Enggan yang Terlambat

Oleh: Lia Nathalia

Aku baru saja mengirim e-mail buatmu. Kalau sudah dibaca, tolong kabari aku, apa pendapatmu, pesan Whatsapp dari kak Dewi kubaca sepintas. Jalanan masih macet dan aku harus segera tiba di kantor.

Baik kak, segera aku kabari kalau sudah dibaca, jawabku sambil berusaha menjaga keseimbangan badan, saat pengemudi sepeda motor online yang mengantarku sedang berusaha mencari celah antar kendaraan. Aku harus tiba segera di kantor, jika tak ingin kelabakan menyelesaikan pekerjaan yang diberi tenggat ketat sore ini.

Hari berlalu, dua minggu masih belum ada kabar dari kak Dewi. Mungkin saja dia sedang sibuk bergulat dengan berbagai program ajaibnya, pikirku saat itu.

Namun, saat waktu beranjak ke satu bulan sejak komunikasi terakhir kami, aku mulai gelisah. Bukan kebiasaan kak Dewi untuk diam saja kalau ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Di satu sisi, aku segan kalau harus lebih dulu menghubunginya. Segan dan sungkan memang beda tipis. Rasa seperti itu yang sering berakibat menyesal kemudian.

Mohon doannya untuk Dewi kawan-kawan. Semoga dia segera pulih, pesan dari salah satu senior menghentakku. Hatiku masih enggan menghubungi. Lagi pula, sibuk menyesuaikan diri di tempat kerja baru membutuhkan konsentrasi lebih.

Saat lowong, aku coba menelpon kak Dewi. Beberapa kali telponku tersambung, tapi tak dijawab. Mungkin perempuan mungil yang selalu enerjik seakan punya cadangan energi berlebih itu sedang sibuk, batinku.

Biasanya, kak Dewi akan menelpon kembali bila senggang. Dua hari kunanti, masih tiada kabar dari kak Dewi. Hatiku makin gelisah. Berbagai mungkin kupikirkan.

Aku tercekat ketika mendapati informasi hasil memanjat ratusan pesan Whatsapp, kalau perempuan yang selalu tampak tegar dengan memasang senyum lebarnya itu, sedang bertaruh nyawa di ruang ICU salah satu rumah sakit di ibukota.

Kamu tahu kan Li, aku sudah lama tak bertemu putriku. Aku rindu sekali, kata-kata kak Dewi pada percakapan terakhir kami kembali terngiang.

Kalau biasanya kak Dewi selalu menang dalam berbagai hal, apalagi saat beradu argumen, kali ini hatiku ragu bahwa dia dapat memenangkan pertarungan antara hidup dan mati kali ini.

Walau bagi banyak kawan kak Dewi terkesan galak, aku tahu hatinya sedang berduka ketika menyampaikan rasa rindunya pada sang putri, walau hanya diucapkan terkesan sambil lalu. Cintanya pada Nanda memang luar biasa. Citra kak Dewi berubah menjadi sosok perempuan penyayang kalau sudah berurusan soal Nanda.

Tak bertemu bocah yang belum akil balig dengan hobi menari itu, tentu membuat imun tubuh perempuan lulusan Australia itu makin turun. Semakin memikirkan itu, semakin hatiku ciut. Segala mungkin yang kupikirkan bisa terjadi.

Kak, tetap semangat berjuang. Cepat pulih. Proyek kita sebentar lagi sudah deadline, pesanku cepat-cepat kukirim, teriring doa lamat-lamat dalam hati untuk kesembuhannya.

Sedih rasa hati, karena sampai beberapa hari berlalu, belum ada balasan dari kak Dewi. Gerak cepat, segera kuhimpun semua informasi yang bisa diperoleh. Kak Cantika yang merupakan rekan kerja kak Dewi juga belum memberi informasi rinci keberadaannya.

Akiu gelisah sepanjang malam. Sulit untuk memejamkan mata dan dalam pengembaraan pikiranku, silih berganti momen-momen bersama kak Dewi ikut bermunculan. Hatiku gelisah Karena tak ada kabar darinya. Sekitar subuh 2 Agustus, kak Dewi akhirnya menyelesaikan perjalanannya di kehidupan ini.

Virus corona menghentikan langkah perempuan tangguh yang banyak memberi dukungan pada berbagai ide dan gagasanku. Perempuan yang meyakinkanku untuk muncul di berbagai pentas. Tak hanya itu, perempuan berambut ikal itu juga yang pertama kali menyediakan panggung untukku ketika aku baru membuat langkah-langkah kecil melestarikan budaya berbusana tradisi.

Dia pula yang mendukungku di berbagai kegiatan literasi dan sosial lainnya. Dia mungkin tak sempurna bagi banyak orang, buatku dia tetap seorang dewi yang baik seperti namanya.

Satu-satu air mataku menetes. Hatiku sesak menahan duka. Sampai pada titik aku tak bisa menahannya. Pertahananku jebol, aku menangis bak anak kecil kehilangan mainan. Kali ini aku kehilangan sahabat, kawan seperjuangan. Walau tak banyak kami membahas masalah pribadi, tapi kami sangat tahu betul urusan domestik masing-masing.

Piluku tak bisa ditambal, saat-saat terakhir aku berhasil mendapat alamat rumah sakit di mana jasad kak Dewi berada. Tetap, sampai saat terakhir bahkan ketika dibawa ke makam khusus korban Covid-19 di bilangan Jakarta Utara, aku tak bisa melihatnya untuk terakhir kali.

Mungkin kak Dewi tak ingin aku bersedih melihatnya kalah melawan virus yang tak terlihat. Pikiran semacam itu kuyakini untuk menghalau rasa sesalku. Aku merasa gagal sebagai seorang kawan. Harusnya aku segera menghubungi kak Dewi saat dua minggu setelah tawaran proyek kerjasama dia sampaikan waktu itu.

Harusnya silaturahmi kami lebih erat dari yang lain. Persahabatan dengannya yang unik, rasanya telah ternodai oleh keenggananku untuk menghubunginya lebih dulu waktu itu.

Semoga kak Dewi tenang di sana, walau sampai akhir hayatnya tak bisa bertemu sang putri Nanda. Kuharap di alam keabadiaan, kak Dewi sudah kembali tersenyum lebar karena terbebas dari rasa sakit dan berbagai persoalan hidup. Di alam sana jangan berdebat dengan yang lain ya kak.


Photo by Jeremy Bishop on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *