Hikmah Dalam Ketaatan

Oleh: Wulandari

Perjalanan hidup manusia kedepan tidak ada yang tahu, begitu juga dengan takdir, jodoh dan kematian. Sebagai seorang manusia dengan keterbatasan kemampuan, ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah mencoba berbuat yang terbaik serta ikhlas terhadap semua ketentuan yang sudah Allah takdirkan. Banyak kejadian dan peristiwa dalam hidup ini yang tanpa kita sadari ternyata menyimpan banyak hikmah yang justru kita ketahui belakangan, karena kalau yang datang pertama diawal itu namanya bukan hikmah tapi pendaftaran..hehe

Sejak kecil aku termasuk anak yang penurut dan terbilang patuh terhadap orang tua, apa yang menjadi pilihan orang tua tidak pernah aku bantah, begitupun ketika dihadapkan dengan beberapa pilihan yang membingungkan, aku selalu menyerahkan kepada kedua orang tua untuk memilihkan dan menganggap apapun yang menjadi pilihan mereka merupakan hal terbaik yang sudah Allah tetapkan untukku.

Begitupun ketika duduk di kelas 2 (dua) Madrasah Tsanawiyah (setingkat SLTP) di pondok pesantren Ar-Rahmah di kota Curup, provinsi Bengkulu, karena ada beberapa masalah internal yang terjadi di pondok, yang mengakibatkan proses pembelajaran santri waktu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, mendengar kabar dan situasi pondok yang kurang baik tersebut, tiba-tiba orang tua saya datang menjemput dan langsung memindahkan sekolahku ke sebuah pesantren putri yang jaraknya cukup jauh karena beda pulau dan harus menyebrangi lautan untuk sampai kesana, pesantren yang katanya sangat disiplin dalam penggunaan Bahasa Asing Arab dan Inggris, yaitu pesantren putri Al-Mawaddah yang berada di daerah Coper, Jetis, Ponorogo, Jawa Timur. Saat itu aku tidak menolak dan juga tidak banyak bertanya, hanya menurut dan pasrah dengan keputusan orang tua. Dan Alhamdulillah dalam waktu 4 (empat) tahun bisa menyelesaikan dengan baik pendidikan disana hingga ketika pengumuman kelulusan masuk dalam sepuluh besar santriwati berprestasi dari sekitar kurang lebih 200 (Dua Ratus) orang santriwati yang lulus tahun itu. Setelah lulus dari pesantren, aku tidak bisa melanjutkan kuliah sebagaimana teman-teman yang lain, karena mendapat tugas pengabdian dari ibu pengasuh untuk mengabdi dan mengajar di pondok pesantren Sabilul Hasanah yang berada di Palembang, tempat kota kelahiranku. Banyak pengalaman yang aku dapatkan selama proses pengabdian disana, ada perasaan sedih ketika harus meninggalkan pondok pesantren dimana aku mengabdi, meninggalkan santri-santri yang sudah terlanjur akrab denganku, namun cita-citaku untuk kuliah harus tetap lanjut, dimana harapan orang tua besar padaku untuk bisa melanjutkan kuliah yang sempat tertunda selama setahun karena syarat pengabdian ini.

Ketika sudah menyelesaikan masa pengabdian di pondok pesantren Sabilul Hasanah selama 1 tahun, orang tua memutuskan untuk saya melanjutkan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Jakarta menjadi pilihan waktu itu karena menurut orang tuaku (baca:papa), jarak kunjung dari daerah saya yang terpencil Curup-Bengkulu bisa ditempuh dalam waktu sehari semalam saja, tidak jauh seperti sebelumnya ketika saya masih menuntut ilmu dan menjadi santriwati di pesantren putri Al-Mawaddah, orang tua saya butuh waktu sekitar 3 hari 2 malam untuk bisa sampai ke pesantren putri, dimana semua santriwati dari semua kota ada disana.

Oya sedikit kilas balik sebelum mantap memilih UIN Jakarta sebagai kampus tempat saya menuntut ilmu. Pertama kali ke Jakarta, saya yang selalu ditemani papa waktu itu pernah berjuang mengikuti ujian tes masuk SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sekitar tahun 2003, kampus pilihan saya waktu itu adalah Universitas Indonesia (UI) dengan jurusan yang dipilih Bahasa dan Sastra Arab. Karena gagal dan tidak lulus masuk UI, akhirnya papa waktu itu memutuskan untuk saya mencoba mengikuti ujian seleksi masuk UIN Jakarta lewat jalur mandiri yang dibuka oleh Perguruan Tinggi Tersebut, dan pilihan jurusannya tetap konsisten mengambil Bahasa dan Sastra Arab (BSA).

