Oleh: Viesilmi
Kalau mau doamu dikabulkan, perluas niatnya. Jangan modus, karena Allah tahu mana yang modus, mana yang tulus, ujarnya suatu hari.
Aku tersenyum mengenang ucapan rekan kerjaku yang berselisih 11 tahun ini. Bu Sari bagai paket komplit. Ia hadir sebagai kakak, guru, dan teman. Topik pembicaraan kami beragam. Mulai pengalaman masa remaja, target-target hidup, atau hal ringan seperti membahas gamis model terbaru.
Mengingatnya menambah rasa rinduku. Kulemparkan pandangan ke balik kaca mobil.
“Ini lewat tol ya, Mba?”
Pertanyaan driver online yang kutumpangi, membuyarkanku.
“Eh, iya Mas. Belok aja ke tol,” jawab cepat.
Mobil pun meluncur menuju pintu tol. Senja semakin turun. Aku ingin segera tiba di rumah.
Hari ini tepat 3 bulan Bu Sari tidak masuk kerja. Stroke yang menyerangnya mengharuskan ia menjalani pengobatan intensif. Hari-hari terasa beda tanpanya.
Pandemi di awal 2021 membuat kehidupan berbeda. Sungkan untuk bertemu atau bertandang ke rumah orang lain. Beberapa rekan juga ada yang terinfeksi, meski tidak parah. Aku mengkhawatirkan kondisi Bu Sari yang lemah, sehingga yang kulakukan hanya sebatas berkirim kabar lewat pesan Whattsapp.
Pengen ketemu Bu. Tapi takut bawa virus, alasanku.
Mampirnya dari rumah kalo gitu, balasnya.
Aku tersenyum membaca balasannya.
Sabtu–Minggu ditambah libur awal Ramadhan 1442 H kumanfaatkan untuk mengurus beberapa tugas kantor. Daftar tugas yang panjang sudah mulai banyak kuberi centang.
Kuraih ponselku, hendak melaporkan tugas yang telah selesai pada Pak Bos. Namun, tiba-tiba aku tergoda melihat status wa Bu Ani, salah satu sahabat Bu Sari.
Syafakillah dear sahabat, tulis Bu Ani. Di bawah foto ia bersama Bu Sari.
Aku terkesiap. Bu Sari tampak berbeda dari biasanya.
Bu, Ibu habis nengok Bu Sari? Kukirim pesan pada Bu Ani
Iya, Neng. Tadi jam 10
Kok muka Bu Sari beda, Bu?
Iya, matanya kosong kayak almarhum suamiku sebelum meninggal. Ingatannya juga seperti berkurang.
Seketika tubuhku merinding membacanya. Mataku menghangat.
“Yaaah, Ayaahh!” teriakku.
“Ya, kenapa?”jawabnya. Ia menghampiriku dengan tergesa.
Kutunjukkan chat Bu Ani. Suamiku hanya bisa memandangku dengan iba.
” Kita harus ke sana, Yah! Sekarang!” pintaku.
Iya, iya. Bunda siap-siap aja. Ayah panasin motor dulu!”
Sekitar satu setengah jam kemudian, sampailah kami di rumah Bu Sari.
“Eh, Neng Eva,” sambutnya pelan. Ia juga menyapa suamiku dengan ramah.
Aku terpekik dengan tertahan. Bu Sari masih mengenaliku. Padahal wajahku bermasker.
Kucium tangannya yang kurus. Kubantu ia duduk di sofa. Sementara aku duduk di lantai dekatnya. Kupegang erat tangannya selama kami berbincang.
“Ibu maaf, aku baru datang lagi ke sini!” kataku membuka obrolan.
“Nggak apa-apa. Kan sibuk?” ujarnya pelan.
Aku merasa malu dengan jawabannya.
“Harusnya aku ngga boleh gitu, Bu! Harusnya aku sering-sering jenguk ibu!”
Kupandangi wajahnya yang kian tirus. Tubuhnya terbalut mukena putih. Bu Sari hanya menjawab dengan senyum.
Tak lama suasana pun mencair. Kami mulai mengobrol banyak hal, seperti biasa. Terkadang ia tertawa kecil karena lelucon yang kubuat.
“Jangan ikhlas, tapi belajar ikhlas”, kata Bu Sari singkat. Kalimat itu terlontar ketika ia menyampaikan perasaan atas keadaannya.
Aku tertegun mendengarnya. Di saat seperti ini ia masih memberiku pelajaran berharga.
“Ibu, terima kasih. Terima kasih atas nasihat dan semua kebaikan yang Ibu perbuat,” kataku sambil terisak.
Adzan Ashar mengingatkanku untuk segera pamit. Dengan berat hati aku meninggalkan kediamannya.
Sejak pertemuan itu kami tetap rajin bertukar kabar. Sampai kudengar seminggu kemudian Bu Sari dilarikan ke rumah sakit Jakarta karena kondisinya menurun.
“Ikhlaskan ketentuan Allah akan Bu Sari. Apapun hasilnya. Ikhlas, ikhlas!” tegas seorang rekan kerjaku.
Saat itu kami sedang berada di parkiran, berbincang singkat tentang kondisi Bu Sari.
“Ya Bu, aku akan belajar ikhlas,” ujarku sambil terisak. Teringat ucapan Bu Sari kala menyebut belajar ikhlas.
Malam 15 Ramadhan, kumatikan ponsel dengan berat hati. Saat terbangun waktu sahur, kubuka ponselku.
Jantungku berdegup kencang. Tubuh terasa lemah lunglai. Air mata tak terbendung lagi. Ucapan duka ramai di berbagai wa grup dan wa pribadiku sejak pukul 22.00.
“Ikhlas. Bersyukur kamu masih bisa menjenguknya dan Almarhumah mengingatmu dengan baik,” hibur suamiku.
“Aku mengangguk. Mencoba belajar iklhas meskipun hati ini remuk.
“Bu, lewat Jalan Merkurius saja ya?”
Ucapan driver online itu kembali menggugah lamunanku. Ternyata kami sudah keluar tol. Dari balik kaca spion ia melihat mataku yang sembab.
“Ibu baik-baik aja?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Mengiyakan dua pertanyaannya.
Kupandang buku Yasin bersampul wajahmu, Bu Sari. Buku yang kudapat tadi sore saat menghadiri pengajian 40 hari kepergianmu. Aku ikut tersenyum melihat fotomu berpose sambil tersenyum ceria.
Tak hanya paras dan hatimu yang cantik. Kau pun pergi di momen cantik, malam 15 Ramadhan 1442 H.
Banyak yang kehilanganmu, Bu. Tak jarang aku menitikkan air mata kala mengingatmu. Pun saat aku menulis memoar ini.
Tapi aku tetap akan belajar ikhlas, seperti katamu. Husnul khotimah untukmu, Ibu.
Photo by Christian Paul Stobbe on Unsplash