Mencari Hikmah di Pelupuk Mata

Oleh: Luluk Sobari

Mari lupakan tanggal dan bulan. Setidaknya kejadian yang akan saya ceritakan ini masih terjadi dalam tahun 2021 awal. Ketika kasus covid tiba-tiba merebak di Kabupaten Bangkalan. Secara cepat statusnya langsung berubah jadi merah.

Di jalur menuju jembatan Suramadu bagian arah ke Surabaya. Saya terjaring razia tes swab massal bersama kakak perempuan saya. Namanya Hikmah dan saya memanggilnya Mbak tanpa pernah menyebut namanya. Jika sedang berbicara langsung.

“Duh Luk, gimana ini?” Mbak Hikmah ketakutan saat kami turun dari motor dan diminta menuju ke lokasi tes swab antigen. Macam orang yang ketakutan kena razia Polantas karena tidak membawa SIM.

Saya pribadi tidak ada perasaan takut atau khawatir sedikit pun. Sudah sejak lama saya menyadari, tak ada lagi yang bisa menghindari covid ini. Maka siapapun harus siap jika sewaktu-waktu virus ini menyerang.

Kesiapan saya bukan ada secara tiba-tiba. Sebelumnya saya termasuk orang yang juga parno terhadap penyakit ini. Menonton berita tingkat infeksi dan kematian gegara covid ini bahkan bisa membuat dada saya tiba-tiba terasa sesak.

“Ya gak gimana-gimana Mbak,” jawab saya singkat. Lalu saya mengajak Mbak Hikmah agar cepat-cepat mengikuti petugas yang membawa kami.

Swab Antigen Pertama

Saya dan Mbak Hikmah mendapat meja tes yang berdampingan. Kami duduk di kursi plastik menghadap ke utara. Posisi saya di sebelah kiri dan posisi Mbak Hikmah di sebelah kanan. Di depan kami masing-masing ada sebuah meja kayu. Di atasnya terlihat beberapa alat tes swab antigen.

Di depan kami masing-masing juga ada dua orang petugas kesehatan yang memakai APD lengkap. Ah, saya tidak bisa membayangkan bagaimana gerahnya mereka menggunakan pakaian itu sepanjang hari. Mengingat cuaca di Madura sedang panas-panasnya dan Madura sendiri memang daerah yang terkenal panas.

Hasil tes swab antigen Mbak Hikmah keluar lebih dulu. Matanya terlihat berbinar-binar saking bahagianya. Sementara saya masih harus menunggu lebih lama. Saya tak tahu kenapa bisa lama. Padahal waktu pelaksanaan tes hampir bersamaan.

Setelah menunggu hampir 10 menit, keluarlah hasil tes swab gen saya. Dan… saya dinyatakan positif covid-19. Saya tidak diperkenankan pulan dan harus langsung menuju Rumah Isolasi OTG di dekat pintul tol jembatan Suramadu. Sungguh, saya ingin ganti nama menjadi Hikmah saja. Agar saya bisa lolos dari razia swab massal ini.

Lah kok jadi seperti menyesal begitu? Katanya tadi udah siap jikapun harus terinfeksi Covid-19.

Tak Pernah Benar-Benar Siap

Saya tak pernah benar-benar siap tertnyata. Apalagi mengetahui kenyataan jika tempat isolasi tak sesuai ekspektasi. Kamar mandi yang kotor dan bercampur antara laki-laki dan perempuan. Aliran air di toilet yang terlalu kecil sampai pernah mati di siang hari.

Saya tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Apakah ide razia tes swab massal tak dibarengi dengan ide penyiapan tempat yang lebih layak? Atau memangkah karena orang yang terinfeksi covid-19 di Kabupaten Bangkalan sudah membludak. Tapi sudahlah jangan berfokus ke sana sebab akan ada perdebatan yang sangat panjang.

Mungkin saya hanya perlu mencari hikmah di balik apa yang saya alami. Sebab Mbak Hikmah sudah pulang dan saya sudah masuk Rumah Isolasi OTG. Begitu pikir saya waktu itu.

Satu yang mungkin menjadi penyebab kenapa saya tiba-tiba mengeluhkan apa yang terjadi. Sebelum dinyatakan terinfeksi covid-19 saya sudah membuat beberapa rencana. Tapi rencana itu harus tertunda lantaran saya tak akan bisa memulainya segera. Sementara saya sudah amat sangat terburu-buru untuk mengerjakannya.

Mencari Hikmah di Pelupuk Mata

Di hari ketiga, saya akhirnya dipindahkan ke tempat isolasi yang lebih di layak di pusat kota Kabupaten Bangkalan. Setidaknya di sana saya tidur di atas kasur dan kamar mandi lebih layak untuk dipakai. Air pun tersedia penuh sehingga saya bisa bersih-bersih diri dengan leluasa.

Di posisi ini saya sudah memutuskan untuk menerima saja apa yang terjadi. Rasanya saya perlu berdamai dengan diri. Saya anggap Tuhan sedang memberikan saya waktu untuk istirahat sebentar dari segala ambisi. Sambil lalu mengevaluasi apa saja yang sudah saya lalui.

Apa-apa memang perlu dicari hikmahnya bukan? Tapi hikmah tak selalu bisa terlihat langsung oleh mata. Hikmah ada mata uangnya. Dan mata uang itu adalah syukur, penerimaan, dan pembelajaran. Tanpa ketiganya Hikmah tak akan pernah terlihat dan terasa keberadaannya. Betul?


Photo by soula walid on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *