Feeling Blue

Oleh : Nik Damayanti

Semesta sedang berduka. Awan hitam menutup hampir semua belahan bumi. Matahari belum menampakkan cahayanya untuk menghangatkan. Awan muram menangis serempak bersama gunturnya. Suasana tampak mencekam. Sebagian besar karyawan bekerja dari rumah, pusat pertokoan banyak yang tutup, hanya toko yang menyediakan kebutuhan pokok saja yang diperbolehkan buka, itupun dengan waktu yang telah ditentukan. Wabah sedang melanda dunia, tidak hanya Indonesia.

Baru saja diberitahukan oleh Pak RT bahwa istri Pak Kus mengalami sesak nafas dan membutuhkan tabung oksigen. Beliau tinggal di blok depan dekat pos penjagaan. Sayangnya sang suami sedang bertugas di luar pulau dan baru akan datang minggu depan. Untungnya ada putrinya yang menemani di rumah. Mempunyai ketua RT yang cepat tanggap sangatlah dibutuhkan dalam kondisi seperti ini. Tidak seberapa lama tabung oksigen sudah siap di rumah Bu Kus. Dengan dibantu oleh perawat yang merupakan salah satu warga di perumahanku, oksigen sudah terpasang dan bisa dimanfaatkan untuk membantu melancarkan pernafasan.

Ternyata keadaan Bu Kus belum menunjukkan ke arah lebih baik, Akhirnya menjelang isya pihak keluarga membawa beliau ke rumah sakit. Kami semua lega mendengar kabar beliau sudah ditangani pihak rumah sakit.

Sejak pandemi aku dan suami rutin jalan pagi. Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya saat kami berangkat. Di jalan berpapasan dengan banyak orang, mungkin karena waktu itu hari minggu sehingga banyak orang yang meluangkan waktu untuk mendapatkan sinar matahari sebagai sumber vitamin D. Di tikungan aku bertemu dengan bu Windra yang tinggal di blok belakang.

“Bu, sudah tahu belum kalau Bu Fitrah sakit,” katanya.

“Sakit apa, Bu,” tanyaku.

“Kata Bu Fitrah sih flu biasa, karena kemarin habis pulang ke Solo,” jawab Bu Windra. “Tapi kemarin sudah dipijit kok, Bu. Semoga kecapekan saja.”

“Kita doakan semoga lekas sembuh ya, Bu,” jawabku.

“Aamiin.”

Belum Zuhur saat kudengar berita dari masjid perumahan yang cukup membuat kami terkejut.

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah Bu Kus pada hari ini jam 10 pagi di rumah sakit Siti Hajar. Semoga almarhumah husnul khatimah.”

Aku langsung keluar rumah untuk memastikan kebenaran berita ini. Ternyata itu juga yang dilakukan beberapa tetangga. Kami saling meyakinkan satu sama lain apakah benar berita itu. Suasana duka langsung menyelimuti semua warga. Harapan kami beliau terselamatkan setelah ditangani pihak yang berkompeten. Namun takdir sudah ditentukan. Waktunya selalu tepat, tidak akan pernah lebih cepat, tidak pula lebih lambat. Manusia hanya bisa menjalaninya saja.

Semua warga semakin waspada dengan kondisi kesehatan masing-masing dan saling memperhatikan tetangga terdekatnya. Mengingat warga di RT kami lumayan banyak maka masing-masing dawis lebih aktif untuk saling memperhatikan anggotanya. Berita tentang Bu Fitrah dan Pak Fitrah yang kondisi kesehatannya semakin menurun cepat tersebar. Oksigen dalam tabung besar ada 4 unit yang siap membantu pernafasan mereka. Hasil swap antigen menunjukkan bahwa mereka berdua positip. Kedua anak mereka segera diungsikan ke adiknya yang tinggal di perumahan lain yang masih satu kota. Karena kondisi kesehatan yang semakin menurun kami segera membawa ke rumah sakit. Kala itu banyak sekali pasien yang dirawat sehingga sulit sekali mendapatkan rumah sakit yang mau menerima. Akhirnya setelah keluar masuk beberapa rumah sakit ada yang mau menerima tetapi hanya 1 pasien saja. Diputuskan Bu Fitrah karena kondisi lebih parah daripada suaminya.

Alhamdulillah 2 hari setelahnya Pak Fitrah bisa ikut menyusul. Anak sulung mereka yang masih kuliah terpaksa yang mengurus segala keperluannya. Kami bahu membahu membantu dengan apapun yang kami bisa.

Kadawis (ketua dasa wisma) memberi pengumuman di grup bahwa ada lagi warga yang positif. Dia seorang pemuda dengan usia sekitar 26 tahun yang tinggal sendiri setelah kedua orang tuanya meninggal. Tinggalnya selisih 4 rumah dariku. Kami segera cepat tanggap saling berbagi tugas. Kebetulan ada yang biasa terima katering, sehingga dia mendapat tugas menyiapkan makanan setiap hari. Yang merasa tidak bisa membantu tenaga segera menitipkan sumbangan dalam bentuk uang. Aku yang bertugas menerima pengumpulan dana dan menyiapkan apa saja yang dibutuhkan.

“Bagaimana kondisi hari ini, Mas,” sapaku setiap pagi lewat whatsapp.

“Alhamdulillah sehat, Bu. Tetapi indra penciuman dan perasa mulai tidak bekerja,” jawabnya.

“Makanan jangan sampai lupa ya, Mas. Karena vitamin tetap harus diminum.”

“Jangan khawatir, Bu, meskipun tidak ada rasa tetap aku makan kok.”

Lega rasanya mendengar semangatnya. Hal yang sama dirasakan perawat apabila pasiennya menurut dan mudah diajak bekerjasama, tentu pekerjaan akan terasa lebih ringan.

“Nanti aku belikan obat untuk segera memulihkan ya, Mas. Ini sudah ada resep yang harus ditebus,” kataku.

“Siap, Bu, saya tunggu.”

Segera aku meluncur ke apotik terdekat. Selain obat yang telah diresepkan, aku juga membelikan obat kumur betadine pesanannya.

Seperti biasa obat aku cantolkan di pagar dan tak lupa memberi pesan supaya diambil.

“Maaf, Bu, tadi saya masih berjemur saat ibu ke rumah,” jawabnya.

“Berjemur di mana, Mas… kok aku tidak lihat,” balasku.

“Oh… di atas genteng, Bu. Kalau di luar kasihan tetangga depan dan samping rumah.”

Emotikon tertawa terpingkal-pingkal sebagai balasanku di pesan whatsapp.

Kembali kabar duka disampaikan pengurus masjid lewat pengeras suara. Bu Fitrah yang sudah dirawat 2 hari di rumah sakit berpulang. Langit yang tadinya cerah segera tertutup awan gelap. Seisi perumahan menangis. Beliau yang cukup dekat denganku, karena sebelumnya kami sama-sama pengurus PKK RT. Tidak pernah kuduga akan secepat ini. Beliau pergi dengan meninggalkan sejuta kenangan.Bernapasku menjadi lebih lambat sebab rasa sedih hadir menghambat.

Untuk sesaat aku tidak bisa berpikir, betapa besar ujian mereka. Pak Fitrah dalam kondisi berduka dan masih sakit memberi pesan-pesan kepada anak sulungnya apa saja yang harus dipersiapkan untuk pemakaman. Hati kami serasa teriris saat melihat anak sulungnya yang bersikeras membantu pemakaman ibunya lengkap dengan APD (Alat Pelindung Diri).

Kehidupan harus tetap berjalan. Kesedihan jangan sampai membuat kita terlalu lama merenung, justru langkah ke depan harus kita susun lebih baik. Perkembangan pasien di dawisku kembali menyita perhatian kami. Syukurlah berangsur-angsur pulih. Semangat dan pantang menyerahnya sangat membantu kesembuhan. Setelah sekitar 12 hari dia benar-benar pulih. Dengan mengantongi surat dari klinik dengan keterangan non reaktif dan surat sehat dari puskesmas dia semakin yakin dengan kesehatannya. Pagi itu dia sudah keluar mengendarai sepeda motor dan tidak lupa menyapaku,”Selamat pagi, Bu.”

“Lho… sudah bebas ya. Sehat selalu, Mas,” balasku.

Kesedihan masih belum berakhir, Pak Fitrah akhirnya menyusul belahan jiwa untuk menghadap Sang Khalik. Tinggallah 2 putranya yang dengan tabah menerima cobaan. Si Bungsu sejak kedua orang tuanya sakit langsung dijemput pamannya untuk tinggal di Solo bersama sang nenek. Saat ibu berpulang, Si Bungsu datang dengan keluarga besar mengikuti pemakaman. Sedangkan Si Sulung dengan ditemani sepupunya membereskan semua urusan administrasi yang dibutuhkan setelah kedua orang tuanya berpulang.

Sungguh aku tidak menyangka kenyataan seperti ini ada di sekitarku, kalau dulu kuanggap itu hanyalah cerpen yang terlalu didramatisir. Korban penderita covid terus berjatuhan. Tidak lama kemudian pasangan suami istri yang tinggal tepat di belakang Pak Fitrah juga berpulang.Kemudian ibunya Pak Edy yang rumahnya tidak jauh dari Bu Kus. Begitu seterusnya sampai ada 10 korban di RT-ku. Yang sangat miris adalah tantenya suami yang berusia 72 tahun. Beliau adalah warga ke 11 yang meninggal karena covid-19. Padahal penanganan terhadap tante sangat serius kita lakukan. Aku, suami dan 2 anak tante dengan dibantu perawat yang bekerja bergantian 3 shift menjaga penuh. Namun, bagaimanapun juga manusia hanya bisa berusaha, semua keputusan sudah ditetapkan Yang Maha Kuasa. Basah seluruh telapak tanganku oleh tangis yang kututupi. Sembab wajahku, tak terkira lagi karena air mata berlinangan sampai menyumbat pernapasan.

Wabah virus corona mengubah kehidupan dan perilaku umat manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pola hidup bersih dan sehat tidak pernah lupa diterapkan. Selalu menjaga jarak, menghindari kerumunan, mencuci tangan dan memakai masker. Semua dilakukan demi memutus mata rantai penyebaran virus corona.

Manusia juga menjadi peduli terhadap sesama, tidak hanya dengan keluarga, teman dan saudara saja tetapi terhadap semua.

Tuhan menciptakan gelisah untuk mengajari kita bersabar, bahwa semua yang kita tunggu mati-matian itu tak selalu datang, Tuhan menciptakan getir untuk mengajari kita menjadi tenang, mendidik jika semua tak berakhir bahagia, Tuhan menciptakan duka untuk mengajari kita cara bersahabat dengan luka,

Sidoarjo, Desember 2021


Photo by J W on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *