Jelilah Melihat Lingkungan Sekitar

Oleh: Denik

Alam sekitar, lingkungan dan hewan sekitar sebenarnya kerap memberikan tanda-tanda kepada kita. Tentang kondisi yang ada di sekitar. Hanya saja kita seringnya menyepelekan dan abai atas semua.

Hal tersebut terkait dengan musibah atau bencana alam yang menimpa kita. Saya meski bukan tinggal di daerah rawan bencana. Tapi pernah merasakan tertimpa bencana. Yaitu bencana banjir.

Akhir tahun 2019 jelang tahun baru 2020, tempat tinggal saya terkena banjir setinggi pinggang. Ini pertama kalinya mengalami kebanjiran selama puluhan tahun tinggal di sana. Shock pastinya. Tapi sempat menyalahkan diri sendiri juga sih. Karena tidak peka terhadap tanda-tanda alam.

Jadi dini hari saat terjaga dari tidur, saya mendengar suara kucing yang menggaruk-garuk pintu depan. Suaranya meong-meong berisik sekali. Berhubung masih mengantuk maka saya abaikan suara berisik si kucing. Biasanya saya akan membukakan pintu atau mengajak ngobrol si kucing.

Kucing tersebut bukan peliharaan saya. Kucing liar yang sering diberi makan dan main di teras rumah. Jadi seperti kucing sendiri. Nah, sesaat sebelum air bah masuk ke rumah. Kucing tersebut berisik sekali. Seperti mengetuk-ngetuk pintu. Berhubung diabaikan akhirnya si kucing tidak berisik lagi. Suasana menjadi tenang.

Namun usai salat subuh tiba-tiba dari arah kamar mandi ada air yang deras sekali menerabas masuk ke dalam. Tak lama ruangan rumah sudah dipenuhi air. Ya Allah, rumah saya kebanjiran. Tanpa pernah mengalami. Jadi tak tahu mesti bagaimana. Akhirnya barang-barang banyak yang rusak. Pasrah. Hanya itu yang bisa dilakukan.

Bagaimana dengan tahun 2021? Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua rahasia Illahi. Kita hanya menjalani saja. Namun berdasarkan pengalaman sebelumnya. Maka saya mulai peka dengan apa yang terjadi di sekeliling. Agar tidak terulang peristiwa serupa.

Saat perhatikan tanah dan kebun di sekitar rumah dijadikan tempat urugan. Itu loh, tempat pembuangan puing-puing bekas bangunan. Jadi tak saya lihat lagi tanah yang luas tempat anak-anak bermain. Kebun yang luas tempat tempat ibu-ibu memetik daun pisang. Semua diganti dengan urugan puing-puing.

Demi rupiah, tanah dan kebun yang luas dibiarkan berisi puing-puing reruntuhan. Saya yang melihat kondisi tersebut langsung keluar tanduk (emosi). Namun tak bisa berbuat apa-apa. Tanah dan kebun punya mereka. Orang yang disebut sesepuh di daerah tersebut. Siapa yang berani menentang?

Sudah terbayang akan seperti apa rumah saya jika hujan deras. Dulu saja tanahnya belum diurug banjirnya sampai sepinggang. Bagaimana sekarang? Bisa setinggi dada mungkin. Saya putuskan untuk hijrah alias pindah rumah. Namun adik-adik masih ragu. Ntar, sok, ntar, sok. Akhirnya enggak pindah-pindah.

Sampai akhirnya pada suatu hari turun hujan deras lagi. Hanya dua jam. Hasilnya? Air masuk hingga semata kaki. Wah, ini tidak bisa ditolerir. Hanya dua jam sudah banjir. Bagaimana jika sehari semalam seperti dulu lagi. Maka dengan kesadaran penuh saya katakan bahwa kita harus hijrah. Alias pindah rumah. Tidak mudah sih. Tapi insya Allah bisa.

Hal ini menjadi pelajaran penting bagi saya. Jangan mengabaikan tanda-tanda alam dan sekitarnya. Ulah manusia yang sekiranya merusak alam dan ekosistem patut dijadikan alarm alam. Bahwa pasti akan menimbulkan dampak. Jadi mesti siap dengan segala kemungkinan.

Hikmah lainnya, jangan menunda niat baik. Segera mengambil tindakan. Jangan menunggu peristiwa yang sama menimpa kembali. Itu sama saja jatuh di lubang yang sama. Kesalahan sedikit bisa berakibat fatal.

Ketika memutuskan tinggal di suatu tempat. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah kondisi lingkungan sekitar. Jadi jangan asal-asalan. Sebab dampaknya kita juga yang merasakan.

Terkadang kita merasa sudah betah di lingkungan yang lama. Malas beradaptasi dengan lingkungan baru. Malas membereskan barang-barang. Repot kalau pindahan. Capek angkut-angkutnya. Hal-hal demikian yang menjadi alasan malas untuk hijrah. Padahal hijrah ketempat baru dan yang lebih baik. Pada akhirnya semua dikembalikan pada pribadi masing-masing.


Photo by Mika Baumeister on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *