Oleh: Widyaningsih
Demi waktu yang terus berjalan maju
Terus pergi dan tak pernah Kembali
Aku tidak mau merugi
“Mah, pak Erwanto itu yang di gang belakang kan ya? Yang lagi isolasi mandiri?” tanya suami padaku yang tengah membereskan mainan anak-anak.
“Iya. Kenapa, Pah?” sahutku.
“Meninggal, Ma. Tadi sebelum subuh,” jawab laki-laki yang sudah membersamaiku selama 15 tahun itu.
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un…” seruku sambil beranjak mengambil benda kotak pipih yang belum aku sentuh dari pagi. Di zaman serba online begini, semua berita tersampaikan dengan cepat melalui pesan di wa grup RT. Ternyata benar, tetangga yang masih satu RT denganku itu meninggal karena Covid-19. Beliau adalah orang baik, dan setahuku tidak punya penyakit bawaan, bahkan aku jarang mendengar beliau sakit.
Berita itu sedikit mengusik ketenanganku. Kami sekeluarga juga sedang melakukan isolasi mandiri karena semua terinfeksi virus itu. Ada ketakutan dalam diri, apakah aku juga akan mengalami hal yang sama? Karena di antara suami dan anak-anakku, aku merasa gejala yang aku alami paling parah. Sampai hari kesepuluh aku masih mengalami demam, batuk dan sedikit sesak napas. Aku sengaja diam agar yang lain tidak khawatir.
Walaupun setiap hari aku sudah menanamkan pikiran positif bahwa aku akan sembuh, kami semua akan baik-baik saja dan menjadi pemenang dalam pertarungan ini, tidak bisa disangkal rasa takut mati itu ada. Apalagi berita kehilangan dan kematian di mana-mana. Teman, sahabat, keluarga, orang-orang terdekat, bahkan tidak melihat usia. Ternyata memang mati tidak harus menunggu tua, hanya menanti saat giliran tiba.
Tiba-tiba terhampar di depan mata, dosa-dosa yang pernah kulakukan. Apakah Allah sudah mengampuni semuanya. Teringat janji-janji yang belum sempat tertunaikan, Ah, ternyata aku sama sekali belum siap menghadapinya. Padahal tidak ada hal yang lebih pasti dari kematian. Dia akan datang tanpa bisa dihindari atau ditinggal lari. Di manapun bila saatnya tiba, dia tetap akan menghampiri.
“Mah, jangan semua obat kamu makan gitu,” tegur suami saat aku sedang menjembreng obat-obatan yang kudapat dari puskesmas. Ada juga beberapa obat herbal kiriman teman, segala macam madu, jahe dan juga bawang putih yang biasa aku makan mentah. Sebegitu senewennya kondisiku saat itu. Aku merasa harus sembuh. Segala hal yang dikatakan orang menyangkut obat Covid, aku upayakan. Aku tidak tahu sudah sampai mana virus itu menyerang. Pada bagian apa dan organ mana yang sudah dilumpuhkan.
Alhamdulillah setelah tiga minggu isolasi mandiri, hasil swab sudah negatif, hanya saja masa pemulihannya ternyata membutuhkan waktu cukup lama. Aku harus terus bersabar, berupaya dan berusaha mencapai kesembuhan paripurna.
Begitu mencekamnya kondisi saat itu. Sekitar Juni-Juli 2021. Saat kasus Covid di Indonesia meledak tak terkira. Kompleks perumahanku berzona merah. Kurang lebih 25 persen warganya terinfeksi Covid-19. Beberapa jatuh menjadi korban, namun lebih banyak juga yang selamat dan bertahan.
Baru kali ini aku benar-benar merasakan syukur tak terhingga saat di pagi hari aku masih terbangun dalam kondisi bernyawa. Menghirup udara bebas tanpa harus membeli. Melihat anak-anak yang tetap riang penuh pengertian, bahkan saat Mamanya tidak sanggup menyiapkan hidangan. Banyak sekali hikmah yang aku dapatkan.
Beruntungnya aku masih memiliki keluarga yang suportif. Banyak sahabat yang tanpa diminta terus mendampingi. Mengirim kebutuhan makan, obat-obatan, melantunkan banyak doa kesembuhan dan tak putus menanyakan kabar setiap hari. Tidak ada alasan lagi untuk aku tidak mensyukuri semua rezeki dan berkah ilahi.
Aku menuliskannya setiap hari. Membagi ceritaku pada dunia, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi sekedar memberi kabar bahwa aku baik-baik saja. Mencoba menyampaikan pesan kebaikan walau hanya lewat goresan kata.
Banyak duka dan kehilangan di tahun ini. Ratusan anak kehilangan orang tua, ratusan suami atau istri kehilangan pasangan hidupnya, dengan tiba-tiba tanpa persiapan sebelumnya. Semua memang sudah takdir yang digariskan. Bahkan sudah dituliskan dari berpulut tahun sebelum bumi dan langit ini diciptakan.
Aku semakin mengerti, sekuat-kuatnya manusia tetap tak kan ada daya di hadapan Yang Maha Kuasa. Lepasnya aku dari peperangan ini, tentu atas kehendak-Nya. Tidak ada yang harus dilakukan selain menjalani kehidupan ini dengan lebih baik lagi. Tuhan masih memberiku kesempatan untuk lebih menyiapkan diri.
Tidak perlu lagi aku membandingkan diri dengan orang lain. Cukup melihatku yang dulu dengan hari ini. Apakah semakin baik atau justru mengalami kemunduran. Aku tidak ingin menjadi manusia-manusia celaka. Karena itulah selalu mengambil pengalaman dan hikmah dari semua kejadian sebelumnya. Aku hanya perlu menjadi versi terbaik dari diriku, tanpa perlu orang lain memvalidasi. Semua yang terjadi pasti yang terbaik menurut Tuhan, walaupun kadang bukan versi yang aku inginkan. Hanya satu yang pasti, Tuhan selalu memberi pada saat yang tepat, tidak akan tertukar apalagi terlewat.
Photo by Arun Anoop on Unsplash