Kayaknya, mulai menikmati. Saat dirinya diberi kesempatan untuk azan, jadi ada semangat baru.
Jauh sebelum azan tiba, sudah mengajak shalat di masjid yang letaknya cukup dekat dari rumah kami Tujuannya, agar ditunjukkan untuk azan.
Photo by Masaaki Komori on Unsplash