Ada cerita menarik terkait pemilihan jurusan tersebut, Papa saya waktu itu memilihkan jurusan Bahasa dan Sastra Arab karena terinspirasi melihat nilai 9 di raport saya untuk pelajaran Bahasa Arab, padahal selama belajar 6 tahun di pesantren, saya lebih senang belajar dan berbicara Bahasa Inggris dibandingkan dengan Bahasa Arab. “Lulusan sarjana Bahasa Inggris itu sudah banyak nak, kalau sarjana lulusan Bahasa Arab itu masih langka, papa ingin kamu menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan langka tersebut, agar apa yang kamu pelajari nanti memang dibutuhkan banyak orang, namun masih langka SDM-nya”. Ucap papa waktu itu meyakinkanku terhadap pilihan jurusan yang diambil. Setelah berpikir beberapa saat, yang terlintas saat itu hanya keyakinan untuk memilih jurusan yang papa rekomendasikan, meskipun saya sendiri ragu dengan pilihan tersebut, namun saya yakin bahwa ada restu dan ridho Allah lewat pilihan orang tua saya ini, bukankah orang tua adalah perpanjangan tangan orang tua?

Setelah mantap memilih jurusan Bahasa dan Sastra Arab, mengikuti semua tes masuk yang dipersyaratkan, sambil menunggu hasil kelulusan, kami pulang terlebih dahulu ke Curup. Ada keraguan dan juga perasaan was-was ketika masa penantian pengumuman kelulusan itu, perasaan khawatir kalau tidak lulus, akan mengecewakan orang tua, terutama papa yang selama beberapa minggu izin tidak masuk kantor, karena harus menemani saya ikut test masuk perguruan tinggi di Jakarta, belum lagi biaya yang dikeluarkan selama kami berada di Jakarta yang tentunya tidak sedikit. Tak sengaja waktu itu saya mendengar percakapan kedua orang tua yang terpaksa harus meminjam uang ke rekan kantornya untuk biaya keberangkatan kami ke Jakarta waktu itu. “Ya Allah, semoga aku lulus dan diterima kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karena sudah banyak pengorbanan yang orang tuaku lakukan untuk kelulusan ini, jangan kecewakan mereka”, doaku kala itu sambal menangis ketika shalat.

Beberapa minggu menunggu, akhirnya berita kelulusan itu kami terima lewat informasi yang disampaikan oleh kak Tomi, mahasiswa pascasarjana Institut Ilmu Al-Quran yang berasal dari NTB, yang waktu itu pernah membantu kami mencari kosan di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan perasaan lega dan bahagia ku sampaikan berita kelulusan ini dan disambut rasa syukur yang tak terkira dari kedua orang tuaku. Kesempatan untuk bisa berkuliah ini aku manfaatkan sebaik mungkin untuk lulus tepat pada waktunya, aku ingin melakukan yang terbaik dan membuat orang tuaku bangga. Sambil kuliah aku juga menyambi mengajar privat anak SD untuk pelajaran Bahasa Inggris, pelajaran yang memang aku sukai sejak sekolah dulu, dan alhamdulillah hasil dari mengajar privat bisa aku gunakan untuk membeli buku dan keperluan kuliahku yang lain, meskipun sebenarnya mama papa tidak pernah telat mengirimkanku uang untuk keperluan kuliah dan kost, namun aku berusaha untuk tidak merepotkan mereka dengan meminta tambahan jajan, karena sudah aku dapat dari hasil mengajar privat.

Hari kelulusan itu akhirnya tiba, alhamdulillah aku menjadi lulusan terbaik pertama di Fakultas Adab dan Humaniora dan lulusan ketiga terbaik tingkat universitas, atas pencapaian tersebut aku diberikan beasiswa dari bank Mega sebesar 10 juta dan bisa membuat orang tuaku bangga atas pencapaian tersebut. Itu semua bagiku adalah hikmah besar yang aku peroleh karena ketaatanku kepada orang tua yang menjadikan aku bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Dan Alhamdulillah lagi setelah lulus Strata 1 (S1) jurusan Bahasa dan Sastra Arab, aku melanjutkan Kembali ke Strata 2 (S2) tingkat magister di jurusan yang sama, jurusan yang dulu pernah dipilihkan dan didoakan oleh orang tuaku, jurusan yang sempat aku ragukan bisa membawaku kepada kesuksesan, jurusan yang kata orang adalah jurusan MADESU (Masa Depan Suram).

Berkat doa, pilihan dan berkah dari dari kedua orang tua, akhirnya hingga saat ini alhamdulillah aku bisa mengamalkan ilmu yang aku dapat sebagai seorang dosen PNS (Pegawai Negeri Sipil) di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Terima kasih papa yang sudah menghantarkan aku hingga saat ini, meskipun papa sudah tidak berada disisiku lagi sebagaimana dulu papa selalu mendampingiku dalam setiap fase pendidikan yang aku peroleh, namun aku yakin papa bisa melihatku dari sana tempat yang nun jauh, sambil berkata “Engkau telah memetik hikmahnya Anakku, jangan pernah berhenti belajar dan mengajarkan Ilmu yang engkau punya, aku bangga padamu”.

Cirebon, 23 Desember 2021


Photo by Green Chameleon on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *